• Opini
  • Banjir, Kawasan Bandung Utara, dan Penggusuran

Banjir, Kawasan Bandung Utara, dan Penggusuran

Bencana banjir di Kampung Braga, Dayeuhkolot, dan titik-titik lain di Bandung Raya merupakan dampak kegagalan tata kelola ruang di Kawasan Bandung Utara (KBU).

Jejen Jaelani

Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban

Warga mengungsi keluar kampung saat banjir menerjang Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, 12 Januari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

12 Februari 2024


BandungBergerak.id – Pernyataan Pj. Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin "Di pinggiran sungai itu sebetulnya membahayakan. Idealnya direlokasi, tapi harus ada pendekatan ke masyarakat, jangan sampai menimbulkan gejolak dan sudah ada beberapa rumah susun yang disiapkan, tapi tetap harus ada pendekatan humanis," sebagaimana dikutip Antara, Selasa 16 Januari 2024 sungguh menyakitkan. Belum kering kasur, sofa, baju, dan berbagai peralatan di rumah warga korban banjir di kawasan Braga dan Dayeuhkolot, Pj. gubernur Jabar ini malah ingin menambah beban warga. PJ gubernur Jabar ini mengutarakan rencananya untuk merelokasi warga yang tinggal di pinggiran sungai ke rumah susun yang bahkan belum ada wujudnya.

Bagi pemerintah, peristiwa terjadinya banjir di kawasan Braga, Dayeuhkolot, dan banyak titik lain di Kota Bandung dan Jawa Barat, seakan-akan menjadi momentum untuk melegitimasi rencana penggusuran permukiman warga. Peristiwa banjir yang disebabkan oleh permasalahan yang sangat kompleks dan dibiarkan berlarut-larut, disimplifikasi menjadi sekadar disebabkan oleh warga yang tinggal di kampung-kampung pinggir sungai.

Bencana banjir di kawasan Braga, Dayuehkolot, dan beberapa titik lain ini menjadi siasat “mumpang meumpeung” untuk mengutarakan kebijakan yang mengancam keberadaan permukiman warga. Permukiman warga menjadi kambing hitam dari bencana banjir yang menerjang rumah mereka. Akan tetapi, jika ditelisik lebih lanjut, bencana banjir yang terjadi beberapa saat lalu, merupakan dampak kegagalan tata kelola ruang di Kawasan Bandung Utara.

Baca Juga: Kemacetan, Kegagalan Sistem, dan Dosa Individu
Reklame Politik di Ruang Kota
Ruang Kota yang Hit dan Kitsch

Kebijakan terkait KBU

Merujuk pada Perda Provinsi Jawa Barat No. 2 tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat, Kawasan Bandung Utara (KBU) memiliki fungsi dan peran di dalam menjamin keberlanjutan kehidupan dan keseimbangan hidup di Cekungan Bandung. Disebutkan pula bahwa pemanfaatan ruang di KBU yang tidak terkendali akan mengancam keberlangsungan fungsi konservasi kawasan sebagai daerah tangkapan air dan menimbulkan berbagai bencana alam. 

Akan tetapi, di dalam praktiknya, pembangunan di KBU terus-menerus terjadi. Pembangunan kawasan wisata, restoran, hotel, apartemen, dan perumahan elit terus berlanjut. Lahan-lahan di KBU terus diburu oleh pengusaha dan pengembang karena kawasan ini menawarkan pemandangan yang indah, cuaca yang sejuk, serta suasana yang rindang dan asri. Pembangunan berbagai fasilitas komersial yang menawarkan pemandangan, cuaca, alam ini semakin menjamur dari hari ke hari.

Lahan-lahan pertanian, perkampungan warga, dan hutan perlahan-lahan berubah fungsi menjadi kawasan komersial. Pemberian izin dilakukan terus-menerus dengan dalih bahwa pembangunan kawasan wisata, restoran, hotel, dan perumahan elit di daerah hulu memberikan pemasukan yang berarti bagi pendapatan asli daerah (PAD) dan produktif secara ekonomi. Selain itu, pembangunan ini membuka peluang bagi terbukanya lapangan pekerjaan.

Di dalam realitasnya, ongkos dampak dari berbagai pembangunan ini jauh lebih mahal dan destruktif, baik secara ekonomi maupun secara lingkungan. Banjir yang menjadi langganan setiap musim hujan, banjir bandang, longsor, kekeringan dan kesulitan air pada musim panas merupakan beberapa dampak yang terjadi. Saking bencana ini hampir selalu berulang setiap hujan datang atau musim panas, bencana-bencana ini kemudian dianggap sebagai hal yang dianggap lazim terjadi. Seakan-akan hal ini menjadi rutinitas yang layak dimaklumi.

