Ruang Kota yang Hit dan Kitsch
Pembangunan ruang publik sering kali ahistoris dan tidak berakar dari kebutuhan lokal masyarakat. Ruang publik kota menjadi ruang yang norak dan kaos.
Jejen Jaelani
Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban
26 Desember 2023
BandungBergerak.id – Jika berkunjung ke banyak kota, di dalam beberapa tahun belakangan, kita akan menemukan satu fenomena yang menarik untuk ditelisik. Muncul gaya yang hampir seragam di ruang-ruang publik berbagai kota di Indonesia.
Desain alun-alun, misalnya, selalu disertai dengan huruf timbul (sign letter) nama “taman alun-alun kota…”, “alun-alun kota…”, nama kota tersebut, atau slogan kota tersebut. Huruf-huruf itu dipajang dengan ukuran besar sehingga keberadaannya sangat mencolok. Huruf-huruf yang digunakan juga sangat beragam, mulai dari huruf dengan karakter formal, dinamis, hingga kekanak-kanakan. Tidak jarang, huruf-huruf tersebut dicat dengan warna-warni mencolok. Selain itu, penggunaan rumput sintetis juga menjadi hal yang umum untuk mengisi lapangan alun-alun. Berbagai pelengkap seperti tiang lampu, bangku, instalasi patung, tong sampah, dan lain-lain pun dibuat dengan mengutamakan gaya-gaya yang menarik perhatian.
Tidak hanya alun-alun, berbagai taman, trotoar jalan, gerbang selamat datang, dan ruang-ruang publik lain di kota juga mengalami hal yang sama. Tampilan kota dipercantik untuk menarik perhatian publik. Pemerintah kota atau kabupaten berlomba-lomba untuk mempercantik kotanya.
Baca Juga: Ruang Publik di Bandung Cenderung Kaku dan Berjarak
Menyulap Brandgang Kumuh Menjadi Ruang Publik yang Cantik
Rendahnya Kualitas Ruang Publik Kota Bandung Berpengaruh Buruk pada Kesehatan Masyarakat
Pembangunan Ruang Publik
Ruang publik kota merupakan bagian penting di dalam tata ruang kota. Ruang publik ini menjadi tempat bagi warga kota untuk beraktivitas, bermain, berolahraga, menikmati suasana kota, berkumpul, mencurahkan aspirasi, hingga menyampaikan pandangan-pandangan politiknya. Pembenahan ruang publik di berbagai kota, tentu menjadi hal yang baik untuk diapresiasi. Munculnya kesadaran para pembuat kebijakan tentang pentingnya ruang publik menjadi hal yang sangat positif.
Akan tetapi, pembangunan ruang publik di berbagai kota di Indonesia cenderung mengacu pada tren yang sedang marak. Pemerintah kota berlomba-lomba untuk memoles kotanya sesuai dengan tren yang sedang berkembang di kota-kota lain. Tren ini terutama didorong oleh maraknya lanskap kota yang viral di media sosial. Estetika kota pun direduksi hanya pada perkara menarik atau tidak, ramai atau tidak, dan viral atau tidak.
Lanskap kota yang berkembang kini adalah lanskap kota dengan konsep ATM (amati, tiru, modifikasi) dari lanskap kota lain yang sedang ramai atau viral di media sosial. Kita dapat melihat bagaimana, misalnya, tren pemasangan huruf timbul seakan-akan menjadi sebuah keniscayaan di ruang-ruang publik. Huruf timbul ini dibuat dengan berbagai macam variasi yang cenderung mewakili selera pembuat kebijakan. Ukuran huruf dibuat besar, warna yang dipilih adalah warna yang mencolok, dan jenis huruf juga dibuat seunik mungkin. Huruf timbul ini pun juga sering muncul di depan kantor-kantor pemerintahan bahkan di bangunan landmark yang sudah sangat terkenal. Huruf timbul ini seakan-akan menegaskan informasi yang sebenarnya sudah jelas dan gamblang.
Contoh lain, berbagai patung dinosaurus, robot, atau instalasi bentuk-bentuk bangun ruang dengan warna-warni menjadi sesuatu yang menggejala di ruang-ruang publik berbagai kota. Padahal patung dinosaurus, robot, atau instalasi bentuk bangun ruang menjadi hal sudah pasti ahistoris bagi ruang-ruang publik tersebut. Berbagai objek yang sama sekali asing dihadirkan di ruang publik kita demi menarik perhatian pengunjung. Tidak jarang, untuk mengisi aktivitas di ruang-ruang tersebut, berbagai atraksi kendaraan hias lampu, lampion, patung-patung temporer, cosplay berbagai karakter, dan berbagai atraksi lain dihadirkan di ruang-ruang ini.
