Kobaran Semangat Eva Eryani selama Enam Tahun Melawan Penggusuran Tamansari
Penggusuran besar-besaran di Tamansari untuk pembangunan rumah deret terjadi 12 Desember 2019. Kini menyisakan Eva Eryani, masih satu masih melawan.
Penulis Awla Rajul27 Juni 2023
BandungBergerak.id - Enam tahun berlalu pascapenggusuran besar-besaran proyek pembangunan rumah deret Tamansari, kini menyisakan “masih satu masih melawan”, yaitu Eva Eryani Effendy. Warga Tamansari ini tak pernah padam melawan kesewenang-wenangan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang berdalih bahwa penggusuran dilakukan untuk menghilangkan kampung kumuh Tamansari.
Peristiwa penggusuran yang dilakukan Pemkot Bandung dan aparat gabungan itu diperingati dalam acara sederhana dan khidmat: “Enam Tahun Tamansari Melawan: Melawan Penggusuran Tamansari, Jika Berani Cabut Saja Hak Warga Negara Kami” di Gang Nurul, Tamansari, Kota Bandung, Sabtu (24/6/2023) malam.
Mengenakan kaos dengan gambar Gedung Sate yang bertuliskan “PENGGUSURAN”, dalam peringatan itu Eva mengulas balik peristiwa penggusuran yang diwarnai kekerasan aparat pada 12 Desember 2019 silam. Proses penggusuran berlangsung cepat sehingga warga sempat tidak bisa berpikir upaya apa yang bisa dilakukan. Namun setelah diberitakan media massa, teman-teman yang bersolidaritas untuk korban penggusuran berdatangan ke Tamansari.
“Oh ternyata banyak juga yang care dengan warga. Jadi malah banyak belajar apa yang harusnya dilakukan oleh warga, kami malah banyak melontarkan pertanyaan kepada teman-teman muda, teman-teman kampus yang hadir ke Tamansari,” demikian ungkap Eva, pada sesi diskusi peringatan Enam Tahun Tamansari Melawan.
Eva bercerita, sejak awal sebenarnya warga ingin berdialog langsung dengan wali kota saat itu, yaitu Ridwan Kamil, untuk mengetahui apa manfaat pembangunan rumah deret bagi warga tergusur. Warga juga mempertanyakan cap kumuh pada Tamansari yang menjadi dalih pembangunan rumah deret.
Menurut Eva, tak ada satu pun Wali Kota Bandung yang berpihak kepada warga, sejak Ridwan Kamil yang melelang proyek tanpa ada sosilisasi kepada warga, kemudian dilanjutkan mendiang Oded M. Danial, maupun Yana Mulayana yang tersangkut kasus korupsi dan ditangkap KPK.
“Enam tahun ini membuat nyata bahwa kami sebagai warga hanya menjadi objek dan kami dimiskinkan oleh pemerintahan ini. Bandung sebagai kota HAM tapi gak ramah-ramah banget” ungkap Eva.
Eva menegaskan warga tidak boleh putus asa dan membiarkan penggusuran terjadi. Warga juga harus turut memperbaiki kebobrokan di kotanya, termasuk melawan praktik korupsi yang memiskinkan masyarakat secara sistematik.
Makanya Eva menyebutkan bahwa perlawanan harus tetap ada. Kejahatan yang dilakukan kepada masyarakat ada di depan mata, dan masyarakat tidak bisa hanya berdiam diri. Ia membeberkan, enam tahun melawan menyisakan trauma tersendiri yang dialami. Misalnya trauma melihat orang-orang yang berseregam seperti aparat, sekaligus geram.
“Jadi itulah momen akhirnya saya mengambil tindakan, ini jahat banget, ini kezaliman di depan mata dan yang harus saya lakukan adalah bertahan dan terus melawan seperti ini. Memang melelahkan tapi saya mau melihat bagaimana pemkot tidak bisa bertindak semena-mena pada penggusuran berikutnya,” lanjut Eva.
