Hak Asasi Manusia yang Tercerabut dari Pengosongan Paksa pada Rumah di Jalan Laswi
Salah seorang warga menunjukkan video penggusuran yang traumatis. Warga menabur bunga di lokasi pengosongan rumah Jalan Laswi sebagai simbol ketidakhadiran negara.
Penulis Awla Rajul23 Juli 2022
BandungBergerak.id - Pengosongan paksa pada 7 rumah di Jalan Laswi oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) menimbulkan trauma khusus bagi warga, lansia, perempuan, dan anak-anak. Ada hak asasi manusia yang terdampak, mulai dari hak hidup hingga hak sekolah.
Salah seorang warga, Herdianto (39), penghuni rumah nomor 24 yang turut digusur, menunjukkan video penggusuran yang traumatis, saat konperensi pers, Jumat (22/7/2022). Sejak sebelum pengosongan paksa, Herdianto telah menduga akan terjadi represi.
Maka, Herdianto meminta kepada anak laki-lakinya yang berumur 13 tahun untuk memvideo kejadian Rabu kelabu itu. Di dalam rumah masih ada seorang anak lagi, perempuan berusia 8 tahun, dan seorang lansia.
Video diambil dari dalam kamar, saat petugas PT. KAI mendobrak pintu. Terdengar suara anak dan istri Herdianto di dalam kamar berteriak-teriak, bersahutan dengan suara perintah dari petugas yang meminta mereka, “Keluar!”
Menurut Herdianto, sejak petugas PT. KAI datang dan mendengar ada suara piring pecah, anak-anaknya sudah ketakutan. Ia berusaha berdiskusi dengan pihak PT. KAI agar ia sendiri yang mengajak keluarganya keluar rumah. Herdianto menekankan, bahwa ada anaknya di dalam kamar dan meminta kepada petugas untuk memperhatikan psikologisnya.
Namun petugas PT. KAI ini berdalih bahwa mereka hanya mengulur-ulur waktu. Hingga pintu kamar akhirnya didobrak.
“Bapak tolong, di kamar ada anak saya, tolong perhatikan psikologis anak saya. Tapi tidak didengar, malah pintu kamar didobrak, didengar sehingga anak dan istri saya histeris,” ungkap Herdianto, menahan tangis dan emosinya.
Dampak dari pengosongan paksa ini, anak perempuan Herdianto masih ketakutan dan menangis. Pascakejadian, sang anak tidak bisa tidur dan masih ketakutan.
“Sampai malam anak terkecil saya menangis ketakutan. Sampai hari ini saya mau pergi ke sini [ke konferensi pers] dilarang anak saya karena ia masih ketakutan,” lanjut Herdianto.
Herdianto dan istrinya khawatir kondisi psikologis anaknya berlanjut hingga waktu yang lama. Selain itu, kedua anaknya sejak pengosongan hingga konferensi pers dilakukan, tidak sekolah. Sebab seragam sekolah dan perlengkapan sekolah lainnya turut hilang entah ke mana.
Tidak hanya itu, barang dagangan yang sudah dijalani selama enam tahun pun raib. Padahal dari barang-barang itu hidup mereka bergantung.
“Kalau niatnya mau menertibkan istilahnya juga kenapa dagangan harus hilang semua. Isi kulkas semuanya saja gak ada lagi. Gak tahu siapa yang ambil. Padahal posisinya digembok, itu kulkasnya. Ya bagaimana pun, itu kan saya pakai modal, bukan yang ambil dari mana,” pungkas Herdianto.
Warga korban pengosongan paksa rata-rata sudah tinggal puluhan tahun di Jalan Laswi. Upaya pengambilalihan rumah secara paksa mencerabut kehidupan mereka. Ada warga yang terkena serangan jantung akibat rasa takut. Adapula warga yang memar karena ditarik paksa, lansia yang dipaksa keluar dari rumahnya hingga tongkatnya ditarik.
Anggota Aliansi Penghuni Rumah dan Tanah Negara (APRTN) Bandung, Aland, menyebutkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh PT. KAI adalah penggusuran paksa karena memindahkan individu, keluarga, kelompok secara paksa dari rumah atau tanah, secara sewenang-wenang.
Aland menyatakan, menurut komisi Hak Asasi Manusia dalam resolusi no.7 tahun 1993 mengkategorikan tindakan yang dilakukan PT. KAI merupakan pelanggaran HAM berat.
Sebelum pengosongan paksa, kata Aland, warga sudah mencoba menahan tindakan represif pihak PT. KAI dan Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska) baik secara verbal dan fisik. Namun karena kalah jumlah massa, pihak PT. KAI yang membawa 400 personel berhasil mengambil paksa dan mengeluarkan barang-barang milik warga secara serampangan, bahkan perabotan milik warga sampai rusak.
Pascapengosongan paksa, warga belum menemukan tempat tinggal dan meminjam baju untuk berganti pakaian. Barang-barang warga yang diambil paksa pun dikabarkan tidak sesuai dengan alamat yang diberitahukan oleh PT. KAI. Penanggung jawab PT. KAI yang mengurusi barang-barang baru bisa dihubungi warga, Kamis (21/7/2022) sore.
Bahkan, kata Aland, hingga saat ini beberapa barang warga Jalan Laswi masih tidak diketahui keberadaannya. Barang warga yang dipindahkan ke kontrakan juga tidak utuh lagi.
“Ketika kami cek di kontrakkan ternyata barang-barang warga yang digusur paksa mengalami kerusakan dan mungkin saja hilang. Kontrakkan tersebut ternyata tidak terkunci atau tidak aman, Bahkan warga sekitar lokasi tersebut menyatakan apabila terjadi kehilangan bukan tanggung jawab mereka,” ungkap Aland.
