• Bergerak
  • Menghalau Bencana, Menggugat Wisata Eksploitatif di Bandung Utara

Menghalau Bencana, Menggugat Wisata Eksploitatif di Bandung Utara

Dalam sengkarut kerusakan ekologis Kawasan Bandung Utara, komunitas-komunitas menawarkan jalan perawatan lingkungan. Wisata tak harus eksploitatif.

Pengunjung Tahura Djuanda, Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Penulis Tim Redaksi27 November 2025


BandungBergerak - Malia Nur Alifa dan kawan-kawan walking tour-nya berduyun-duyun menuju kawasan Carlo Erba, kompleks yang dulunya menjadi pusat farmasi penting di Lembang sekaligus tempat sejarah medis Indonesia berkembang. Kepada peserta, Malia yang memimpin tur, semangat menjelaskan sejarah panjang bekas industri zaman kolonial tersebut. Tapi saat mereka sampai, rumah-rumah tua yang dulu kokoh berdiri itu sebagian sudah rata dengan tanah. 

“Salah satu tujuan walking tour ini adalah mengajak orang untuk berjalan, untuk melihat, dan mengabadikan yang masih ada. Siapa tahu, tahun depan bangunan itu sudah tidak ada lagi,” kata Malia, kepada BandungBergerak, awal November 2025.

Firasatnya benar. Tiga hari setelah ia dan komunitasnya mengunjungi kawasan tersebut, mereka mendengar kabar bahwa semua rumah-rumah itu telah tiada. Besar kemungkinan kompleks klasik tersebut akan dibikin bangunan modern. Rumah-rumah di sekitarnya sudah lebih dulu berubah fungsi menjadi deretan ruang komersial, seperti Mie Gacoan dan hiruk-pikuk bisnis modern lainnya.

Pabrik Carlo Erba berdiri di tengah desakan industri pariwisata Lembang yang kian padat. Pabrik ini, menurut penulis sejarah tersebut, merupakan gedung utama Baroe Adjak, kantor direktur atau kediaman keluarga besar Ursone, pengusaha keturunan Italia yang menguasai tanah Lembang di masa kolonial.

Di masa lalu keluarga Ursone dikenal bukan hanya pengusaha peternakan dan perkebunan. Pada awal abad ke-20, mereka memperluas sayap ke bidang farmasi melalui pabrik Baroe Adjak yang kemudian menjadi cikal bakal Carlo Erba Farmintalia. 

Tak jauh dari Carlo Erba, berdiri Grand Hotel Lembang. Malia dan komunitasnya juga pernah berwisata sejarah ke bangunan ikonik yang menyimpan banyak cerita dari masa kolonial. Dulu, arsitektur megah dan pesona klasik Grand Hotel tak tertandingi. Kini, bangunan hotel dibayang-bayangi gedung mal modern yang menjulang tinggi, menutupi pandangan dan merusak harmoni lanskap yang pernah ada. 

Setiap langkah Malia dalam memandu tur sejarah selalu dihinggapi rasa cemas akan punahnya bangunan-bangunan tua yang banyak berdiri di Lembang. Malia merancang walking tour ini bukan hanya sebagai cara untuk menjelajah kota, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa kepedulian terhadap pelestarian lingkungan dan warisan sejarah. 

Malia memulai tur sejak 2015, ketika ia bersama teman-temannya mendirikan komunitas Lembang Heritage. Tujuan mereka sederhana: menjaga dan mengenalkan kembali sejarah Lembang kepada masyarakat, terutama generasi muda.

Di setiap walking tour ia membatasi jumlah peserta. Di rute kota, maksimal 20 orang, agar lebih terkontrol dan tidak mengganggu aktivitas warga lainnya. Untuk rute hutan seperti Gunung Putri atau Jayagiri, ia menerima peserta lebih banyak tetapi dengan syarat ketat: tidak boleh membuat jalur baru, tidak membuang sampah sembarangan, dan harus menjaga kelestarian alam.

Pada salah satu tur di kawasan Junghuhn (makam Franz Wilhelm Junghuhn), Malia mengajak peserta untuk tidak hanya belajar sejarah, tetapi juga berpartisipasi dalam menjaga kebersihan. Dengan kantong sampah di tangan, mereka berjalan menyusuri jalur yang seharusnya penuh dengan kehijauan dan udara segar. Setelah perjalanan, mereka berhasil mengumpulkan tiga kantong sampah yang berserakan di sepanjang jalan. 

“Ini adalah upaya kecil kami untuk menjaga lingkungan. Setiap langkah, setiap aksi kecil itu penting,” kata Malia.

Bagi Malia, walking tour ini adalah sarana untuk mengajak orang lebih mengenal dan mencintai sejarah Lembang, serta lingkungan di sekitarnya. Ia percaya bahwa dengan mengenal lebih dekat tempat tinggal mereka, masyarakat akan lebih peduli dan memiliki kesadaran untuk melestarikannya. 

“Tak kenal maka tak sayang,” ujar Malia.

Jangan-jangan pemerintah maupun orang-orang zaman sekarang tidak kenal Lembang.

“Makanya saya sebagai pegiat sejarah, saya kenalkan dulu. Setelah kenal mungkin tumbuh rasa kecintaan,” kata Malia.

