• Berita
  • Rendahnya Kualitas Ruang Publik Kota Bandung Berpengaruh Buruk pada Kesehatan Masyarakat

Rendahnya Kualitas Ruang Publik Kota Bandung Berpengaruh Buruk pada Kesehatan Masyarakat

Kota Bandung dengan laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang tinggi mengalami penyusutan ruang terbuka hijau (RTH) ataupun ruang publik.

Pembangunan di Kawasan Bandung Utara yang masif menimbulkan semakin terkikisnya daerah tangkapan air dan ruang terbuka hijau, Rabu (17/11/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana24 Agustus 2023


BandungBergerak.idPandemi Covid-19 sudah berlalu, setidaknya sejak Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pagebluk sudah tidak menjadi kondisi darurat kesehatan global sejak 5 Mei 2023. Per tanggal tersebut, status pandemi global resmi berakhir.

Meski demikian, hingga Mei 2023, pandemi Covid-19 telah menyebabkan 6.932.591 jiwa di seluruh dunia meninggal dunia. Rata-rata kematian akibat pandemi Covid-19 adalah 2.310.864 jiwa per tahunnya.

Di samping tingginya jumlah korban pandemi Covid-19, ada kekhawatiran lain yang ditimbulkan dari dampak pascapandemi, yaitu perilaku kelembaman fisik (inactivity pandemic). Kelembaman fisik merupakan perilaku keengganan bergerak warga masyarakat yang berdampak buruk bagi kesehatan. Hal ini dapat menurunkan harapan hidup seseorang.

Menurut data Nature (2017), kematian yang disebabkan perilaku kelembaman dapat mencapai 5.300.000 kematian per tahunnya di dunia. Bahkan, hingga kini pun masih berlangsung.

"Hal ini terjadi, misalnya ketika seseorang lebih banyak duduk, tiduran di sofa sambil menonton tv atau banyak duduk di depan meja komputer," kata salah satu tim peneliti dari Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur (KK PA) SAPPK ITB Mochamad Prasetiyo Effendi Yasin, dikutip dari laman ITB, Kamis (24/8/2023).

Dampak pascapandemi berupa kelembaman fisik ada kaitannya dengan kualitas ruang terbuka hijau atau ruang publik. Sebagai gambaran, Kota Bandung dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi mengalami penyusutan ruang terbuka hijau (RTH) ataupun ruang publik.

WHO menyatakan fenomena kelembaman fisik ini adalah pandemi bagi warga dunia. Bahkan, penyebab kematian utama di dunia, yakni stroke serta serangan jantung, dapat disebabkan oleh perilaku kelembaman fisik yang tidak sehat.

Yuni Sri Handayani dalam jurnal ilmiah “Problema Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung” membeberkan rekapitulasi RTH publik di Kota Bandung sampai tahun 2020 seluas 1.090.54 hektare (6.52 persen dari total luas Kota Bandung).  

“Apabila  dihitung  dari  kontribusi  masing-masing  fungsi  RTH,  maka  komposisi RTH  terbesar  berasal  dari  penanganan  lahan  kritis  yaitu  sebesar  38 persen,  yang  utamanya terdapat di Kawasan Bandung Utara (KBU),” tulis Yuni Sri Handayani, diakses dari Jurnal Wilayah dan Kota.

Dari sisi kesehatan, penyakit yang ada hubungannya dengan kurang gerak atau malas olahraga di Kota Bandung memiliki angka yang tidak main-main. Berdasarkan data Riskesdas Kemenkes tahun 2018, prevalensi penyakit hipertensi di Kota Bandung adalah 1:3. Artinya ada sekitar 700.000 warga Kota Bandung yang mengidap penyakit hipertensi atau darah tinggi.

Data Dinas Kesehatan Kota Bandung per bulan Mei 2022 baru tercatat 28.000 warga Kota Bandung dari usia 15-69 tahun mengidap penyakit hipertensi termasuk ibu hamil.

“Dari estimasi angka 700.000 kasus hipertensi yang ada di Kota Bandung, baru 28.000 yang tercatat dan terlapor di kami dari hasil skrining kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit sampai triwulan 1 tahun 2022,” jelas Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Bandung Ira Dewi Jani, dikutip dari laman resmi

Ira menjelaskan bahwa hipertensi dikenal juga sebagai silent killer karena kebanyakan kasus hipertensi tidak didahului gejala awal yang terdeteksi. Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang berbahaya karena dapat memicu berbagai penyakit akut seperti penyakit jantung, stroke, retinopati, dan gagal ginjal, hingga menyebabkan kematian.

Hipertensi adalah tekanan pada aliran darah yang melebihi ambang batas 140/90 mmHg sehingga membuat kerja jantung semakin keras dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Meski hipertensi tidak bisa disembuhkan, hipertensi bisa dicegah dan dikendalikan.

