• Berita
  • Penggusuran Rumah di Kota Bandung Menjadi Perhatian Mahasiswa

Penggusuran Rumah di Kota Bandung Menjadi Perhatian Mahasiswa

Penggusuran marak terjadi di Bandung maupun luar Kota Bandung. Konstitusi mengingatkan bahwa tugas negara menyediakan permukiman bagi warga negaranya.

Warga Dago Elos dan Cirapuhan saat menggeruduk kantor BPN dalam aksi mereka terkait sengketa lahan di Bandung, Jawa Barat, Senin (4/7/2022). Warga menuntut BPN untuk memproses pembuatan sertifikat tanah di Dago Elos. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana6 September 2022


BandungBergerak.idKasus penggusuran menimbulkan dampak panjang bagi korbannya. Selain menambah angka kemiskinan, penggusuran juga mencerabut hak asasi korban, khususnya hak hidup dan tempat tinggal. Kota Bandung tidak lepas dari kasus penggusuran. Masalah ini pula yang mendorong mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran (BEM Kema Unpad) berunjuk rasa ke Jakarta.

Aksi ini dilakukan BEM Kema Unpad bersama Aliansi Penghuni Rumah dan Tanah Negara (APRTN) di pintu gerbang Monas, dekat patung kuda, Selasa (6/9/2022). Zen Arifin, dari Departemen Propaganda dan Aksi Bidang Dinamisasi Kampus dan Kebijakan Publik BEM Kema Unpad, mengabarkan aksi skala nasional ini digelar dan dihadiri APRTN dari seluruh wilayah di Indonesia, NGO, dan mahasiswa.

Dalam aksi ini, mereka mengajukan empat tuntutan, yaitu:

  1. Memerintahkan kepada PT. KAI untuk menghentikan semua upaya pengosongan sepihak, perobohan rumah, upaya penarikan sewa, dan upaya-upaya intimidasi baik yang di lakukan sendiri maupun dengan bantuan pihak lain seperti kepolisian, TNI, kejaksaan, pengacara.
  2. Mengembalikan dan mengganti kerugian yang timbul atas pengosongan sepihak dan perobohan rumah yang telah dilakukan.
  3. Permohonan maaf dari PT. KAI kepada seluruh warga yang telah dirugikan atas tindakan sewenang- wenang melalui media cetak nasional.
  4. Pemerintah memberikan hak atas tanah dan rumah yang telah ditempati oleh warga selama berpuluh tahun, sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku.
  5. Menindak secara tegas sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan, pihak- pihak yang selama ini berlaku sewenang-wenang di luar batas-batas keperimanusiaan dan hukum.

Zen Arifin menjelaskan, penggusuran merupakan isu mendasar di masyarakat. Penggusuran merupakan isu yang menghantui seluruh lapisan masyarakat melalui kesewenang-wenangan penguasa terhadap akses kepimilikan tanah dan bangunan yang memiliki kepentingan.

Menurutnya, semua orang bisa terkena penggusuran. Karena itu, semua pihak termasuk mahasiswa harus lebih melek terhadap isu ini.

“Pemerintah dapat menggunakan instrumen hukum untuk menstimulus penggusuran kepada masyarakat. Mahasiswa memiliki akses terhadap pengetahuan yang bisa menjadi modal untuk mengawal dan menggagalkan isu penggusuran,” katanya.

Ia mengatakan, tanah dan rumah yang rawan penggusuran umumnya yang yang belum memiliki sertifikat. Misalnya, tanah di Bandung yang masih belum memiliki sertifikas berpeluang besar mendapat masalah, seperti gugatan perdata. Ada pula rumah yang dekat dengan rel kereta api yang posisinya rentan terkait proyek pengembangan kereta api.

“Kalau untuk rumah rumah yang jarak antara rumahnya dengan rel kereta api kurang dari sekitar 15 meter. Bangunan yang tidak memiliki SOP bangunan, akan dicari celahnya untuk menguasai lahan sekitarnya supaya bisa mengikuti SOP ataupun aturan tertentu,” paparnya.

Melalui Instagram resmiya, BEM Kema Unpad memaparkan sederet kasus penggusuran yang menimpa warga Bandung maupun di daerah lain di Indonesia.

“Hingga saat ini, tindakan penggusuran adalah salah satu permasalahan Indonesia yang tak kunjung usai,” demikian keterangan BEM Kema Unpad yang dirilis Departemen Propaganda dan Aksi Bidang Dinamisasi Kampus dan Kebijakan Publik, dikutip Selasa (6/9/2022).

