• Bergerak
  • Penjaga Mata Air di Lembah Ciputri

Penjaga Mata Air di Lembah Ciputri

Kisah Mih Eros, perempuan penghayat yang menjaga mata air bagi ratusan keluarga di Kampung Cicalung di Kawasan Bandung Utara.

Berdiri di atas gawir Sesar Lembang dengan latar perkampungan dan bukit patahan yang memanjang di Kampung Ciharegem, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, 11 September 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Tim Redaksi28 November 2025


BandungBergerakDi lembah Gunung Ciputri, Kampung Cicalung, Desa Wangunharja, mata air tua mengalir dari bawah tebing yang menjulang. Hutan bambu merapat mengelilinginya, meneduhkan sebidang tanah seluas 90 meter persegi milik seorang perempuan Penghayat berusia 78 tahun, Mih Eros, sesepuh Penghayat Kepercayaan Budi Daya.

Mata air di lembah Lembang, Kawasan Bandung Utara (KBU) itu menjadi nadi kehidupan lebih dari dua ratus kepala keluarga—dua puluh KK di antaranya para Penghayat, selebihnya warga kampung.

Rumah Mih Eros berdiri sederhana di belakang Pasewakan Waruga Jati, tempat ia memimpin laku-laku kepercayaan. Dari rumah menuju mata air berjarak sekitar satu kilometer, menuruni lembah bambu yang sejuk. Dari sanalah air pegunungan mengalir melalui pipa menuju rumah-rumah warga, air yang bisa langsung diminum, dipakai memasak, mencuci, dan menyiram tanaman.

Mih Eros ingat betul ketika ia membeli tanah ini dengan uang pribadinya, bukan untuk kepentingan sendiri melainkan untuk kebutuhan pasewakan. Ketika warga lain ikut membutuhkan, mereka bergotong royong: mengumpulkan sedikit dana setiap minggu, menyiapkan tenaga untuk membangun bak penampungan sekitar 2009–2010.

“Kalau pembangunan kan harus pakai uang yang besar jadi uangnya dari ibu dulu, sebagian uangnya dari masyarakat sedikit-sedikit setiap minggu. Uang dari masyarakat ke peralatan dan yang mengerjakan,” ujarnya, kepada BandungBergerak, Minggu, 2 November 2025.

Pembangunan berlanjut pada 2012 dan air mulai mengalir pada 2013. Dalam proses panjang itu, kata Mih, gotong royong pelan-pelan mengikis pandangan negatif terhadap para penghayat kepercayaan. Sistem pengelolaan air sejak awal sepenuhnya mandiri: iuran bulanan dipakai membeli pulsa listrik, membayar pekerja, dan mengganti peralatan yang rusak.

“Dugi ka ayeuna ge duka teu acan pati. (Sampai sekarang juga entah belum terlalu ada),” katanya ketika ditanya soal bantuan dari pemerintah.

Bagi komunitas Budi Daya, air bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari laku hidup lahir dan batin. Air adalah “Wujud Guti Nu Maha Suci”, entitas hidup yang tak boleh diperlakukan serampangan. Saban memasuki Satu Sura, warga Penghayat melakukan arak-arakan kecil dari Pasewakan menuju sumber mata air. Di sana mereka akan bersemedi dilengkapi sesaji. Ritual ini sebagai syukur kepada alam, leluhur, dan penjaga sumber air.

Mih Eros pernah mengalami bagaimana air berhenti mengalir hanya karena warga tak menjaga adab: membuang sampah sembarangan, bersikap ceroboh di sekitar sumber.

“Kami melakukan Pineja (semedi/doa) kepada yang punya air itu, kepada leluhur, dan yang menjaganya. Karena kalau hanya lahirnya saja, air tidak akan berjalan lancar,” katanya.

Ia menekankan pentingnya pewarisan nilai menjaga air, umumnya menjaga lingkungan hidup. Generasi muda, menurutnya, harus tetap memegang tata krama yang diwariskan karuhun.

“Tata cara karuhun jangan ditinggalkan. Kita harus bisa meneruskan tapak cabak karuhun (jejak leluhur) kita. Dari dulu sampai sekarang tidak pudar, tetap begini tata kramanya,” pesannya.