Selepas konferensi pers, warga menaburkan bunga di depan rumah mereka yang sudah dipagari seng sebagai simbolis matinya hukum di Indonesia. Negara yang konon berlandaskan hukum telah membiarkan pengosongan paksa tanpa ada proses peradilan.
Baca Juga: Warga Sakit dan Histeris di Tengah Pengosongan Paksa Rumah di Jalan Laswi oleh PT KAI
Korban Penggusuran Anyer Dalam Berdemonstrasi ke Kantor Kelurahan
Kalah di Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung, Warga Dago Elos Kembali Melawan
Dalih Penertiban dan Pembiaran Pemerintah
Pihak PT KAI melalui Humas PT. KAI, Kuswardoyo, berdalih bahwa pengosongan paksa pada rumah di Jalan Laswi sebagai penertiban aset perusahaan PT. KAI. Bukti kepemilikinnya adalah Surat Hak Pakai tahun 1988 yang diperkuat dengan pengesahan melalui surat keterangan Konfirmasi Bidang Tanah dari BPN yang menyatakan aset tersebut beserta batas-batasnya benar milik negara di bawah pengelolaan PT. KAI.
Namun, penyebutan “penertiban” oleh PT. KAI tidaklah benar menurut Aland. Sebab, berdasarkan PP No.6 tahun 2006, dan KePres No.17 tahun 2007 yang dimaksud dengan Penertiban Aset Negara adalah tindakan administratif. Sedangkan yang telah terjadi di Jalan Laswi menurutnya adalah penertiban yang tidak sesuai dengan perundang-undangan.
“Bahkan ketika kami mempertanyakan siapa penanggung jawab kegiatan tersebut, mereka tidak bisa menjawab. PT KAI tidak bisa menunjukan surat izin atau surat pemberitahuan dari kepolisian. Dan PT KAI tidak dapat menunjukan surat perintah pengosongan ataupun putusan dari pengadilan,” terang Aland.
Selain itu, lanjut Aland, PT. KAI yang mengklaim tujuh rumah di Jalan Laswi merupakan aset perusahaan dan memiliki sertifikat merupakan pembohongan publik. PP No.18 tahun 2021 pasal 5 ayat 1 dan pasal 6 ayat 3 menyebutkan bahwa sertifikat atas nama BUMN hanyalah hak pengelolaan, bukan hak pakai dan harus ada penyertaan modalnya.
“Atas hal tersebut kami meminta agar saudara Kuswardoyo bila benar memiliki sertifikat atas nama PT KAI, maka tunjukkan sertifikat tersebut di muka umum, bukan hanya memberikan informasi tanpa adanya bukti, yang membuat masyarakat menjadi bodoh,” ungkapnya, saat membacakan rilis di depan pagar seng dengan stiker PT. KAI.
Ia juga menyayangkan pemerintah tidak berada di pihak warga ketika terjadinya pengosongan paksa. Beberapa warga telah berusaha menghubungi Lurah Kacapiring, Camat Batununggal, dan Kesbangpol, ketika penggusuran terjadi. Namun, tidak ada upaya lebih lanjut dari pihak yang dihubungi untuk menghentikan proses pengosongan paksa itu.
Mengabaikan Kelompok Rentan
Korban dari pengosongan paksa tujuh rumah di Jalan Laswi kebanyakan adalah kelompok rentan (vulnerable group), yaitu lansia, perempuan, dan juga anak. Antik Bintari, Akademisi dari Pusat Riset Gender dan Anak Universitas Padjadjaran mengungkapkan, dampak dari penggusuran yang akan dirasakan oleh laki-laki dan perempuan serta kelompok rentan tentunya berbeda dengan warga lainnya.
Saat terjadinya bencana maupun penggusuran, kelompok rentan ini sering abai diperhatikan oleh pemerintah terhadap resiko atau dampaknya. Dampak yang dirasakan perempuan dan anak akan berbeda dengan laki-laki. Misalnya, perempuan tidak mungkin telanjang di tengah-tengah situasi, digusur saat hamil, dan berakhir di jalanan, maupun saat kondisi menstruasi yang membuat isu kesehatan reproduksinya yang akan diabaikan.
“Gimana kalau anak, misal dia sekolah, maka akan berkembang pada isu-isu tidak terpenuhinya hak-hak anak. Misalnya perlindungan kecemasan yang hilang, pendidikan, hak kesehatan juga mungkin hilang karena dia tidak memiliki tempat tinggal lagi. Pemenuhan gizinya dan lainnya akan sangat berdampak,” ungkap Antik Bintari, saat dihubungi BandungBergerak.id.
Terlapas dari faktor politis permasalahan penggusuran, menurutnya pemerintah atau siapa pun yang punya kewenangan harus sudah memiliki cara pandang yang responsif gender. Sebelum melakukan penindakan harus sudah melakukan analisis dampak pada kelompok rentan.
Menurutnya implementasi cara pandang yang responsif gender ini belum maksimal. Sebab, jika sudah, maka seharusnya tidak ada lagi perempuan maupun anak yang berteriak histeris. Karena sebelumnya sudah dianalisa dampaknya dan sudah ditentukan siapa pihak yang akan memberikan perlindungan dan ke mana akan dibawa selepas penggusuran.
Berbeda ketika saat bencana yang sudah memiliki peraturan tentang bagaimana menentukan tempat pengungsian, pemisahan gender, dan sebagainya. Sehingga, karena belum ada peraturan ini, setidaknya cara pandang responsif gender ini setidaknya harus sudah diukur dampaknya sebelum penindakan. Karena, tiap jenis kelompok rentan ini memiliki dampak yang berbeda.