Di reruntuhan rumah-rumah Tamansari yang dicap kumuh kini berdiri bangunan tinggi menjulang Rumah Deret. Rumah Eva masih berdiri dan tampak mungil dibandingkan megaproyek puluhan miliar rupiah tersebut.
Eva tidak sepenuhnya sendiri. Orang-orang yang bersolidaritas silih berganti menemaninya bertahan dan melawan. Salah satunya Jibril yang telah bersolidaritas sejak dua tahun lalu. Jibril bersama teman-teman lainnya bersolidaritas sambil menghidupkan ruang bersama di Tamansari. Salag satu program yang dijalankan Jibril dan kawan-kawan adalah perpustakaan. Jibril mengaku memilih bersolidaritas untuk Eva karena panggilan hati.
“Rumah saya aman, jauh dari penggusuran, tapi gak tau besok atau lusa rumah saya akan digusur apa enggak. Jadi merasa terpanggil untuk bersolidaritas bersama teh Eva yang tergusur dan masih mau bertahan. Untuk ke depannya gitu kita dan kalian takutnya digusur sama orang-orang yang suka merampas,” ungkap Jibril.
Diskusi malam itu ditutup dengan pembacaan Manifesto Enam Tahun Tamansari Melawan. Setelah itu, acara diisi dengan penampilan musik, musikalisasi puisi, pembacaan puisi, dan stand up comedy dari kawan solidaritas.
Genderang Perang dan Pendampingan Hukum
“Kalau Pemkot ini hanya pengen merampas lahan warga dan tidak melihat kita sebagai warganya, ayolah kita bareng saja cabut Warga Negara Indonesia. Ngapain kalau tinggal di sini kalau kita tidak terlihat wujudnya,” demikian ungkap Eva.
Ungkapan Eva itu timbul bukan tanpa sebab. Eva menyebutkan bahwa penggusuran yang jamak terjadi di Kota Bandung tidak mempertimbangkan bagaimana nasib masyarakat yang tergusur pascapenggusuran. Mereka yang dulunya memiliki rumah yang berkewajiban membayar PBB setiap tahunnya, malah harus menjadi pengontrak, tergusur dari tanahnya sendiri.
Ia juga mengilas balik bagaimana laporan-laporan warga yang berjumlah puluhan, tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah maupun kepolisian. Kalaupun diterima, tidak diproses dengan baik dan selesai. Keberadaannya ibarat dinihilkan. Makanya ia berharap agar daerah-daerah lain yang diisukan akan digusur harus bertahan dan tidak boleh patah arang.
“Apa yang harus kita lakukan, ya seperti ini, bersolidaritas,” tandasnya.
Meski begitu, Eva menyampaikan perjuangan enam tahun membuahkan kemenangan kecil. Ombudsman menyatakan bahwa penggusuran terhadap warga yang bertahan merupakan maladministrasi. Kemenengan kecil ini yang membesarkan semangat Eva dan kawan solidaritas.
Eva juga menyinggung kalau semangatnya berjuang selama ini tidak pernah habis salah satunya karena keterpaksaan. Di samping itu, ia dikuatkan oleh ajaran ibunya. Ibunya menabung selama 20 tahun untuk membangun rumah yang dulunya gubuk. Ibunya ingin mengangkat harkat dan martabak keluarga dengan rumah.
Dari ibu, Eva mendapat pelajaran bahwa jika menginginkan sesuatu maka ia harus berjuang. Sebagaimana pepatah Arab, “man jadda wa jada”. Itulah mengapa Eva terus berjuang dan bertahan, perjuangannya turut mewakili perjuangan ibunya. Di balik perjuangan ini ada hak ibunya yang harus dipertahankan.
“Kebahagiaan saya tidak bisa disedot oleh Pemkot, martabat saya tidak bisa direndahkan oleh Pemkot. Kami bahagia kami bertahan. Walaupun energi saya sudah hancur karena itu, tapi saya tidak boleh larut dengan itu, saya harus terus bahagia dan menjaga kesehatan saya,” tegas Eva.