BEM Unpad menyatakan, berbagai kasus penggusuran yang terjadi belakangan ini merupakan bukti nyata dari adanya ketidakadilan atas hak tanah rakyat Indonesia. Bahwa penggusuran merupakan salah satu dari sekian banyaknya permasalahan yang terjadi di Indonesia.

“Kota Bandung menjadi salah satu kota yang memiliki segudang permasalahan dalam penggusuran, terutama proses penyelesaian yang hingga saat ini masih belum menemui titik terang yang menyebabkan korban penggusuran terimbang-ambing terhadap ketidakpastian terhadap kepastian tempat tinggal mereka,” lanjut BEM Kema Unpad.

Bandung Kota Penggusuran

BEM Kema Unpad merilis, Anyer Dalam merupakan salah satu daerah yang menjadi korban penggusuran secara paksa. Warga menyebut penggusuran tersebut dilakukan secara arogan degan membongkar 25 rumah, padahal baru 8 rumah yang menyepakati biaya ganti rugi. Tidak hanya itu, pembongkaran dilakukan pada saat proses gugatan masih berlangsung. Surat pemberitahuan eksekusi pembongkaran juga diterima warga kurang dari 24 jam sebelum eksekusi pembongkaran.

Kasus lainnya, BEM Kema Unpad menyoroti sengketa lahan Dago Elos. Warga Dago Elos terancam penggusuran setelah awal Juni lalu, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembalai (PK) dari pihak penggugat (ahli waris dan pengembang). Padahal sebelumnya warga Dago Elos telah memenangkan putusan MA tingkat kasasi yang mengisyaratkan tanah tersebut milik warga Dago Elos.

BEM Kema Unpad lalu menyoroti kasus penggusuran lainnya terjadi pada Juli 2022 yang menimpa warga di Jalan Laswi di mana terdapat 7 rumah warga yang terdampak pengosongan paksa oleh PT KAI. Padahal warga Laswi sudah menguasai rumah dan bangunan secara fisik, bahkan sudah membayar PBB selama 30 tahun.

Menurut BEM Kema Unpad, Bandung bukan satu-satunya daerah yang terkena penggusuran. Penggusuran oleh PT KAI juga turut menimpa warga HM Yamin, Kota Medan. Penggusuran ini berlangsung dengan penolakan oleh warga sehingga berakhir ricuh.

Menurut warga, PT KAI hanya menggusur tanpa adanya putusan dari pengadilan sehingga tindakan tersebut tidak adil dan menyalahi aturan. BEM Kema Unpad kemudian mengajak mahasiswa agar bersolidaritas untuk korban penggusuran.

Penggusuran di Kota Bandung dan Hak Rakyat atas Tanah

Selain data kasus penggusuran yang dipaparkan BEM Kema Unpad, sebenarnya di Bandung masih ada beberapa kasus penggusuran maupun potensi penggusuran dalam kurun waktu empat tahun terakir. Di antaranya:

Kasus penggusuran proyek Rumah Deret Tamansari yang hingga kini menyisakan seorang warga yang masih bertahan menuntut keadilan. Rangkaian penggusuran Tamansari terjadi sejak 2017 dan puncaknya pada 12 Desember 2019. Proyek rumah deret mulai dikembangkan sejak Ridwan Kamil masih menjabat Wali Kota Bandung. Kepemimpinan Pemkot Bandung selanjutnya dilanjutkan Oded M Danial.

Pada tahun 2019, dilakukan penggusuran besar-besaran yang melibatkan aparat gabungan. Penggusuran ini menuai reaksi keras dari kelompok masyarakat sipil. Pada 13 Desember 2019, YLBHI yang tergabung dalam 10 organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan penggusuran paksa melalui penggunaan kekuatan yang berlebihan dan kekerasan yang tidak perlu terhadap warga masyarakat yang tinggal di RW 11 Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung.

Desakan YLBHI disampaikan dalam bentuk keterangan pers berjudul “Stop Penggusuran Paksa dan Kekerasan di Kota Peduli HAM”. Perlu diketahui, ketika terjadi penggusuran Tamansari, Kota Bandung dinyatakan kota yang berkomitmen terhadap penegakan HAM.

Kasus lainnya adalah pembongkaran rumah di Gumuruh, Senin, 14 Maret 2022. Dalam kasus ini, puluhan rumah di bantaran sungai Cikapundung Kolot, kelurahan Gumuruh, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, telah selesai dibongkar. Pembongkaran dilakukan dalam rangka program penertiban permukiman di bantaran kali oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang dilakukan sejak 7 Maret 2022.

