• Cerita
  • Mempertahankan Ruang Hidup di Rumah Bedeng Tamansari

Mempertahankan Ruang Hidup di Rumah Bedeng Tamansari

Eva Eryani menjalankan usaha menjahit di rumah bedeng yang kini terancam digusur Pemkot Bandung.

Eva Eryani di luar rumah bedengnya sekitar rumah deret Tamansari, Bandung, Selasa (23/8/2023). (Foto: Daffa Primadya Maheswara/BandungBergerak.id)

Penulis Daffa Primadya Maheswara23 Agustus 2023


BandungBergerak.idSelepas mendapatkan surat peringatan untuk mengosongkan dan membongkar bangunan, Eva Eryani berusaha tetap beraktivitas secara wajar. Ia tetap mengerjakan usaha menjahit pakaian di rumah bedengnya di Tamansari, Bandung, meski dibayangi ancaman penggusuran.

Eva merupakan satu-satunya warga yang bertahan di reruntuhan yang terdampak proyek pembangunan rumah deret Tamansari. Semangat hidup masih terpancar kuat dari sorot matanya.

Di masa lalu, di lokasi rumah bedeng sekarang Eva pernah memiliki rumah dua lantai yang dipakai sebagai tempat usaha konveksi yang mempekerjakan 11 orang.  Ia juga membuka kolam ternak lele.

Namun penggusuran besar-besaran pada 2019 telah meluluhlantakkan rumah dan usaha Eva. Semua tak tersisa, kecuali rumah bedeng dan satu unit mesin jahit yang menjadi penyambung hidupnya.

"Sekarang gini ada gak warga yang dipindahkan dan tinggal di rumah susun pascapenggusuran jadi sejahtera?" tanya Eva Eryani, saat ditemui Selasa (23/8/2023).

Pertanyaan Eva muncul sebagai tanggapan terkait penggusuran terhadap kampung kota Tamansari. Pemkot Bandung berdalih penggusuran dilakukan untuk membangun rumah susun atau rumah deret yang nantinya bisa ditempati warga.

Eva mempertanyakan definisi rumah deret sebagaimana dijanjikan Pemkot Bandung. Dalam Undang-undang No 1 tahun 2011 tidak ada spesifikasi bangunan rumah deret dengan bentuk vertikal ke atas. Sementara bangunan yang dibangun sekarang di Tamansari merupakan bangunan vertikal atau rumah susun.

"Kalau rumah deret ya rumah deret. Bilang saja ini mah rumah susun, warga kan mengiranya akan dirapikan, proyek kota tanpa kumuh. Jadi kita bingung dia mau mengajukan rumah deret apa rumah susun," kata Eva.

Menurutnya, penggusuran yang mengalihkan warga ke rumah deret atau rumah susun tak sebanding dengan kesejahteraan warga saat sebelum digusur. Dalam kasus Tamansari, ada warga yang memiliki kontrakan dengan penghasilan lumayan. Belum lagi banyak korban yang syok yang menimbulkan kerugian imateriil tak ternilai.

"Kami terpaksa mengubur semuanya, belum lagi banyak orang tua yang syok sampai ada yang meninggal loh ini," tegas Eva.

Surat Peringatan Penggusuran

Eva mengaku cukup terganggu dengan datangnya surat peringatan dari Satpol PP Kota Bandung. Kedatangan surat yang memerintahkan pengosongan dan pembongkaran rumah ini menghambat aktivitas bekerjanya sehari-hari. Meski demikian, Eva siap menghadapi Satpol PP Kota Bandung.

"Saya tidak menunggu para Satpol PP itu datang, tapi saya siap jika mereka datang," tegas Eva.

"Ngaripuhkeun wae kan saya juga ada keperluan lain. Tapi ini saya pengin tahu siapa nih yang datang hari ini dari pihak sana. Ya siap mah siap pasang badan," sambung Eva, sambil tertawa.

Selain itu, sampai sekarang Eva tidak mengetahui batas-batas tanah yang diklaim Pemkot Bandung untuk mendirikan rumah deret. Menurutnya, Pemkot Bandung harus menunjukkan batas-batas tersebut.

"Saya sudah 3 generasi hingga lahir disini tapi gatau batas tanah pemkot tuh dari mana ke mana?" tanya Eva.

Eva menegaskan dirinya akan terus bertahan. Penggusuran harus dilawan. Jika tidak, esok atau lusa penggusuran bisa terjadi di mana saja. 

Eva juga mengingatkan warga, terutama anak muda, agar tidak boleh menormalisasi kecurangan, korupsi, penindasan yang dilakukan pemerintah. Normalisasi akan membuat praktik-praktik buruk merajalela. 