Faktor risiko hipertensi yang dapat dikendalikan meliputi pola hidup seperti merokok, mengonsumsi garam berlebih, istirahat yang kurang, dan makanan yang tidak sehat. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan meliputi usia, jenis kelamin, dan keturunan.

“Kami mengajak warga supaya skrining hipertensi setiap bulan atau minimal 1 tahun dalam sekali sebelum muncul gejala stroke akibat hipertensi karena pengidap hipertensi tidak mesti orang tua, tapi juga bisa menjangkiti anak 15 tahun ke atas,” ajak Ira.

Ira juga berpesan bagi warga yang belum ataupun sudah mengidap penyakit hipertensi agar melakukan upaya mandiri langkah Cerdik, kependekan dari cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rutin melakukan aktivitas fisik, diet atau menu makanan yang seimbang disertai minum yang cukup, istirahat yang cukup, serta kelola stres dengan benar.

Kelembaman Fisik di Indonesia

Indonesia menjadi negara yang mempunyai masalah kelembaman fisik atau malas gerak yang serius. Menurut studi yang dilakukan oleh peneliti di Stanford, penduduk Indonesia memiliki masalah serius mengenai aktivitas berjalan kaki.

"Berdasarkan data penghitung langkah akselerometer dari ratusan ribu ponsel di seluruh dunia, rata-rata orang di Indonesia mengambil langkah paling sedikit per hari dibandingkan negara mana pun yang ditinjau oleh para peneliti," begitu menurut studi yang dilakukan peneliti Stanford.

Sebagai pembanding, penduduk China umumnya berjalan sebanyak 6.189 langkah per harinya, sementara masyarakat Indonesia hanya sebanyak 3.513 langkah per hari. Jumlah ini pun masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga, Filipina, dengan jumlah 4.008 per harinya.

"Upayanya merubah perilaku masyarakat agar lebih sehat semestinya menjadi masalah kita semua. Baik pihak pemerintah, pihak swasta dan warga masyarakat," ujar peneliti dari KK PA Mochamad Prasetiyo Effendi Yasin.

Baca Juga: Melihat Dampak Lingkungan dan Hak Warga yang Menolak Pembangunan TPST Cicabe
Mempertahankan Ruang Hidup di Rumah Bedeng Tamansari
Kebakaran yang Menerjang TPA Sarimukti Menjadi Potret Buruk Pengelolaan Sampah Bandung Raya

Kualitas Ruang Publik dan Kelembaman Fisik

Salah satu yang hal yang dapat mengatasi masalah kelembaman fisik adalah membangun kebiasaan berjalan kaki. Indonesia perlu lebih mengkampanyekan berjalan kaki, sebagai aktivitas utama di dalam kota. Agar masyarakat pun lebih sehat dan sejahtera.

Prasetiyo menjelaskan ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan perannya agar masyarakat semakin leluasa. Pertama adalah soal kebijakan. "Keberpihakan dan pemberian insentive hendaknya diberikan pada moda transportasi yang dapat meningkatkan kesehatan bagi masyarakat, tidak menghasilkan polusi, dan berkelanjutan," ungkapnya.

Menurutnya kebijakan peraturan juga hendaknya mendukung serta memberikan perlindungan maksimal bagi non motorized transportation mode, seperti untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda.

Kemudian yang perlu diperhatikan adalah kualitas ruang publik, yang hendaknya dibangun dengan material serta kualitas pekerjaan yang prima. Tujuannya untuk makin menjamin keberlanjutan serta keselamatan pengguna.

Lalu integrasi sistem jalur pejalan kaki dan sepeda yang juga perlu diperhatikan dalam perencanaan strategis pemanfaatan ruang publik. Dalam perencanaan transportasi perlu pula memasukkan fasilitas pejalan kaki serta sepeda sebagai salah satu moda transportasi yang terintegrasi dengan jaringan perkotaan. 

Ruang publik juga perlu memiliki ambience atau suasana dan karakter yang menyenangkan bagi pejalan kaki. Salah satu unsur yang penting adalah dengan kehadiran pohon-pohon di sekitarnya. 

Tak hanya dapat melindungi diri dari panas matahari, semakin teduh pepohonan juga dapat membangun suasana yang menyenangkan bagi para pejalan kaki. Sehingga mereka juga dapat beraktivitas lebih lama di ruang publik. 

ITB sebagai perguruan tinggi yang juga mengusung eco-campus dapat menjadi wadah yang strategis bagi perubahan perilaku masyarakat untuk lebih aktif bergerak. 

Selain itu, mengoptimalkan fungsi ruang publik juga dapat menjadi cara untuk masyarakat lebih termotivasi lebih banyak bergerak dan beraktivitas di ruangan terbuka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//