Deti dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) merupakan seorang pendamping hukum yang mendampingi Eva sejak awal. Deti selain mempersoalkan penggusuran Tamansari, juga menyoroti bahwa Pemkot Bandung telah melalukan penghinaan terhadap rakyat dan martabat manusia.
Persoalan ini acap kali terjadi di lokasi-lokasi penggusuran. Penggusuran berdampak kepada tempat tinggal warga yang hilang serta pengabaian pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat korban yang hilang. Deti menyebut kalau genderang perang Eva kepada Pemkot untuk mencabut warga negaranya merupakan hal wajar.
Eva berjuang selama enam tahun untuk haknya. Perjalanan aksinya, rangkaian audiensi yang dilakukan mulai dari Satpol PP, Sekda, hingga satu wali kota ke wali kota lainnya. Namun pemerintah bergeming dan tak mau menemui warganya.
Selain tantangan mencabut kewarganegaraan, menurut Deti, ada upaya rekognisi yang bisa dilakukan, yaitu hibah untuk Pemkot Bandung.
“Sampai detik ini dibilang berhasil ya buktinya rumah teh Eva masih ada sampai saat ini. Karena Pemkot ga mau cabut WNI Eva, gak mau rekognisi. Ya maunya menggusur,” terang Deti.
Maka dari itu, Deti menegaskan PHBI terus berupaya untuk memberikan penguatam warga di titik-titik penggusuran. Sebab pendampingan hukum bukan hanya soal pasal-pasal, tapi juga penguatan hukum yang harus disampaikan kepada warga, agar warga paham terkait haknya. Kerja partisipatif menjadi penting.
“Poinnya itu pendamping hukum itu harus ada di lapangan, harus memberikan penguatan, harus melakukan terobosan-terobosan upaya advokasi. Kita harus bekerja bersama rakyat, rakyat harus mengerti, kita berikan informasi dan penguatan. Sehingga ketika mau berjuang mau bertahan kita tau mau ke mana arahnya,” tandas Deti.
Baca Juga: Lagi-lagi Teror untuk Eva Eryani di Tamansari
Eva Eryani di Tamansari: Masih Satu, Masih Melawan
Tentang Rumah Deret yang Vertikal Itu
Media Berkomitmen pada Isu-isu Pinggiran
Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id Tri Joko Her Riadi mengatakan komitmen media massa untuk mengawal kasus-kasus penggusuran amat diperlukan baik pada hari H penggusuran maupun setelahnya. Korban penggusuran menghadapi beban berat berupa kehilangan tempat tinggal. Setelah penggusuran, beban dan kesulitan mereka meningkat mulai dari akses kesehatan, pendidikan, dan masalah-masalah kehidupan lain yang harus mereka perjuangkan.
“Sering media tidak punya waktu dan tenaga untuk melakukan itu. Tidak semua media menaruh perhatian yang konsisten pada isu-isu seperti ini. Pas hari H kita gak akan kekurangan media yang meliput. Tapi setelah itu media-media sekecil apa pun tapi (tetap harus) berkomitmen mengawal isu itu,” ungkap Joko.
Ada banyak cara yang bisa ditempuh media massa untuk terus memberitakan korban penggusuran. Contohnya, dengan menyajikan cerita-cerita kecil dari korban penggusuran. Meski tidak membereskan persoalan besar, paling tidak cerita-cerita korban penggusuran ini dapat memberikan jawaban yang berbeda, memberikan alternatif cerita yang sama pentingnya dengan persoalan besar yang melingkupinya.
“Itu penting, sama halnya dengan solidaritas yang dilakukan. Iya mungkin alternatif, kecil, mungkin berserakan di mana-mana. Tapi selama itu terjadi, selama itu ada, itu penting. Selalu ada yang bisa mengambil manfaat dari itu,” tutup Joko.