"Kalau kita sudah biasa dengan menerima kejadian sudah pasti orang orang itu semakin enak menindas rakyatnya. Bahwa saya takut sekali kalau anak-anak muda ini kehilangan idealismenya, bagaimana ke depannya kalau semua sudah dianggap biasa?" ucap Eva. 

Baca Juga: Dukungan Warga Dago Elos untuk Eva Eryani di Tamansari
Lagi-lagi Teror untuk Eva Eryani di Tamansari
Kobaran Semangat Eva Eryani selama Enam Tahun Melawan Penggusuran Tamansari

Eva Eryani di luar rumah bedengnya sekitar rumah deret Tamansari, Bandung, Selasa (23/8/2023). (Foto: Daffa Primadya Maheswara/BandungBergerak.id)
Eva Eryani di luar rumah bedengnya sekitar rumah deret Tamansari, Bandung, Selasa (23/8/2023). (Foto: Daffa Primadya Maheswara/BandungBergerak.id)

Memarjinalkan Kampung Kota 

Kampung kota Tamansari merupakan salah satu kasus penggusuran yang terjadi di Kota Bandung. Sebelumnya, penggusuran telah menimpa warga di Kampung Kolase Babakan Siliwangi (2015), Jalan Karawang (2015), Kebon Jeruk (2016), Anyer Dalam (2021). Kampung kota lain yang terancam tergusur adalah Dago Elos. Tanah Dago Elos diklaim oleh keluarga Muller berbekal surat-surat tanah di masa kolonial Belanda.   

Fiqih R Purnama dalam skripsinya yang berjudul “Adaptasi Warga Kampung Kota yang Bertahan dalam Konflik Penggusuran (Studi Kasus: Penggusuran Kampung Kota Tamansari Bandung)” 2018 mengatakan, kampung kota di Bandung cenderung mendapat stigma yang menyudutkan. Posisi mereka termarjinalkan, padahal mereka memiliki peran penting di bidang biologis, sosial, ekonomi, politis, dan lingkungan untuk membentuk masyarakat sejahtera.

“Arti penting kampung kota cenderung diabaikan dan bahkan ironisnya dianggap tidak penting,” tulis Fiqih R Purnama, diakses Rabu (23/8/2023).

Fiqih menjelaskan, kampung kota memiliki arti penting bagi Kota Bandung. Mayoritas penduduk Kota Bandung mengambil tempat di kampung kota untuk bermukim. Sebagai salah satu bentuk permukiman perkotaan, kampung kota diyakini sebagai manifestasi dari budaya bermukim masyarakat lokal yang disebut kampung.

Namun kampung kota telah banyak didefinisikan, dibentuk, dibayangkan, dikelola, dikendalikan, dan dieksploitasi melalui wacana pinggiran (marginal). Hal ini membuat kampung kota dipandang tradisional dan tertinggal dibandingkan bagian wilayah kota lainnya.

“Bahkan persepsi budaya urban yang ditopang oleh budaya bermukim kampung kota ini, dalam sudut pandang definisi kota modern (barat), terkadang dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan tidak semestinya terjadi,” tulis Fiqih.

Karena posisinya yang dipinggirkan, kampung kota kerap menghadapi penggusuran. Namun penggusuran pada kampung kota kerap memunculkan permasalah pelik. Maksud ingin memberikan hunian yang lebih layak untuk warganya sering kali tidak tersampaikan dan terlaksanakan dengan baik. Penggusuran kemudian memunculkan konflik sosial dan penolakan.

Warga menolak dengan berbagai argumentasi, mulai dari soal terancamnya kehidupan sosial mereka, tersingkirnya pekerjaan yang mereka punya, pendidikan anak-anak, dan lain-lain. Warga juga memiliki ikatan kuat dengan lingkungan yang tentunya telah ditempati sejak lama.

Di sisi lain, warga yang terancam penggusuran memiliki hak-hak yang harus dan bisa mereka tuntut kepada pemerintah. Di antaranya, mendapatkan informasi dan manfaat dari pembangunan yang membuat mereka tergusur.

Undang-undang no1 tahun 2011 menyatakan warga berhak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, serta berhak mengajukan guguatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kaswasan permukian yang merugikan masyarakat. 

Fiqih menggarisbawahi bahwa tidak terpenuhinya hak-hak warga kampung kota mengindikasikan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Pada kasus Tamansari indikasi pelanggaran hak asasi manusia telah dikemukakan oleh Komnas HAM.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//