Malia yakin bahwa walking tour-nya bisa memberikan dampak besar bagi pelestarian Kawasan Bandung Utara yang kini semakin rusak karena alih fungsi lahan. Selama ini, kawasan ini dibanjiri pembangunan untuk wisata komersial yang justru mengancam kelestarian alam dan budaya. Melalui walking tour, Malia berharap masyarakat bisa lebih peka terhadap kerusakan yang terjadi dan mulai menggeser cara mereka berwisata, dari yang berfokus pada konsumsi komersial menjadi wisata yang lebih menghargai sejarah dan alam.

Walking Tour Sejarah Lembang, Sabtu, 20 September 2025. (Foto: Rita Lestari/BandungBergerak)
Walking Tour Sejarah Lembang, Sabtu, 20 September 2025. (Foto: Rita Lestari/BandungBergerak)

Lembang, Pegunungan yang Dilanda Banjir

Lain dulu lain sekarang. Lembang yang dulu asri kini menghadapi krisis ekologi. Pada Jumat, 24 Oktober 2025 lalu, hujan yang turun hanya sekitar 15 menit berubah menjadi bencana bagi warga Lembang. Kawasan yang selama ini dikenal sebagai destinasi wisata unggulan di Bandung Raya itu tiba-tiba tergenang banjir. Air deras mengalir dari arah perbukitan dan masuk ke permukiman, sesuatu yang dulu jarang terjadi di dataran tinggi ini.

Sampai saat ini Malia, warga Lembang sekaligus pengkaji sejarah lokal, masih terkejut ketika mengenang peristiwa itu. Ia tak menyangka hujan sesingkat itu mampu mendorong air hingga memasuki garasi rumahnya.

“Menurut saya itu yang terparah. Biasanya nggak sampai masuk garasi. Ini masuk dan hampir masuk rumah. Untung pondasi agak tinggi,” ujarnya, saat ditemui pada Senin, 17 November 2025.

Satu hal yang semakin membuatnya heran. Setelah air surut, halaman rumah dipenuhi sampah berupa bunga pinus. “Lah, di tempat saya nggak ada pohon pinus. Curiga itu dari arah hutan Cikole air derasnya,” katanya.

Lembang sendiri berada pada ketinggian antara 1.300 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut. Kawasan ini merupakan daerah resapan penting bagi Bandung Raya. Namun, menurut Malia, kondisi itu mulai berubah dalam tiga tahun terakhir. 

Hanya dalam sepuluh menit diguyur hujan, kawasan Pasar Lembang langsung tergenang hebat. Genangan bahkan lebih parah di arah Sespim dan Pusdik Ajen, titik-titik yang sebelumnya jarang tersentuh banjir. Dalam beberapa tahun terakhir, area hutan dan lahan resapan di Lembang banyak dialihfungsikan menjadi wana wisata, kafe, hingga hotel. Sebelum deretan bangunan komersial itu muncul, kawasan ini relatif aman dari banjir. 

Kini, bahkan wilayah Cibedug di perbukitan Cikole, yang dulunya dikenal sebagai benteng alami, tak luput dari luapan air. Kondisi itu memunculkan kekhawatiran bahwa hutan-hutan di sekitar Lembang, mulai dari kawasan Tangkuban Parahu, Gunung Putri, hingga Jayagiri, telah mengalami kerusakan yang semakin mengikis kemampuan alam menahan air.

Dalam kondisi saat ini, warga Lembang merasakan hilangnya rasa aman setiap kali mendung menggantung. Padahal, menurut catatan sejarah yang ditelusuri Malia, tidak pernah ada riwayat banjir di Lembang pada masa lalu. Pada 1933, wilayah ini bahkan dikenal sebagai lokasi peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara. Banyak area yang kala itu ditetapkan sebagai lokasi penghijauan kini telah berubah fungsi menjadi objek wisata.

Masifnya pembangunan pariwisata sejak 2000-an mempercepat perubahan bentang alam Lembang. Kawasan yang dulu berfungsi sebagai daerah konservasi air beralih menjadi zona komersial. Nama “Lembang” sendiri diberikan Belanda karena dahulu banyak ditemukan tanaman lidi air atau rumput Lembang (cattail) di sempadan sungai—termasuk di kawasan Baroe Ajak, Situ Umar, Situ PPI, hingga hutan Tangkuban Parahu.

Kini, rumput Lembang hampir tak lagi dijumpai karena habitat alaminya telah berubah. Malia berandai-andai, jika Situ Umar dan Situ PPI, yang dulunya menjadi penampung air hujan, tidak dialihfungsikan menjadi objek wisata, mungkin Lembang tidak akan mengalami banjir seperti sekarang.

“Lembang itu sangat kehilangan jati dirinya sekarang,” ujar Malia.

Lahan kebun yang disokong oleh Odesa Indonesia, Cimenyan, Kabupaten Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Lahan kebun yang disokong oleh Odesa Indonesia, Cimenyan, Kabupaten Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Kepak Sayap Elang di Langit Tahura

Di atas kanopi rasamala dan pohon-pohon tua di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda, seekor elang melingkar pelan, sayapnya membelah udara. Pergerakan itu nyaris tak bersuara, hanya bayangnya yang melintas cepat di sela cahaya matahari. Itulah elang sikep madu Asia (Pernis ptilorhynchus), salah satu pengembara langit yang singgah di Tahura pada Oktober lalu.

