Ada Celah Aturan di Tengah Krisis Kawasan Bandung Utara
Kawasan Bandung Utara (KBU) menjadi incaran pebisnis. Eiger Camp merupakan satu dari banyak contoh perubahan fungsi konservasi KBU.
Penulis Iman Herdiana22 April 2025
BandungBergerak.id - Kawasan Bandung Utara (KBU) baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah mencuatnya kasus pembangunan Eiger Camp di Kabupaten Bandung Barat. Proyek wisata yang dibangun di lereng barat Gunung Tangkuban Parahu itu dinilai melanggar prinsip perlindungan kawasan konservasi dan akhirnya dihentikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Kasus Eiger Camp bukanlah yang pertama. Ini mencerminkan persoalan yang jauh lebih besar: maraknya alih fungsi lahan di KBU yang berlangsung masif, tak terkendali, dan melewati celah regulasi.
KBU, dengan luas kurang lebih 38.543,33 hektare, merupakan wilayah yang terbagi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. KBU sudah lama ditetapkan sebagai daerah konservasi yang memiliki fungsi vital sebagai daerah resapan air dan penjaga keseimbangan ekologis Cekungan Bandung.
Namun, seiring waktu wajah KBU berubah. Perumahan, apartemen, hotel, tempat-tempat wisata alam buatan, dan stasiun-staisun pengisian bahan bakar bermunculan menggantikan hutan dan ladang yang semestinya dijaga sebagai resapan air.
Penelitian yang dilakukan oleh Zahwa Fadilla dan Nia Kurniasari dari Universitas Islam Bandung menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang di KBU bagian Kabupaten Bandung Barat telah menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebesar 6.735,6 hektare atau 27 persen dari total luas wilayah [jurnal berjudul "Kajian Penyimpangan Pola Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara di Kabupaten Bandung Barat", Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Bandung, dipublikasikan 24 Desember 2024]
Penyimpangan terbesar ditemukan pada pemanfaatan ruang semak belukar seluas 3.781,67 hektare dan lahan terbangun seluas 2.921,84 hektare. Lahan-lahan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung, seperti hutan rakyat dan resapan air, justru paling banyak mengalami penyimpangan. Kawasan resapan air menyumbang 1.930,1 hektare penyimpangan atau sekitar 63 persen dari total fungsinya.
Eiger Camp: Potret Terkini Krisis KBU
Kasus Eiger Camp muncul ke permukaan pada akhir Maret 2025, ketika foto drone yang diambil oleh Deni Sugandi dari komunitas Geourban mengungkap aktivitas pembukaan lahan di Desa Sukawana, Kecamatan Parompong. Dari ketinggian 120 meter, Deni memotret area sekitar 1 hektare yang telah dibuka di kawasan konservasi. Foto itu memicu perhatian publik. Pemerintah Provinsi Jawa Barat kemudian menghentikan pembangunan dan beberapa hari kemudian memutuskan melarang proyek itu dilanjutkan.
“Untuk Eiger Camp, saya sudah tetapkan tidak boleh dilanjutkan. Saya sudah perintahkan Dinas Lingkungan Hidup Jabar untuk menyegel tempat itu,” kata Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dikutip dari Kompas, 8 April 2025.
Menanggapi penghentian tersebut, pihak Eiger Camp mengklaim pembangunan yang dilakukan sudah sesuai prosedur. PT Eigerindo Multi Produk Industri menyampaikan bahwa proyek tersebut telah mengantongi seluruh dokumen dan perizinan yang dibutuhkan.
“Dokumen Perizinan Eiger Camp dengan izin yang sudah lengkap. Koefisien Dasar Bangunan Eiger Camp itu hanya 2 persen,” ujar Jemy Septendi dari PT Mitra Reka Buana, penyusun dokumen Amdal Eiger Camp.
Ia menjelaskan bahwa izin yang dimiliki mencakup Surat Keputusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), Rencana Ruang, Peil Banjir, Pengesahan Site Plan Pembangunan Eiger Camp, Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin) dari Dishub dan Polres, serta dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Dalam Surat Pengesahan Site Plan Pembangunan Eiger Camp yang diterbitkan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat, luas lahan yang disahkan untuk dikelola adalah 482.000 meter persegi, dengan Luas Pemanfaatan (Tutupan) seluas 10.012 meter persegi. “Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Kawasan Eiger Camp hanya 2,08 persen. Sementara itu batas maksimal KDB kawasan adalah 10 persen,” jelas Jemy.