Warga yang menempati tanah milik pemerintah tersebut pasrah dengan turunnya surat perintah dari Satpol PP Kota Bandung yang meminta mereka untuk membongkar rumahnya sendiri dalam dalam waktu 7x24 jam, pada 2 Maret 2022.

Berikutnya, proyek jalan layang Ciroyom. Rencana pembangunan infrastruktur jalan layang Ciroyom ini akan memakan rumah dan pertokoan di kawasan Jalan Arjuna dan Ciroyom. Rencana pembangunan mulai mencuat pada awal 2022. Warga menilai sosialisasi rencana pembangunan ini minim dan mendadak.

Jalan layang Ciroyom direncakan akan dibangun sepanjang 700 meter dengan model berputar dari arah kawasan Jalan Arjuna ke Ciroyom. Imbasnya, ratusan kios pedagang pasar dan rumah warga akan terdampak penggusuran.

Dalam peta perencanaan pembangunan, akan ada dua kelurahan yang terkena dampak. Kelurahan Ciroyom, yang masuk dalam peta sementara adalah RW 8, RW 9 dan RW 4. Lalu, ada Kelurahan Husein Sastra Negara, yakni RW 04.

Di sepanjang kawasan Ciroyom ada ratusan pedagang, mulai dari pedagang pisang, beras, pedagang ayam potong, pedagang besi, hingga las. Sementara di RW 04 Kelurahan Husein sepanjang jalan Arjuna, berjejer toko-toko semi permanen yang menjajakan alat-alat baju seragam TNI dan kegiatan luar ruangan. Ada juga beberapa toko dan rumah tinggal yang sedang dibangun.

Penggusuran sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Rumah merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup manusia. Pada rumah melekat dimensi budaya dan sosial sehingga makna rumah tidak dapat diartikan secara sempit dengan tempat berlindung yang memiliki atap di atas kepala. Sebagian masyarakat di Indonesia menganggap rumah seperti manusia yang juga harus dihargai dan dihormati [Factsheet Penggusuran Paksa dan Hak Atas Perumahan, YLBHI, 2018].

Lebih lanjut, YLBHI menyatakan bahwa adanya upacara adat saat pembuatan rumah di banyak daerah di Jawa dan Sumatera, menunjukkan rumah memiliki posisi penting di masyarakat. Bung Hatta pernah menulis, di zaman dahulu kala, sebelum orang putih datang kemari, bangun-bangun rumah desa memang sederhana, tapi terpelihara.

Adat hidup yang dipakai orang Indonesia, kata Bung Hatta, serta sifat tolong-menolong yang menjadi dasar segala usaha yang berat, melarang orang mengabaikan rumahnya. Kalau ia hendak mendirikan rumah, ia dapat minta tolong kepada orang banyak yang sekampung atau sedesa.

“Paham tradisi, yaitu ikatan kebiasaan, tidak membiarkan orang teledor terhadap pemeliharaan rumahnya. Tanda kehormatan manusia dilekatkan pada sopan santun bergaul, kepada pakaian dan kepada rumah," kata Bung Hatta.

Menurut YLBHI, hak atas perumahan tertera dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Artinya, negara memiliki kewajiban penting terkait dengan hak atas tempat tinggal bagi rakyatnya. Tetapi dalam praktinya, YLBHI mencatat pemenuhan hak atas perumahan masih jauh dari yang diharapkan karena berbagai kendala yang dihadapinya.

Dalam perkembangan sepuluh tahun terakhir, dari penambahan sekitar 12 juta unit rumah (1,2 juta unit per tahun), pemerintah hanya mampu membangun (menyediakan) sekitar 200.000 unit saja, baik yang dibangun oleh Perumnas maupun untuk keperluan rumah dinas pegawai pemerintah. Selebihnya swasta membangun 2 juta unit dan masyarakat sendiri 9,8 juta unit.

Artinya dalam satu dekade berjalan pemerintah hanya mampu menyediakan rumah untuk rakyat sekitar 1 persen, serta memfasilitasi lewat pengembang swasta 14 persen dan masyarakat membangun sendiri 85 persen.