Kehadiran elang sikep madu Asia menjadi penanda lain dari perjalanan tahunan burung-burung migran yang melintas di atas Kawasan Bandung Utara. Selain elang sikep, mereka antara lain kelompok raptor dan burung pemakan serangga yang berangkat dari Siberia, Mongolia, hingga Eropa. Tahura menjadi titik rehat alami bagi mereka sebelum melanjutkan perjalanan menuju selatan.

Fenomena alami itu kontras dengan kondisi sebagian besar KBU yang kini berubah menjadi deretan villa, glamping, dan bangunan komersial yang merangsek ke hutan. Lanskap yang dulu hijau kini terpotong-potong dan daya serap air terus tergerus. Di tengah tekanan pembangunan itu, Tahura Ir. H. Djuanda bertahan sebagai salah satu ruang hijau yang masih bertahan memikul beban konservasinya: menjaga habitat, menjaga air, dan memberi rumah singgah bagi para pengembara langit.

Di antara suara satwa liar, Tahura seolah mengingatkan bahwa di tengah hiruk pikuk pembangunan ada ritme alam yang terus berlangsung. Mereka membutuhkan ruang hidup berupa hutan seutuhnya.

Pengendali ekosistem hutan Tahura, Dicky menyebut Tahura menjadi lintasan migrasi satu-satunya di Jawa Barat, setelah Gunung Batu, Lembang tidak lagi cukup hijau untuk dilintasi rombongan burung. Sekali lewat, burung-burung bisa sampai 100 ekor dalam satu rombongan.

"Kalau misalkan Tahura ini enggak ada, mungkin dia pindah, checkpoint-nya si burung ini mungkin enggak lewat sini," jelas Dicky saat ditemui BandungBergerak di Tahura, 7 November 2025.

Di tengah lemahnya penegakan aturan lingkungan di Bandung, pengelola Tahura tetap berpegang pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Mulai dari menjaga ekosistem, membangun kolaborasi dengan berbagai pihak, menggabungkan konservasi alam dan konsep ekowisata menjadi ruang edukasi ekologis bagi masyarakat. Dari sinilah harapan untuk mengembalikan daya serap KBU bisa dimulai.

Tahura terletak di perbatasan Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, dan Kecamatan Coblong Kota Bandung. Hutan dengan ketinggian 770 m dan 1.350 mdpl ini sudah menjadi tempat konservasi alam sekaligus ekowisata bagi warga Bandung.

Lokasi Tahura hanya 7 kilometer dari pusat kota. Hutan ini memang menjadi tujuan wisata alam dan sejarah, seperti taman bermain anak, taman kelinci Tahura, Goa Jepang, Goa Belanda, Plaza Djuanda, amphiteatre, Curug Omas, Curug Dago, Tebing Keraton, jalur migrasi burung dunia, hingga Curug Cikapundung.

Secara historis, Dicky menuturkan pada 14 Januari 1985 Tahura memiliki luas 590 hektare yang dikelola oleh Perum Perhutani. Namun pada 24 Maret 2003 pengelolaan Tahura dipindahkan ke Pemprov Jabar di bawah UPTD Dinas Kehutanan Jawa Barat melalui SK Menteri Kehutanan Berdasarkan PP 2/2000. Pada 31 Oktober 2016 tercatat bahwa total kawasan Tahura ditetapkan menjadi 528,393 hektare.

"Awalnya 590 hektare, ternyata di kawasan (Tahura) itu ada permukiman, ada hak yang orang lain. Setelah diukur, ternyata dari 590 itu sudah ditetapkan menjadi kawasan 528 hektare," ujar Dicky, menjelaskan berkurangnya lahan Tahura antara tahun 1985 dan 2016.

Petani di ladang yang disokong oleh Odesa Indonesia, Cimenyan, Kabupaten Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Petani di ladang yang disokong oleh Odesa Indonesia, Cimenyan, Kabupaten Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Menjaga Keseimbangan Alam KBU

Berbeda dari destinasi wisata biasa, Tahura memegang peran ekologis yang konkret. Lima puluh persen areanya merupakan kawasan lindung yang menyimpan keanekaragaman hayati dan tidak boleh tersentuh wisatawan. Dua puluh persen kawasan dimanfaatkan sebagai tempat koleksi flora dan fauna. Sisanya, 30 persen digunakan untuk infrastruktur, seperti bangunan, kantor, hingga jalan aspal.

Tahura memiliki program pengkayaan tanaman yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Per tahun 2025, Tahura sudah menanam 1.600 batang pohon. Pengkayaan tanaman ini berfungsi demi mengurangi dampak bencana, memperkaya area hijau, dan penyumbang oksigen yang besar untuk area Bandung.

Terdapat 22 sumber mata air di Tahura, di antaranya bersumber dari sungai Cikapundung. Sumber air ditampung di Kolam Pakar seluas 1,15 hektare. Air tersebut berfungsi untuk memutar turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Dago Bengkok dan dialirkan ke Perumda Tirtawening. Meskipun saat ini debit airnya sudah mulai menurun karena alih fungsi lahan.

"Sekarang pun debit airnya sudah mulai turun. Kenapa? Karena tertunda oleh alih fungsi di wilayah atasnya seperti Lembang," ungkap Dicky.

Fungsi lain dari Tahura sebagai penyaring air pertama dari sampah dan limbah kotoran hewan. Limbah ini berasal dari aktivitas peternak sapi yang tidak bertanggung jawab di daerah KBU. Menurut laporannya, sebanyak 100 ton per hari kotoran sapi mencemari area Sungai Cikapundung.

