Aksi Simbolik Warga Tamansari, Menjahit Harapan di Ombudsman Jawa Barat
Ombudsman Jawa Barat memanggil perwakilan Pemkot Bandung untuk melakukan klarifikasi dugaan maladministrasi terkait penggusuran Tamansari.
Penulis Emi La Palau12 September 2022
BandungBergerak.id - Sudah sejak pagi, Eva Eryani Effendi tiba di depan Kantor Ombudsman Republik Indonesia Jawa Barat, Jalan Kebon Waru Utara, Kota Bandung, Senin (12/9/2022). Maksud kedatangannya kali ini untuk menggelar aksi simbolik dan sekaligus mengawal pertemuan terbatas atas laporan dugaan maladiministrasi penggusuran Tamansari oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.
Aksi ini dilakukan setelah Eva menerima surat tembusan dari Ombudsman Jawa Barat yang isinya soal pertemuan Permintaan Tanggapan kepada Satpol PP dan Kepala Bagian Hukum Setda Kota Bandung, perihal laporan yang dilayangkan kepada Ombudsman.
Tadinya Eva ingin mengikuti pertemuan itu. Namun karena diadakan secara tertutup dan sesuai prosedur Ombudsman, Eva sebagai pelapor hanya diberikan surat tembusan pemberitahuan dan tak bisa mengikuti pertemuan. Akhirnya ia memilih menunggu di luar dan menggelar aksi simboliknya.
“Aku nanya apakah boleh hadir, kalau diperbolehkan saya akan datang, ternyata ga bisa masuk, karena itu etika mereka. Berarti kita mengawal dari luar,” kata Eva, di lokasi.
“Untuk memperlihatkan masih ada satu warga, jangan seenaknya mereka melakukan hal-hal kerja mereka,” kata Eva yang merupakan satu-satunya warga yang bertahan dari penggusuran proyek Rumah Deret Tamansari, 2019 lalu.
Spanduk digelar, poster-poster ditempel di dinding pagar. “Masih Satu Masih Melawan”, dan “Sudah Digusur Rumah, Diphk, Dinaikin Pula Harga BBM dan Sembako,” demikian pesan spanduk dan poster protes Eva.
Tak jauh dari bibir pintu gerbang kantor Ombudsman Jawa Barat, Eva menggelar tikar untuk duduk ditemani beberapa kawan solidaritas dan pendamping hukum dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jawa Barat.
Tak hanya membawa spanduk dan pelantang suara, ia juga membawa serta bahan bahan dapur. Minyak goreng, kompor listrik, wajan, sambal saset, nasi, ikan bandeng, susu jahe. Ada sampel kue kering jualannya yang diwadahi toples. Kompor listrik dan wajar digunakan untuk memasak air dan menyeduh kopi. Perlawanan butuh energi, perut tidak boleh kosong.
“Bawa banyak, karena pindah dapurnya dulu ke sini. Perjuangan atuh perlu sehat. Makan harus. Apa lagi kesehatan. Jaga kesehatan,” kata Eva.
Sehari-hari Eva bekerja sebagai penjahit. Pada aksi itu ia pun menjahit. Jemarinya lihai memasukkan jarum jarum ke potongan kain celana jeans bekas. Lalu dirajut dan ditempelkan pada sisi kantong jaket untuk menggantikan kantong yang sudah sobek.
Jaket itu, menjadi saksi bagaimana perihnya penggusuran empat tahun silam. Jaket itu pulalah yang selalu melekat di tubuhnya setiap kali beraktivitas ataupun melakukan aksi. Kantong jaketnya sobek setelah melakukan perlawan kepada aparat yang akan melakukan pemagaran seng di rumahnya, 11 Februari 2021.
Ketika penggusuran dengan jumlah aparat besar-besaran tahun 2019, Eva mengenakan jaket tersebut. Kala itu ia sedang mengerjakan pesanan satu kodi jaket dari pelanggan. Pesanan yang berhasil ia bikin baru satu lusin jaket. Semuanya rusak karena digusur. Setelah rumahnya hancur, Eva masih harus menanggung kerugian barang pesanan.
Jaket yang masih bisa terselamatkan ia berikan sebagian sebagai solidaritas, sebagian lagi ia gunakan sendiri. Salah satunya jaket yang sedang ia jahit ini.
Empat tahun penggusuran berlalu. Eva bertahan hidup dengan membuka jasa permak baju. Peralatannya seadanya, tidak selengkap dulu saat sebelum rumahnya digusur. Ia sesekali bekerja membantu kawannya di konveksi di daerah Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
“Masih ngejahit permak baju, kan sekarang sudah mulai orang perlu jahitan lagi. Walaupun tidak seperti dulu, sejak aku waktu di rumah dan punya alat,” ungkapnya.
Dari pekerjaannya terkadang ia bisa mendapat 50 ribu rupiah. Kalau sedang banyak pelanggan ia bisa mendapat sampai 100 ribu rupiah. Tentu tak tiap hari. Ditambah keterbatasan mesinnya yang mudah rusak, butuh uang untuk diservis.
Berharap Pemkot Bandung tak Sewenang-wenang
Trauma penggusuran masih terlintas di wajah Eva. Beberapa waktu lalu, ia melihat alat berat yang membersihkan lahan di dekat rumahnya. Kehadiran beko itu tanpa didahului pemberitahuan. Ini membuat kekhawatirannya semakin bertambah. Ia berharap Pemerintah Kota mau menghargai dirinya yang masih bertahan.
Sebagai warga, Eva mengatakan saat ini pembangunan kota terus digenjot, pembangunan gedung-gedung bertingkat untuk kepentingan investasi semakin gencar. Tapi menurutnya hal itu bukan yang diinginkan warga. Pembangunan kota yang dilakukan dengan cara penggusuran sangat tak berperikemanusiaan.