Baca Juga: Pameran Foto Kisah Senyap, dari Penggusuran Tamansari hingga Kerusakan Sungai di Papua
PROFIL PBHI JAWA BARAT: Dari Penggusuran Tamansari sampai Korban Salah Tangkap Polisi
ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #2: Di bawah Lindungan Masjid Al Islam Tamansari

Massa menyerukan pembelaan tanah Dago Elos untuk rakyat pada Aksi Kamisan Bandung, di depan Gedung Sate, Kamis (21/7/2022). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Massa menyerukan pembelaan tanah Dago Elos untuk rakyat pada Aksi Kamisan Bandung, di depan Gedung Sate, Kamis (21/7/2022). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penyebab Penggusuran Paksa

Adapun konflik perumahan ataupun penggusuran menurut YLBHI disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya konsentrasi penguasaan aset berupa tanah atau rumah oleh pemilik modal/ penguasa atau pemberian hak kepada segelintir orang.

“Kita dapat melihat bahwa di satu sisi terdapat banyak orang yang memiliki tanah yang luas dan rumah yang tidak hanya dijadikan sebagai tempat tinggal, namun juga dijadikan instrumen investasi. Pembangunan perumahan justru dikuasai oleh taipan-taipan properti yang menyediakan perumahan untuk menengah ke atas,” demikian laporan YLBHI.

Perumnas tidak bisa memenuhi kebutuhan atas perumahan bagi masyarakat miskin. Akhirnya di sisi lain lebih dari 13 juta orang tidak memiliki rumah di Indonesia.

Penggusuran juga dipicu penataan ruang, seperti perubahan/alih fungsi ruang. Adanya politik ruang yang akhirnya menyingkirkan masyarakat, terutama masyarakat rentan atau miskin. Ruang kota lebih diutamakan untuk pembangunan jalan TOL, ruang terbuka hijau, daerah industri, pusat perbelanjaan, maupun perumahan elite.

Masyarakat yang tidak mampu akan tinggal di daerah kumuh, daerah terlarang, ataupun tinggal di pinggiran kota yang jauh dari tempat bekerja dan membutuhkan waktu lama untuk perjalanan.

Alasan lain penggusuran terjadi demi ketertiban dan keindahan. Akibatnya, banyak terjadi penggusuran paksa yang dilegalisasi oleh berbegai peraturan perundang-undangan. Misalnya saja Perda No. 8 Tahun 2007 yang merupakan revisi dari Perda 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta.

Banyak warga miskin yang terpaksa membangun rumah di lahan terlantar, lahan hijau, bantaran kali, kolong jembatan, kolong tol, dan tempat yang dilarang lainnya karena tidak dipenuhi hak atas perumahannya oleh pemerintah.

Penggusuran paksa memiliki akibat yang sangat luas seperti menyebabkan orang menjadi tunawisma, hilangnya rasa aman, terisolasi dari komunitas dan keluarga, hilangnya hak untuk jaminan sosial, hilangnya hak atas identitas, hilangnya hak untuk akses kesehatan, hilangnya hak anak untuk mengenyam pendidikan karena mahalnya biaya pindah rumah, kerugian ekonomi, meteri dan juga kerugian psikologis berupa trauma yang sangat mendalam. Bahkan, dalam beberapa kasus menyebabkan hilangnya nyawa orang.

Karena dampak besar penggusuran itulah, komunitas internasional telah lama mengakui bahwa pengusiran-paksa adalah persoalan yang serius. Pada tahun 1976, Konferensi Pemukiman Manusia PBB mencatat perlunya perhatian khusus pada “pelaksanaan operasi-operasi pembersihan besar haruslah saat konservasi dan rehabilitasi tidak memungkinkan dan ukuran-ukuran relokasi telah ditentukan”.

Pada tahun 1988, dalam Strategi Global Pemukiman tahun 2000, yang disahkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 43/181, “kewajiban fundamental (pemerintah) untuk melindungi dan mengembangkan kawasan pemukiman dan lingkungan sekitarnya, bukannya merusak atau menghancurkannya” diakui. Agenda 21 menyatakan bahwa “setiap orang harus dilindungi oleh hukum dari pengusiranpaksa dari rumah atau tanah mereka.”

Komisi Hak Asasi Manusia juga telah mengindikasikan bahwa “pengusiran-paksa adalah sebuah pelanggaran berat hak asasi manusia.” Merupakan hal yang wajar jika penggusuran paksa dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia karena di dalam hak atas perumahan terhadap berbagai hak lain yang terkait, sehingga harkat dan martabat sebagai seorang manusia dapat hilang dengan penggusuran paksa.

Meskipun demikian di Indonesia penggusuran paksa belumlah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal tersebut karena Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 7 hanya mengkategorikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//