"Tahura itu (berfungsi sebagai) penyaring pertama, penyaring sampah, penyaringnya kotoran hewan sebelum masuk ke Cikapundung sana," jelas Dicky.

Pepohonan di Tahura Djuanda, Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Pepohonan di Tahura Djuanda, Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Rumah bagi Flora Fauna yang Kian Langka

Sejak Goa Belanda dibangun pada 1918, Tahura menjadi rumah bagi ragam flora dan fauna Indonesia. Sedikitnya terdapat 68 spesies satwa dari delapan famili, termasuk 50 jenis burung, 113 jenis kupu-kupu, 15 jenis capung, dan 70 jenis laba-laba. Keanekaragaman floranya pun kaya: 446 spesies dari 118 famili, mencakup sekitar 130 jenis pohon, 20 jenis anggrek, dan 50 jenis jamur yang tumbuh bebas maupun dikoleksi di kawasan ini.

Rusa tutul (Axis axis) menjadi hewan khas yang bisa ditemui di Tahura. Satwa berwarna emas, merah kecokelatan, dengan bintik-bintik putih ini tinggal di kandang penangkaran rusa yang menjadi salah satu destinasi ekowisata Tahura. Selain itu, Tahura juga rumah bagi hewan yang berperan menjadi indikator kesehatan lingkungan yang tinggal secara bebas.

"Hewan ini menjadi indikator kesehatan lingkungan, contohnya capung. Capung itu kan indikator kebersihan perairan ya di sungai," papar Dicky.

Salah satu tumbuhan ikonik Tahura adalah Bunga Bangkai (Amorphophallus titanum) yang merupakan tanaman endemik Indonesia. Berdasarkan laporan Dishut Jabar, pada 1 Desember 2024 bunga majemuk terbesar di dunia dengan bau busuk menyengat ini mekar, dengan lebar mencapai 80 centimeter. 

Kolaborasi Antarpihak

Tahura tidak bekerja sendiri dalam menjaga area konservasinya. Kolaborasi dengan lintas pihak menjadi bukti bahwa partisipasi masyarakat masih bisa menghidupkan kembali nilai konservasi di tengah masifnya alih fungsi lahan.

Dalam upayanya menjaga kebersihan air sungai Cikapundung, Tahura pernah bekerja sama dengan komunitas River Clean Up. Jumlah sampah yang terkumpul dalam satu jam aktivitas pembersihan sebanyak 2,1 ton.

Banyak mahasiswa yang melakukan penelitian konservasi alam di Tahura. Mereka bahkan turut melakukan pembersihan kawasan konservasi. Keterlibatan dengan warga sekitar pun sudah terjalin sejak lama, mulai dari membuka lapak sekitar kawasan dan meramaikan Pasar Leuweung di pelataran Goa Belanda, serta turut berperan menjadi Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MMP).

Selain masyarakat dan komunitas, Tahura juga berkolaborasi bersama Pemprov Jabar dengan program Abdi Negara Nganjang ka Warga. Melalui program ini perwakilan Tahura melakukan sosialisasi ke beberapa sekolah untuk menumbuhkan kesadaran menjaga alam ke para siswa.

Dicky memberikan beberapa rekomendasi mengenai konsep ekowisata yang ramah lingkungan. Tidak semua area lahan wisata digunakan. Akan tetapi bagian 60 persen lahan dijadikan kawasan serapan air dan 40 persen menjadi area bangunan wisata. Selain itu, berkomitmen dalam upaya mengurangi sampah dari para wisatawan.

Tidak memberi makan ke hewan liar pun menjadi hal yang penting. Karena menurutnya, hal ini akan merubah perilaku hewan yang instingnya berburu makanan di alam liar jadi mudah mencuri barang pengunjung.

Terakhir, ekowisata bisa hadir bila seluruh pihak sadar akan keberadaan dan menjaga hutan. Menurutnya, bila hutan tidak ada maka tidak akan ada potensi ekowisata dan ekonomi, sumber mata air, minim oksigen, dan keberlangsungan keanekaragaman hayati.

Menurut penelitian I-Tree Eco, Tahura mampu menyimpan karbon sebanyak 3.656.000 ton per tahun, karbon yang terserap sebesar 197 ton per tahun atau setara dengan penyerapan CO2 lebih dari 900.000 unit mobil per kilometer. Hutan ini juga mampu memproduksi 502,1 ton oksigen per tahun dan mengurangi limpasan air sebanyak 5.931 meter kubik per tahun.

Koleksi satwa Tahura Djuanda, Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Koleksi satwa Tahura Djuanda, Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Berkaca dari Banjir Cicaheum

Kawasan Cicaheum di Kota Bandung pernah porak-poranda ketika banjir bandang melanda. Pada suatu hari di 2018, air bercampur lumpur turun deras menghantam jalanan dan rumah warga. Belakangan, warga menduga air bah itu datang dari arah perbukitan Cimenyan, sebuah wilayah di Kabupaten Bandung yang masuk Kawasan Bandung Utara.

Cimenyan merupakan kawasan perbukitan yang tadinya hijau kini kian gundul oleh praktik pertanian monokultur dan pembukaan lahan. Tiga tahun sebelum bencana banjir bandang, tepatnya pada 2015, sebuah harapan kecil sebenarnya mulai tumbuh. Yayasan Odesa Indonesia berdiri dengan tekad memperbaiki masalah di Bandung Utara. 