Fenomena lanskap kota yang meriah dan dilengkapi dengan berbagai hiasan seperti warna-warni lampion, payung, lampu hias, instalasi seni, air mancur, bahkan bianglala menjadi fenomena yang berulang di ruang-ruang kota yang berbeda. Hiasan warna-warni ini menjadikan ruang-ruang ini menjadi meriah dan menyedot perhatian publik. Hal ini kemudian mendorong orang-orang untuk berfoto selfie atau memfoto ruang ini dan mengunggahnya ke media sosial.
Para pengambil kebijakan sering kali merasa pembangunan berhasil ketika ruang-ruang ini hit atau viral di media sosial. Keberhasilan pembangunan diukur hanya dengan ramai atau tidaknya orang-orang berkunjung dan kemudian mengunggah foto atau video yang menangkap ruang ini ke dalam media sosial. Pemerintah sering kali mengabaikan faktor-faktor penting di dalam pembangunan ruang publik kota seperti kedekatan budaya, asal usul historis, kesesuaian dengan lingkungan eksisting, fungsionalitas, masalah lingkungan, masalah sosial, keberlangsungan, hingga efek jangka panjang pembangunan tersebut.
Hit dan Kitsch
Pada titik tertentu, konsep pengembangan lanskap kota yang mengusung tren seperti ini sudah mencapai titik kulminasi. Orang-orang mengalami kebosanan karena menemukan hal-hal yang sama dan terus berulang bahkan di berbagai kota yang berbeda. Ketimbang menjadi kota yang unik, kota-kota kita berkembang menjadi kota yang seragam.
Pengulangan konsep ini pada titik tertentu sudah menjadi kitsch. Di dalam bahasa sederhana kitsch ini dapat diartikan sebagai norak dan kurang terpelajar. Di dalam Merriam-Webster Dictionary, kitsch diartikan sebagai 1. sesuatu yang menarik bagi selera populer atau rendah dan sering kali berkualitas buruk, 2. kualitas atau kondisi norak atau rendah. Di dalam Cambridge Dictionary, kitsch disebutkan sebagai 1. seni, benda-benda dekoratif, atau desain yang dianggap oleh banyak orang jelek, tanpa gaya, atau palsu tetapi dinikmati oleh orang lain, seringkali karena lucu, 2. seni mencolok atau murah, benda-benda dekoratif yang menarik bagi orang-orang yang dianggap kurang menghargai gaya atau keindahan.
Celakanya, di banyak daerah, kebijakan pengembangan lanskap kota banyak disandarkan pada tren ini. Kita dapat melihat bagaimana fenomena ini dapat dilihat di berbagai lokasi populer di berbagai kota. Lanskap atau landmark kota tertentu dibuat untuk tujuan foto selfie, diupayakan viral, dan dibuat semeriah mungkin.
Pembangunan ruang publik secara meriah seakan-akan menjadi sebuah pencapaian bagi pemerintah. Secara kultural, lanskap kota menjadi lanskap yang seakan-akan baru. Lanskap ini berusaha dilepaskan dari sejarah panjang, kultur kota, dan lingkungan eksisting yang telah lama terbentuk. Secara sosial, ruang-ruang ini kemudian menghadirkan berbagai masalah baru. Banyaknya masyarakat dan pengunjung yang tertarik datang menjadikan ruang ini menjadi ruang-ruang kerumunan yang cenderung kaos: tumpukan sampah, kotor, parkir liar, pedagang kaki lima dan asongan insidental, pengamen, pengemis, premanisme, tindak kriminal seperti copet dan pemalakan, kemacetan lalu lintas, polusi suara, dan sebagainya.
Di dalam banyak kasus, lokasi-lokasi ini dibangun dengan konsep ahistoris dan tidak berakar dari kebutuhan lokal masyarakat. Ruang publik kota menjadi ruang yang norak dan kaos. Jika dibiarkan, tentu hal ini akan menjadi preseden buruk bagi pengembangan lanskap kota kita.