Ia berharap pembangunan hotel, mal-mal, dan lainnya tak dilakukan dengan menggusur kampung-kampung kota yang telah ada sejak dulu. Jika alasan kumuh, semestinya Pemkot melakukan pembenahan, memperbaiki sanitasi jika dirasa perlu. Bukan menggusur.
“Kalau sanitasi kurang, berikan pemahamn ke warga tentang sanitasi yang baik. Sungai dan lingkungan, bagaimana warga dipahamkan tentang tata kota yang baik,” ungkapnya.
Eva mengungkapkan bahwa jika Pemerintah Kota memiliki etika, semestinya datang dan berdialog dengan warga. Dialog inilah yang tidak pernah dilakukan.
“Masuk kampung, kalau ada etiket baik dengan cara mulia, bukan cara mafia yang mereka gunanakan itu,” katanya.
Ia berharap Pemerintah Kota mau melihat warga dan melibatkan masyarakat atas pembangunan kota.
“Bagaimana mau bangkit setelah pandemi, hidup aku ini ngambang. Bayangkan keluarga terpisah, perekonomian ancur. Mau bernapas sedikit naik semua, bbm semobako naik, berapa keringat lagi yang mesti dikeluarkan untuk menopang kehidupan,” ungkapnya.
Di tengah situasi itu, Eva tegas tidak akan pernah menyerah. Perjuangan mendapatkan hak sebagai warga negara Indonesia akan terus berlanjut. “Udah hancur tapi saya tidak mau lebur,” tandasnya.
Baca Juga: Satu yang Bertahan dari Gusuran Rumah Deret Tamansari
ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #2: Di bawah Lindungan Masjid Al Islam Tamansari
Pertanyaan tentang Kemerdekaan dari Buruh dan warga Tamansari Bandung
Jawaban Ombudsman Jawa Barat
Laporan Eva ke Ombudsman Jawa Barat dibahas secara tertutup. Dari pihak Pemkot Bandung yang hadir ke kantor Ombudsman Jawa Barat adalah Satpol PP dan Bagian Hukum Setda Kota Bandung yang posisinya sebagai pihak yang dimintai klarifikasi.
Usai pertemuan, Eva didampingi Kuasa Hukum dari PHBI Jabar, Deti bertemu dengan Ketua Ombudsman Jabar, Dan Satriana, didampingi Kepala Keasistenan Laporan Masyarakat Noer Adhe Purnama, dan Asisten Pemeriksa Muhammad Wildan. Eva menyampaikan mengenai akan adanya bukti baru untuk diberikan ke Ombudsman Jawa Barat.
Sementara itu, Dan Satrianan mengungkapkan bahwa pertemuan dilakukan terutup dikarenakan hal itu telah menjadi prosedur dari Ombudsman Jawa Barat ketika melakukan klarifikasi atau pemeriksaan terhadap laporan. Pihaknya memberi ruang kepada terlapor untuk berbicara, sama halnya memberi ruang kepada pelapor untuk menyampaikan laporan.
“Substansinya kami mengklaridikasi 10 hal maladminsitrasi yang diduga dilaporkan.
Kami ingin segera ada kepastian, karena ini sudah berlarut,” ungkap Dan Satriana.
Akan tetapi Dan menyatakan semua materi klarifikasi belum bisa disampaikan kepada publik karena sifatnya masih dalam proses pemeriksaan.
Perlu diketahui, warga Tamansari melaporkan dugaan maladministrasi penggusuran ke Ombudsman Jawa Barat sejak dua tahun lalu. Dan mengakui mengapa penanganan laporan ini berlarut-larut. Menurutnya, kasus Tamansari merupakan kasus berat. Dalam prosesnya, Ombudsman melakukan pemeriksaan dengan prinsip kehati-hatian.
Ombudsman Jawa Barat, kata Dan, harus melakukan klarifikasi dan meminta jawaban dan tanggapan dari kedua belah pihak. Sesuai dengan standar dan prosedur. Pihaknya menggali laporan yang diberikan oleh pihak pelapor. Selama proses dua tahun ini, ombudsman melakukan tahapan bedah dokumen, kelengkapan, lalu melakukan verifikasi kepada kedua belah pihak.
Dan Satriana mengapresiasi warga pelapor untuk kelengkapan dokumen. Hal itu membuat pihaknya bekerja dengan penuh kehati-hatian dalam pemeriksaan dokumen.
“Tamansari masuk dalam kategori berat, karena tidak hanya satu, tapi berlapis laporannya. Kalau berat maka kami tidak bisa mendahulukan target waktu, kami mengutamakan kehati-hatian. Apalagi dalam proses klarfikasi mendapat tanggapan kedua belah pihak,” ungkapnya.
Mengenai keputusan Ombudsman Jawa Barat dalam menghadapi laporan dugaan maladministrasi penggusuran Tamansari, Dan mengatakan ada dua kemungkinan: terbukti maladministrasi dan tidak terbukti.
Jika nantinya, terbukti Pemerintah Kota Bandung melakukan pelanggaran administrasi dalam penggusuran, maka pihak Ombudsman Jabar akan memberikan tindakan korektif yang harus dijalankan dalam kurun waktu 30 hari oleh Pemkot Bandung.
“Kalau dalam 30 hari hanya melaksanakan sebagian, maka kami akan menyampaikan ke pusat, untuk mengeluarkan rekomendasi, wajib dilaksanakan apabila tidak dilaksanakan maka kami laporkan ke Presiden dan Presiden yang akan memberikan sangsi kepada kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi, nantinya akan ada pembinaan kepada kepala daerah,” ungkapnya.