Alih-alih hanya mengampanyekan penanaman pohon kayu seperti yang lazim dilakukan, Odesa menawarkan pendekatan yang berbeda: menanami perbukitan Cimenyan dengan pohon buah-buahan. Pohon-pohon ini tidak hanya menghijaukan kembali lereng yang gundul, tetapi juga memberi manfaat ekonomi bagi warga.

Bagi Yayasan Odesa Indonesia, pohon kayu akan dipanen setelah umurnya dewasa. Otomatis lahan akan kembali gundul sembari menunggu waktu penanaman ulang. Ini mirip dengan sistem pertanian, namun dengan waktu yang lebih panjang. Sementara pohon buah-buahan dinilai tidak akan membuat lahan kritis sebab yang dipanen adalah buahnya. Pohonnya akan terus berdiri tegak, akarnya mengikat tanah dan menyerap air. 

“Kenapa saya tidak nganjurin nanam sayur di ladang atau memodali, itu terlalu ribet, itu sifatnya ekonomis banget tidak tapi tidak ekologis,” kata Faiz Manshur, Ketua Yayasan Odesa Indonesia, kepada BandungBergerak, Sabtu, 8 November 2025.

Bukan urusan mudah pula mengubah pola pikir petani untuk menanam pohon buah-buahan, sembari terus menanam sayuran. Setidaknya selama hampir satu dekade Odesa mengubah pola pikir itu.

“Lahan-lahan kritis ini juga karena selain eksploitasi tanah dilakukan oleh manusia, juga karena faktor perubahan iklim saling mendukung. Makanya solusinya adalah tanam pohon (buah). Secara eksternal dia fotosintesis akan bergerak untuk memproduksi oksigen dan juga menyuburkan tanah. Nanti secara internal juga akan menghasilkan output ekonomi bagi para petani,” jelasnya.

Untuk merindangkan kembali bukit-bukit gundul di Cimenyan, Odesa membutuhkan 10 juta bibit pohon. Itu untuk menangani kerusakan lahan di KBU yang merentang seluas 20.000 hektare lebih. Odesa sudah berhasil menanam setengah juta pohon dan 500.000 tanaman kopi. 

Banjir bandang Cicaheum tidak lepas dari rusaknya Kawasan Bandung Utara. Akibat alih fungsi lahan yang tak sanggup dibendung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Banjir bandang Cicaheum tidak lepas dari rusaknya Kawasan Bandung Utara. Akibat alih fungsi lahan yang tak sanggup dibendung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Perda KBU Tak Lagi Bertaring

Kawasan Bandung Utara ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Provinsi melalui Perda Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian KBU. Regulasi ini dibuat untuk menahan laju pembangunan yang tidak terkendali dan mengancam fungsi konservasi KBU sebagai wilayah tangkapan air utama Cekungan Bandung (Bandung Raya). Setidaknya, KBU menyuplai pasokan air tanah untuk Bandung Raya sekitar 60 persen. Bahkan sejak zaman kolonial KBU sudah didapuk sebagai wilayah konservasi. 

Regulasi tersebut menunjukkan bahwa KBU, secara administratif terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, memiliki peran besar sebagai sabuk hijau bagi Cekungan Bandung atau kawasan yang ada di bawahnya. Jika dipotret dari atas, kawasan Bandung Raya berbentuk mangkuk raksasa hasil pembentukan danau purba ribuan tahun lalu. Mangkuk ini dikelilingi gugusan pegunungan terutama di bagian utara dan selatan yang merupakan sumber oksigen dan cadangan air. Jika sabuk hijau ini habis, bisa dibayangkan berapa juta kubik air yang akan terjun ke Cekungan Bandung?  

Faktanya, Bandung Raya kini menanggung tekanan lingkungan yang semakin berat. Dengan populasi menembus 2,6 juta jiwa (2023), kawasan aglomerasi terbesar keempat di Indonesia ini setiap harinya sibuk dengan konsumsi energi, mobilitas, dan produksi emisi yang terus meningkat.

Salah satu indikator paling jelas terlihat dari jumlah kendaraan bermotor yang telah mencapai 2,3 juta unit. Volume kendaraan sebesar itu menciptakan kemacetan kronis yang bukan sekadar persoalan mobilitas, tetapi juga sumber emisi karbon yang signifikan. Polusi dari kendaraan mempertebal lapisan panas di atmosfer perkotaan, memperkuat efek urban heat island, kondisi ketika kota menyimpan panas lebih besar dibandingkan kawasan sekitarnya.

Tak heran jika setiap tahunnya suhu di Bandung Raya terus naik. Data historis menunjukkan tren yang mencemaskan: pada 1975, suhu rata-rata Bandung berada di angka 22,6°C—salah satu yang terendah pada periode tersebut. Empat puluh enam tahun kemudian, pada 2020, suhu rata-rata melonjak menjadi 25,69°C. Kenaikan sekitar 3°C ini sudah lebih cukup membuat Bandung semakin hareudang, panas dan rentan bagi Kesehatan tubuh.