Mata air Gunung Ciputri, Kampung Cicalung, Desa Wangunharja, Lembang, Minggu, 2 November 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Mata air Gunung Ciputri, Kampung Cicalung, Desa Wangunharja, Lembang, Minggu, 2 November 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Air dan Penerimaan Penghayat

Pembangunan saluran air oleh Penghayat dan warga Kampung Cicalung sempat menemukan ujian. Air dari mata air Ciputri diperlukan untuk pendirian Pasewakan Waruga Jati. Namun rencana ini sempat ditolak warga sekitar. Warga bukan Penghayat ingin agar Pasewakan berjarak dengan tempat peribadatan mereka.

Berbagai upaya ditempuh agar Pasewakan berdiri. Warga Penghayat melalui telah menempuh perizinan melalui perangkat desa. Mih Eros menuturkan, ketegangan itu terjadi karena warga belum tahu dan memahami Pengahyat kepercayaan.

“Teu acan teurangeun sareng teu acan memahami (belum tahu dan belum memahami),” jelas Mih Eros.

Pasewakan pun berdiri dan bisa dimanfaatkan juga oleh warga sekitar untuk melakukan berbagai kegiatan dan pertemuan. Selain hidup selaras dengan alam, warga Penghayat telah lama mempraktikkan hidup toleran. Mereka membaur dengan warga sekitar, aktif dalam kegiatan sosial seperti menghadiri hajatan dan melayat kepada orang meninggal.

Mih Eros, sesepuh Penghayat Kepercayaan Budi Daya, di Kampung Cicalung, Desa Wangunharja, Lembang, Minggu, 2 November 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Mih Eros, sesepuh Penghayat Kepercayaan Budi Daya, di Kampung Cicalung, Desa Wangunharja, Lembang, Minggu, 2 November 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Nyai Sri Pohaci

Punten ka kersa Nyai Sri Pohaci bade diistirahatkeun ku jisim abdi, sing suka diperlukeun ku kaula, [Permisi Nyai Sri Pohaci, saya istirahatkan di sini, semoga berkenan jika saya memerlukannya],” lirih Mih Eros, tangannya menyimpan sekantong beras ke dalam gentong tanah di ruangan yang disebut goah, ruangan khusus di bagian rumahnya.

Selain beras, goah menjadi tempat penyimpanan peralatan rumah tangga seperti aseupan, boboko, nyiru atau tampah, yang semuanya terbuat dari anyaman bambu. Goah terletak di dekat dapur.

Setelah menunjukkan tempat beras, Mih Eros mencontohkan beberapa tahapan dalam memasak beras. Cara ini warisan leluhurnya, mulai dari mencuci, mengukus, dan menyajikan nasi. Beras yang sudah dicuci dimasukkan ke dalam aseupan lalu ditenggerkan ke dalam seeng atau dandang yang berdiri di atas tungku tradisional (hawu).

Selama menyimpan dan memasak beras, Mih Eros menjelaskan terdapat ritual yang dilakukan leluhur Sunda yakni memuji terhadap Dewi Sri atau Sri Nyai Pohaci yang diyakini oleh masyarakat agraris di Jawa Barat sebagai sumber kehidupan.

Dalam proses mengolah beras menjadi nasi, peran air sangat penting. Air yang bersumber dari kaki Gunung Ciputri dipakai untuk mencuci dan memasak. Selama proses ini beras berubah menjadi nasi yang kemudian dimakan manusia. Di sinilah kehidupan dirawat.

Air dari mata air Gunung Ciputri diyakini kebersihannya, sehingga Mih Eros dan warga Penghayat lainnya biasa meminum air itu tanpa perlu dimasak, sesuatu yang sulit didapatkan oleh masyarakat Bandung yang biasa membeli air minum kemasan.

Ayi, putra Mih, sependapat. Ia memandang air sebagai entitas yang harus dihormati, bukan komoditas untuk diperdagangkan. Ritual tahunan Satu Sura yang dilakukan rutin oleh masyarakat Penghayat adalah upaya merawat keselarasan lingkungan.

“Karena itu sudah memberikan sumber kehidupan kepada kita. Alam semesta itu memberikan bukan kepada kita saja. Melalui tumbuhan, hewan, memerlukan seperti itu,” ujarnya.

Salah satu orang muda Penghayat, Intan, 21 tahun, mengamini. Baginya, tradisi leluhur menjaga lingkungan akan terus dijaga sebagai bagian dari menghormati alam semesta. Menurutnya, hubungan antara manusia dan alam merupakan prinsip yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Karena dalam Penghayat Kepercayaan, alam semesta merupakan kitab suci (tulisan maha suci) yang dapat dikaji dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” terang Intan.

Di lembah Gunung Ciputri, mata air itu terus mengalir di bawah perawatan Mih Eros dan komunitas Penghayat. Generasi boleh berganti, hubungan manusia dan alam harus tetap terjaga. 