Regulasi Ada, Tapi tak Mengikat
Salah satu celah utama dalam pengendalian alih fungsi lahan di KBU terletak pada lemahnya daya ikat rekomendasi gubernur sebagai prasyarat perizinan pemanfaatan ruang. Berdasarkan Pasal 54 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016, setiap pemanfaatan ruang di KBU wajib memperoleh rekomendasi dari Gubernur sebelum Bupati atau Wali Kota mengeluarkan izin. Namun dalam praktiknya, ketentuan ini seringkali tidak dipatuhi.
Peneliti dari Universitas Jenderal Achmad Yani, Ardini Rakhmania Ardan dan Aliesa Amanita menegaskan, rekomendasi gubernur dalam konteks ini bersifat morally binding, bukan legally binding.
“Rekomendasi tidak mengikat dan tidak memiliki daya paksa bagi pihak yang diberi rekomendasi untuk melaksanakannya,” tulis mereka [jurnal berjudul “Kajian Hukum terhadap Pengelolaan Kawasan Bandung Utara”, Program Studi Ilmu Hukum FISIP Universitas Jenderal Achmad Yani].
Padahal, Pasal 56 menyebutkan bahwa izin yang tidak didasari rekomendasi gubernur adalah batal demi hukum. Namun karena bentuk rekomendasi itu sendiri tidak memenuhi unsur keputusan tata usaha negara yang konkret dan final, maka ketentuan tersebut tidak cukup kuat menimbulkan akibat hukum.
Baca Juga: Bangunan Merangsek Kawasan Bandung Utara, Mahasiswa Unpad Menanam Pohon Saninten
Banjir, Kawasan Bandung Utara, dan Penggusuran
Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!
Kondisi KBU Kota Bandung
Masalah alih fungsi lahan tidak hanya terjadi di wilayah kabupaten. Di Kota Bandung, tantangan serupa muncul. Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Cipta Karya, Bina Konstruksi, dan Tata Ruang (Diciptabintar) Kota Bandung, Deni Pathudin, menyebutkan bahwa pemanfaatan ruang di kawasan Bandung Utara sudah melampaui ketentuan.
“Saat ini, kondisi tata ruang di sekitar Bandung, terutama di kawasan Bandung Utara, menunjukkan bahwa bencana seperti banjir dan longsor terjadi akibat pemanfaatan ruang yang tidak sesuai aturan. Salah satunya adalah intensitas pembangunan yang melebihi ketentuan yang seharusnya hanya 40 persen,” katanya, diakses dari laman resmi, 22 April 2025.
Ia menambahkan, Kota Bandung memiliki dua regulasi utama: Perda No. 5 Tahun 2022 tentang RTRW 2022-2042 dan Perda No. 29 Tahun 2024 tentang RDTR 2024-2044. Namun, kendati regulasi telah tersedia, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama dalam penegakan dan pengawasan.
Sementara Ardini dan Amanita dalam risetnya menyimpulkan, agar rekomendasi gubernur benar-benar memiliki daya paksa, maka bentuk hukumnya harus diubah menjadi “keputusan” atau “ketetapan” yang bersifat legally binding. Bentuk ini akan memungkinkan adanya konsekuensi hukum pidana atau administratif jika dilanggar.
Zahwa Fadilla dan Nia Kurniasari juga menekankan bahwa penyimpangan pemanfaatan ruang telah menimbulkan dampak lingkungan yang nyata. Selain krisis air bersih dan peningkatan suhu lingkungan, penyimpangan di kawasan hulu seperti KBU juga berdampak terhadap kestabilan daerah tangkapan air Sungai Citarum. Artinya, krisis ekologis di KBU bukan hanya urusan lokal, tapi menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat Bandung Raya secara keseluruhan.
Kasus Eiger Camp hanyalah satu dari sekian contoh masalah alih fungsi lahan di KBU. Tanpa pembenahan mendasar terhadap bentuk produk hukum dan penguatan pengawasan lintas wilayah, kawasan konservasi seperti KBU akan terus tergerus oleh tekanan pembangunan.
Akhirnya, masalah ekologi Kawasan Bandung Utara, dengan segala potensi ekologisnya, kini semakin serius. Celah hukum, lemahnya daya paksa rekomendasi, dan implementasi tata ruang yang tidak tegas memperparah degradasi lingkungan.
*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Bandung dalam tautan berikut ini