Namun yang lebih mengejutkan, rekor tersebut kembali terlampaui dalam tiga tahun terakhir. Suhu rata-rata harian di Bandung kini mencapai 35–36°C, meningkat hampir 10°C hanya dalam hitungan tiga tahun. Angka ini setara dengan suhu rata-rata DKI Jakarta, kota yang secara geografis jauh lebih panas dan berada di dataran rendah. Fakta tersebut menandai percepatan pemanasan yang tak lagi bisa dianggap sebagai anomali musiman, melainkan bentuk nyata dari kombinasi perubahan iklim global dan degradasi lingkungan local di Bandung Raya.

Dengan tekanan penduduk, pertumbuhan kendaraan, urbanisasi cepat, dan pemanasan global yang terus meningkat, Bandung Raya berada pada ambang kritis. Jika tidak ada upaya pengendalian emisi, penataan ruang hijau, dan adaptasi iklim yang serius, tren kenaikan suhu ini hanya akan memperburuk kualitas hidup jutaan penduduknya.

Dataran tinggi Kawasan Bandung Utara (KBU), yang merupakan daerah resapan air yang banyak mengalami alih fungsi lahan, Kamis (12/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Dataran tinggi Kawasan Bandung Utara (KBU), yang merupakan daerah resapan air yang banyak mengalami alih fungsi lahan, Kamis (12/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Dalam kondisi tersebut, Kawasan Bandung Utara menyimpan harapan dan penyesalan. Berada di dataran tinggi dengan panorama memikatnya, KBU menjadi primadona objek wisata di Bandung. Setiap akhir pekan akses utama ke KBU, yaitu Jalan Sukajadi maupun Setiabudi ke arah Lembang padat merayap dibanjiri wisatawan yang hendak berlibur. Kawasan Lembang—satu dari banyak kawasan wisata di Bandung Raya—menawarkan berbagai rupa wana wisata. Hotel, kafe, hingga restoran bertaburan. Belum lagi kawasan hutan yang diubah sedemikian rupa menjadi camping ground, wisata outbound, maupun Glamourous Camping (Glamping).

Kawasan Bandung Utara beberapa waktu lalu pernah menjadi sorotan publik setelah mencuatnya kasus pembangunan Eiger Camp di Kabupaten Bandung Barat. Proyek wisata yang dibangun di lereng barat Gunung Tangkuban Parahu itu dinilai melanggar prinsip perlindungan kawasan konservasi dan akhirnya dihentikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Salah satu pembangunan di KBU yang menjadi sorotan publik terjadi pada Maret 2025 lalu, ketika foto drone yang diambil oleh Deni Sugandi dari komunitas Geourban mengungkap aktivitas pembukaan lahan di Desa Sukawana, Kecamatan Parompong. Dari ketinggian 120 meter, Deni memotret area sekitar 1 hektare yang telah dibuka di kawasan konservasi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat kemudian menghentikan pembangunan dan beberapa hari kemudian memutuskan melarang proyek itu dilanjutkan. 

Menanggapi penghentian tersebut, pihak Eiger Camp mengklaim pembangunan yang dilakukan sudah sesuai prosedur. PT Eigerindo Multi Produk Industri menyampaikan bahwa proyek tersebut telah mengantongi seluruh dokumen dan perizinan yang dibutuhkan.

“Dokumen Perizinan Eiger Camp dengan izin yang sudah lengkap. Koefisien Dasar Bangunan Eiger Camp itu hanya 2 persen,” ujar Jemy Septendi dari PT Mitra Reka Buana, penyusun dokumen Amdal Eiger Camp

Fenomena tempat-tempat wisata yang melabeli diri mereka sebagai ekowisata di KBU juga menjadi perhatian Gan Gan Jatnika, pemandu geowisata dan pendaki gunung. Menurutnya, banyak tempat wisata yang menggunakan label tersebut hanya sebagai teknik marketing, tetapi tidak semua benar-benar memenuhi prinsip dasar dari ekowisata. 

Gan Gan menegaskan bahwa garis merah ekowisata adalah keberlanjutan, bukan hanya membangun glamping, spot foto, atau berbagai wisata alam sesuai dengan tren saat ini. 

“Nah, apa syaratnya wisata keberlanjutan? Salah satunya adalah mempertahankan alam seasli-aslinya. Jadi yang dijual itu adalah potensi alam tanpa merusak,” tandas Gan Gan, saat ditemui BandungBergerak di sela acara wisata alternatif ramah lingkungan Geowana Ecotourism rute gunung Manglayang dan gunung Pacet, 16 November 2025.

Dampak dari tata kelola wisata yang tidak berkelanjutan adalah banjir, seperti yang kerap terjadi di Lembang belakangan ini. Dalam hal ini, Gan Gan menyebutkan bahwa pemerintah merupakan pihak yang seharusnya menjadi pionir dalam menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat bisa bergerak, tetapi arahnya tetap memerlukan ketegasan pemerintah, mulia dari pengawasan lapangan, memastikan aturan dipatuhi, hingga penindakan jika terjadi penyimpangan. Jika pemerintah mengambil komando dengan benar, masyarakat dan pelaku usaha akan lebih mudah mengikuti arah kebijakan tersebut.

Salah satu peserta Geowana Ecotourism, Devi yang sudah empat kali mengikuti kegaitan ini memiliki pandangan yang senada dengan Gan Gan terhadap kawasan wisata di KBU. Ia sangat menyayangkan atas alih fungsi lahan yang terjadi sangat tidak terkendali dan penggunaan label “eko” secara sembarangan. Devi berharap para penyelenggara wisata dapat benar-benar memahami konsep ekowisata. Bagi Devi, ekowisata seharusnya mempertahankan keaslian alam, bukan menghadirkan bangunan atau fasilitas buatan yang berpotensi merusak karakter kawasan alam.