Baca Juga: Menghalau Bencana, Menggugat Wisata Eksploitatif di Bandung Utara
MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Seribu Pilihan Mengolah Sampah di Bandung, Selain Insinerator

Penampungan air bersumber dari Gunung Ciputri, Kampung Cicalung, Desa Wangunharja, Lembang, Minggu, 2 November 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Penampungan air bersumber dari Gunung Ciputri, Kampung Cicalung, Desa Wangunharja, Lembang, Minggu, 2 November 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Lara KBU 

Gunung Ciputri tempat Mih Eros dan komunitasnya menimba air, merupakan bagian dari Kawasan Bandung Utara (KBU). Dataran tinggi 768 hingga lebih dari 2.000 Mdpl ini  menyimpan keindahan alam berupa pegunungan dengan hutan rimbunnya. Salah satu wisata andalah KBU adalah gunung yang menjadi favorit pendaki. Sebut saja Gunung Batu, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Putri Lembang, Puncak Eurad, Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari, hingga Gunung Sanggara.

Sayang, peran KBU sebagai kawasan resapan air dan paru-paru hijau Cekungan Bandung, terdesak alih fungsi lahan, termasuk oleh kepentingan pariwisata.

"KBU itu sudah masuk di tahap lara, hancur mau sehancur-hancurnya," ungkap Pepep Didin Wahyudin, 40 tahun, seorang pendaki yang kini memilih berhenti mendaki dan turut menjadi bagian dari komunitas Gunung Institute, Jumat, 14 November 2025.

Lara dalam budaya Sunda berarti siklus kehidupan yang kritis. Baginya, ancaman di KBU bukan sekadar alih fungsi lahan atau banjir kiriman, tapi juga hilangnya praktik dalam menjaga peradaban di ruang hidupnya sendiri.

Keprihatinan terhadap kondisi KBU disampaikan Suci Hidro, dosen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurutnya, bencana banjir yang kerap merundung Bandung Raya muncul karena Kawasan Bandung Utara yang seharusnya menjadi wilayah konservasi kini mengalami alih fungsi lahan besar-besaran.

“Karena memang cekungan Bandung itu kan sebenarnya hulu dari Citarum. Nah, hulu dari Citarum itu sudah sewajarnya adalah wilayah konservasi. Jadi memang bentuknya harusnya sudah hutan,” jelas Suci yang berfokus pengelolaan sumber daya air, hidrologi, hidrogeologi, serta konservasi, Kamis, 20 November 2025.

Ia menjelaskan, alih fungsi lahan menyebabkan lahan menjadi terbuka. Ketika hujan datang, tanah terkikis, dan air tidak terserap. Saat ini lahan di KBU yang masih terjaga tinggal di Hutan Raya Djuanda (Tahura) dan Maribaya, Lembang.

Suci juga menyoroti dampak jangka panjang dari alih fungsi lahan adalah kekeringan Sungai Citarum. Padahal, air Sungai Citarum digunakan untuk kehidupan banyak kabupaten dan kota. Sungai ini bahkan dimanfaatkan sebagai sumber air minum bagi kawasan di DKI Jakarta. Jika Citarum terganggu, semua kota dan kabupaten yang dilewati akan ikut terganggu.

Suci khawatir bahwa bencana alam tidak akan berhenti dan akan semakin buruk apabila masyarakat dan pemerintah terus menggerus kawasan konservasi hutan. Sebagai solusi, ia menekankan pentingnya mengubah pola pikir tentang pentingnya alam semesta, terutama wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai wilayah konservasi.

“Manusia itu bukan sesuatu yang ada di atas, tapi kita setara dan saling bergantung di bumi ini,” jelasnya.

Meskipun ada peraturan tentang KBU, Suci menyayangkan bahwa implementasinya belum berjalan optimal. Baginya jika hanya mengandalkan hukum saja tanpa dibarengi kesadaran akan percuma. Ia berharap pemerintah dapat menaati aturan yang ada dan menindak tegas pelanggaran tanpa tebang pilih. Ketegasan penting untuk menjaga masa depan KBU.

“Hidup di bumi ini tuh kita saling bergantung. Kalau (ancaman bencana alam) itu sudah disadari maka pemangku pemilik modal, pemangku kebijakan juga tidak akan semena-mena membangun dan merubah alam seenaknya,” ungkapnya.

 

*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Muhammad Akmal Firmansyah, Retna Gemilang, Yopi Muharam. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//