Wacana mengenai penertiban di kawasan KBU juga hanya muncul ketika terjadi bencana. Pembangunan di KBU hanya memungkinkan jika rekomendasi dari gubernur Jawa Barat dan perizinan dari pemerintah kabupaten/kota diterbitkan. Di dalam Perda Jabar No.2 Tahun 2016, disebutkan bahwa (1) setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang KBU wajib memperoleh rekomendasi Gubernur dan izin pemanfaatan ruang dari Bupati/Wali Kota, sesuai peraturan perundang-undangan. (2) Rekomendasi Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebelum izin pemanfaatan ruang diterbitkan Bupati/Wali Kota. Jadi di dalam penerbitan izin pemanfaatan ruang di KBU, rekomendasi Gubernur Jabar merupakan hal yang sangat menentukan. Rekomendasi Gubernur ini menjadi dasar dalam penerbitan izin pemanfaatan ruang di KBU. Selain itu, pemberian izin dari pemerintah kota dan kabupaten tentu menjadi akar permasalahan di KBU.    

Penerbitan rekomendasi dan izin secara ugal-ugalan menjadi penyebab paling krusial dari rusaknya Kawasan Bandung Utara. Pembangunan yang tidak terkendali membuat kawasan yang semestinya menjadi kawasan lindung dan penyangga bagi Cekungan Bandung mengalami kerusakan dan dampaknya dirasakan oleh warga di kawasan Cekungan Bandung.

Wacana Penggusuran

Di dalam peristiwa terjadinya banjir di Kampung Braga, Dayeuhkolot, dan titik-titik lain di Bandung beberapa waktu belakangan, ada satu hal yang sangat mengkhawatirkan muncul. PJ Gubernur Jawa Barat melontarkan rencana melakukan relokasi atau penggusuran bagi warga yang tinggal di pinggiran sungai. Warga diposisikan seakan-akan sebagai sumber masalah dari bencana banjir yang melanda Kota dan Kabupaten Bandung ini.

Bencana banjir ini seakan-akan dimanfaatkan sebagai momentum untuk melemparkan kebijakan relokasi atau penggusuran warga di pinggiran sungai. Menurut Bey evaluasi akan menyasar keberadaan permukiman di bantaran dan pinggiran sungai yang idealnya sebagai daerah resapan (Antara, 16 Januari 2024).

Menyudutkan keberadaan permukiman di pinggiran Cikapundung sebagai penyebab masalah banjir sehingga warga di permukiman ini harus direlokasi adalah sesat pikir. Jika ditilik ke dalam sejarah Kota Bandung, permukiman warga di tepi Cikapundung ini merupakan cikal bakal dari Kota Bandung. Edi S. Ekadjati, Sobana Hardjasaputra, dan Ietje Mardiana pada buku Sejarah Kota Bandung 1945-1979 (1985: 38) mencatat bahwa ketika ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak (Dayeuhkolot) ke tepi Cikapundung (pusat Kota Bandung sekarang), di sekitar Cikapundung sudah ada permukiman yaitu di Cikapundung Kolot, Bogor (Kebonkawung), Balubur, dan Cikalintu. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa cikal-bakal penduduk Kota Bandung adalah penduduk dari kampung-kampung tersebut. 

Pemerintah seharusnya fokus pada penyebab masalah sebenarnya, yaitu kerusakan di daerah KBU karena kacaunya tata kelola di kawasan tersebut. Kebijakan dan pemberian izin secara sektoral menjadi biang dari kerusakan ekologi di KBU. Masing-masing pemerintah kota atau kabupaten di Bandung Raya menerbitkan perizinan berdasarkan keuntungan sektoral dan jangka pendek. Pada titik ini, peran Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat sangat krusial sebagai pengelola dan pembuat kebijakan kawasan.

Kerusakan di kawasan ini menyebabkan rusaknya resapan air sehingga kiriman air dari kawasan ini ke kawasan yang lebih rendah menjadi sangat besar. Jangan sampai, peristiwa bencana banjir di Bandung ini menjadi modus operandi pemerintah untuk melakukan penggusuran permukiman warga. Sebagaimana diketahui, lahan-lahan permukiman yang berada di kawasan pusat kota, termasuk Kampung Braga, memiliki lokasi strategis dan bernilai tinggi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//