“Sebenarnya (pelaku usaha) harusnya tahu dulu konsep ekowisata itu sendiri,” ungkap Devi.

Geowana Ecotourism yang di jalan Gan Gan bersama komunitasnya menawarkan wisata alam di Bandung Raya berbasis edukasi, menggabungkan eksplorasi alam, pengetahuan geologi, sejarah lokal, serta budaya masyarakat sekitar. Geowana dirancang untuk menemukan kembali alam sebagaimana adanya.

Salah satu kegiatan Geowana adalah trail walking, kegiatan berjalan kaki menyusuri jalur alam tanpa memodifikasinya dengan tujuan mengajak peserta untuk melihat langsung kondisi alam saat ini. Wisata ini ingin membangun kepedulian dan kesadaran bagi peserta yang melihat langsung kondisi alam di lapangan. Setelah itu, peserta diharapkan terlibat langsung dalam aksi nyata, misalnya menanam pohon, memungut sampah, membersihkan sungai, atau bentuk kegiatan menjaga lingkungan lainnya. 

Baca Juga: MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Kesadaran Memisahkan Sampah di antara Gemerlap Festival di Bandung
MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Seribu Pilihan Mengolah Sampah di Bandung, Selain Insinerator

Pembangunan di Kawasan Bandung Utara yang masif menimbulkan semakin terkikisnya daerah tangkapan air dan ruang terbuka hijau, Rabu (17/11/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Pembangunan di Kawasan Bandung Utara yang masif menimbulkan semakin terkikisnya daerah tangkapan air dan ruang terbuka hijau, Rabu (17/11/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Dosa Industri Pariwisata?

Manajer Kampanye dan Advokasi WALHI Jawa Barat, Siti Hannah Alaydrus menyebutkan, industri pariwisata yang menjamur di KBU memang berkontribusi signifikan terhadap kerusakan lingkungan. WALHI mencatat, banyak bangunan wisata dibangun di KBU tanpa memperhatikan fungsi lindung dan resapan air. Pembangunan ini otomatis mengonversi lahan, menghilangkan wilayah resapan air, mengurangi infiltrasi, dan memperbesar risiko banjir.

“Studi akademis menunjukkan bahwa perubahan pemanfaatan ruang sudah melewati batas yang layak, koefisien lahan terbangun di KBU bisa melebihi 70 persen, yang sangat merusak fungsi konservasi,” kata Hannah kepada BandungBergerak, Sabtu, 15 November 2025.

Perda Pengendalian menetapkan wilayah KBU seluas 42.315 hektare. Sebesar 20 persen dari total luasan itu atau sekitar 7.700 hektare yang diperbolehkan untuk “pembangunan”. Perda ini membagi pola ruang menjadi dua jenis, meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dua kawasan ini diatur secara rinci pembagian zonasinya, yaitu L1-L2, dan B1-B5. 

Merujuk data yang dimiliki WALHI, alih fungsi lahan di KBU telah melebihi ketentuan yang ditetapkan. Per 2019, alih fungsi mencapai 22 persen atau sekitar 11.765 hektare. Selama satu dekade, 2013-2023, ada 200 hektare lahan yang dibangun di Kawasan Bandung Utara. 

“Kalau sampai hari ini 2025, sampai 70 persen atau 28.000 hektare ada alih fungsi total. Sudah lebih dari 70 persen tutupan hutan di KBU yang alih fungsi sampai 2025. Yang terbanyak ada di KBB, luasan terbangun 42,6 persen, menjadi vila, hotel, perumahan, dan objek wisata,” ungkap Hannah.

Jika pembangunan KBU tidak terkendali, Hannah khawatir dampaknya bagi Cekungan Bandung akan sangat serius. Krisis air, banjir, longsor, polusi udara, dan peningkatan suhu adalah ancaman nyata. Belum lagi ancaman Sesar Lembang, kerugian ekonomi jangka panjang, hingga hilangnya hak masyarakat lokal yang akan membuat mereka semakin terpinggirkan.

Di samping itu, Perda Pengendalian KBU dinilai mulai luntur kekuatannya mengendalikan pembangunan yang semakin masif. Ini terjadi setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja yang melemahkan peran pemerintah provinsi. Sebelumnya, sesuai mandat Perda 2/2016, setiap pembangunan di KBU perlu mendapatkan rekomendasi dari pemerintah provinsi. Mekanisme rekomondasi ini sekarang menjadi lebih “sederhana” dan “cepat” dengan skema One Single Subsmission (OSS). 

Menurut Hannah, memang diperlukan regulasi yang lebih kuat, tegas, dan mengikat untuk mengendalikan pembangunan dan melestarikan KBU. Perda KBU memang sudah eksis hampir satu dekade. Namun regulasi ini dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) saja tidak cukup, karena kurang penegakan, beberapa fiturnya melemah setelah UU Cipta Kerja, dan “mudah diterobos” dengan celah perizinan lokal. 

“WALHI melihat solusi regulasi untuk KBU harus ada tiga lapisan hukum, pusat, provinsi, dan kabupaten/kota agar tidak mudah dibelokkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek,” ungkapnya.

WALHI mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium pemberian izin baru di KBU sambil melakukan audit izin yang sudah ada. WALHI juga mengusulkan supaya mekanisme syarat analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL) khusus di KBU, diatur secara kawasan. Bukan proyek per proyek. 

Kegiatan di kebun yang disokong oleh Odesa Indonesia, Cimenyan, Kabupaten Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Kegiatan di kebun yang disokong oleh Odesa Indonesia, Cimenyan, Kabupaten Bandung, 8 November 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Di Mana Peran Pemerintah? 

Perda Pengendalian KBU Nomor 2 Tahun 2016 memang masih relevan. Namun taringnya terkikis setelah Undang Undang Cipta Kerja. Demikian pula kewenangan pengendalian dan kontrol dari pemerintah provinsi terhadap KBU. Skema rekomendasi yang dulunya menggunakan sudut pandang lintas kabupaten/kota, kini menyempit hanya mempertimbangkan lokalitas daerah.

“KBU ini prinsipnya kawasan yang merupakan daerah serapan. Sehingga memang dari sisi pengembangan harusnya dibatasi. Nah cuma memang karena kita juga terkendala terkait dengan regulasi, provinsi sejak 2021 sudah tidak memberikan rekomendasi izin terkait pengembangan di KBU,” ungkap Kepala Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, Gunawan, Jumat, 15 November 2025.

Gunawan menyebut, mekanisme pemberian rekomendasi untuk pembangunan di KBU masih ada. Namun sekarang beralih ke kabupaten/kota. Makanya peran provinsi dalam pengendalian KBU tidak lagi signifikan. Padahal, pembentukan regulasi KBU sebagai KSP justru bertujuan supaya provinsi mengendalikan pembangunan yang berdampak terhadap lintas daerah.

Skema baru Undang Undang Cipta Kerja dan turunanya membuat sudut pandang menyempit. Misalnya, pemerintah Kabupaten Bandung Barat mengeluarkan rekomendasi dengan “hanya” mempertimbangkan lokalitasnya saja. Sementara dampak dari pembangunan akan dirasakan oleh kabupaten/kota se-Bandung Raya. Gunawan juga menyebut, tata ruang memang harus membatasi pengembangan KBU. Sayangnya mekanisme perizinan inilah yang akhirnya menjadi penentu.

Meski kehilangan power, yang bisa dilakukan oleh pemerintah provinsi adalah menghimbau dan mewanti-wanti pemerintah daerah untuk mengacu pada Perda 2/2016 dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Upaya lainnya adalah memita setiap daerah untuk mengintegrasikan RDTR dan RTRW daerahnya dengan substansi Perda 2/2016. Walaupun ini juga menjadi masalah lain, karena terdapat daerah yang belum memiliki RDTR. 

“Sebenarnya yang kita minta itu adalah bagaimana dalam proses penerbitan izin, Kabupaten/Kota memperhatikan Perda 2 tahun 2016 tersebut. Nah substansi-substansi yang ada di sana kan ada beberapa pengendalian tuh. Itu yang kita minta untuk diacu,” kata Gunawan.

Di samping itu, rencana tata ruang sudah mengatur kawasan lindung KBU seluas 26 persen dan kawasan budidaya seluas 74 persen. Gunawan membeberkan, kawasan budidaya justru dipenuhi oleh kawasan pemukiman sebesar 37 persen dan pertanian sebesar 36 persen. Bappeda tidak memiliki data rinci mengenai penggunaan kawasan pariwisata. Yang memiliki data ini, katanya, kabupaten/kota masing-masing.

“Jadi itu yang kawasan budidaya yang besarnya. Maka untuk kawasan pertanian ini khususnya yang ternyata juga menjadi penyumbang lahan kritis yang lumayan besar di kawasan Bandung Utara. Ini juga jadi satu hal yang harus kita siasati bagaimana pertanian-pertanian itu menjadi masalah ya,” jelasnya. 

Adapun mengenai banjir yang belakangan kerap terjadi di KBU, Gunawan menerangkan, faktornya memang banyak. Namun alih fungsi lahan menjadi penyebab utama. “Jumlah air runoff yang meningkat itu tentunya karena alih fungsi lahan, yang tadinya air itu harusnya menyerap di suatu area misalkan, jadi tidak bisa menyerap. Misalkan tadi harusnya tanah ini menjadi beton.”

Berkaitan dengan penguatan regulasi, menurutnya, yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah revisi RDTR KBU disesuaikan dengan kondisi terkini. Kebaruan ini bisa menjadi acuan bagi kabupaten/kota ketika mengeluarkan rekomendasi pengembangan di KBU. Di samping inisiatif terbaru yang dilakukan oleh Gubernur Dedi Mulyadi, menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan.

“Mungkin RDTR itu yang nanti kita harus segera lakukan revisi,” ujarnya.

Di tengah rumitnya nasib KBU, sejumlah komunitas dan individu punya caranya tersendiri dalam merawat alam. Mereka adalah inisiator-inisiator di akar rumput yang menyebarkan konsep ramah lingkungan untuk kelestarian KBU.

*Reportase ini dikerjakan reporter Bandung Bergerak Awla Rajul, Retna Gemilang, Fitri Amanda, Insan Radian, Yopi Muharam, dan Audrey Kayla. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//