Peringatan Hari HAM Internasional di Bandung di Tengah Tumpukan Kasus
Penggusuran, kejahatan seksual, krisis iklim, dan setumpuk kasus HAM di masa lalu membuat peringatan Hari HAM Internasional di Bandung berlangsung muram.
Penulis Emi La Palau10 Desember 2021
BandungBergerak.id - “Hidup rakyat!”, “hidup perempuan” teriak Sarah, dalam orasi peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) International di Taman Braga, kota Bandung, Jumat (10/12/2021). Satu tangannya memegang mic, satu tangan lagi menggenggam poster bertuliskan “Randy Bagus Pembunuh”. Ia mengkritik salah seorang anggota kepolisian yang menjadi tersangka sebagai penyebab bunuh dirinya seorang mahasiswi berinisial NW.
Sarah mengutuk pelaku yang memaksa NW melakukan aborsi, Sarah mengutuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang terus terjadi kepada perempuan, kepada buruh perempuan, juga kepada masyarakat Papua.
“Polisi ini seorang pembunuh, kenapa saya bilang begitu, karena Randy ini telah menyebabkan Novia bunuh diri,” ungkapnya.
Selain itu, beragam kasus kekerasan seksual yang banyak menimpa perempuan terjadi di saat Indonesia belum memiliki payung hukum yang melindungi korban. Adapun Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Keresan Seksual (RUU TPKS) yang diharapkan bisa menjadi pelindung, justru tak kunjung disahkan. “Negara adalah sumber kekerasan,” ungkap Sarah.
Massa aksi kemudian merilis data dari Komnas Perempuan RI hingga Oktober 2021 bahwa pengaduan kasus kekerasan seksual mencapai 4.200 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya.
Sarah merupakan seorang dari massa yang tergabung dalam Forum Pembela HAM Bandung, dalam unjuk rasa yang mengusung tema “Hari HAM diperingati, Pelanggaran HAM terus terjadi”. Tema ini terbentang dalam spanduk yang mereka bawa. Forum tersebut berasal dari beragam elemen masyarakat sipil, seperti Sarah dari Simpul Puan, pegiat HAM, aktivis, mahasiswa, siswa, buruh, LBH Bandung.
Berdasarkan pantauan Bandungbergerak.id di lokasi, pukul 14.50 WIB, massa aksi mulai long march dari Taman Braga, Kota Bandung, menuju ke Polrestabes, Jalan Jawa. Mereka juga membawa beragam poster yang berisi tuntutan, di antaranya “Hentikan Perampasan Lahan”, “Tanah Untuk Rakyat”, “Sahkan RUU TPKS”, “Dicari: HAM”.
Selama long march, massa aksi bergantian menyuarakan beragam tuntutan, dan menyoroti kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak pernah tuntas. Salah seorang massa aksi, David, dalam orasinya mengingatkan bagaimana kasus genosida yang terjadi pada tahuan 1965 yang melibatkan aparat negara. Di mana dalam sidang di Belanda telah terbukti bahwa Indonesia bersalah atas tindakan yang dilakukan oleh aparatnya dalam melakukan pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, hingga perbudakan terhadap rakyat.
Hingga kini, belum ada upaya khusus untuk menyelesaikan beragam kasus pelanggaran HAM, bahkan tak ada permintaan maaf terhadap korban genosida. “Pemerintah tidak memanusiakan manusia,” ungkapnya. “Kita harus tetap bersatu, untuk isunya naik ke permukaan agar Internasional tahu bahwa indonesia tidak ada upaya untuk penuntasan pelanggaran HAM,” tambah David.
Massa aksi juga menyoroti bagaimana kasus pelangaran HAM lainnya yang tak jelas penyelesaiannya: kasus pembunuhan Munir, kasus penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Semanggi 1 dan 2, serta pelanggaran HAM yang terus terjadi di tanah Papua.
Alih-alih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, sederet kekerasan terus terjadi dengan rakyat sebagai korbannya. Mereka menjadi korban penggusuran brutal oleh aparat dan pemerintah. “Rakyat akan terus menjadi korbannya, Bandung tidak baik saja, ada 454 kawasan kumuh yang akan tergusur,” ungkap Feru, orator lainnya.
Setali tiga uang dengan itu, perampasan lahan milik rakyat di belahan bumi Indonesia masih banyak terjadi. Massa merilis data dari Tanahkita.id, bahwa ada sebanyak 62 kasus konflik agraria dengan luas lahan mencapau 58,8 ribu hektar terjadi di Jawa hingga Mei 2021.
Rakyat yang Digusur
Salah satu pegiat aksi kamisan, Fay, menyoroti pelanggaran HAM hingga kini masih terus terjadi, dari tanah Aceh sampai Papua. Menurutnya momen hari HAM International ini sebagai refleksi atas banyak yang mendesak untuk dituntaskan. Momen ini juga sekaligus sebagai peringatan kepada seluruh masyarakat untuk turut menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Kepedulian masyarakat terhadap isu pelanggaran HAM dinilai telah tampak, misalnya dengan viralnya tagar “percuma lapor polisi”, kasus-kasus kekerasan seksual, dan lain-lain. Suara masyarakat ini mestinya menggugah pemerintah agar segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM.
Fay lantas menggarisbawahi penggusuran tanah yang marak di Bandung akhir-akhir ini. Tanah merupakan hak hidup masyarakat yang fundamental, yang harus dijunjung tinggi oleh pemerintah. Jika hak-hak ruang hidup ini dirampas, masyarakat akan tinggal di mana?
Penggusuran yang terjadi di Bandung juga jadi ironi mengingat kota ini mernah dinobatkan sebagai Kota Ramah HAM. “Hal ini mencederai apa yang diberikan ke Kota Bandung, penggusuran memberikan banyak dampak kepada masyarakt, kita mencoba untuk bersolidaritas atas korban penggusuran,” ungkapnya.
Sebagai bentuk solidaritas, Kamisan Bandung, Kamis (9/12/2021) kemarin, digelar di titik penggusuran Jalan Anyer Dalam. Aksi tersebut sekaligus sebagai trauma healing kepada warga korban penggusuran, mendengarkan suara mereka dan duduk bersama untuk berbagi perasaan dan cerita.
“Untuk diceritakan ke masyarakat luas bahwa penggsuran masih sangat terjadi di mana-mana, ciptakan ruang aman dan ruang peringatan. Agar penggusuran bisa dihadapi bersama juga,” ungkapnya, kepada BandungBergerak.id.
Pegiat aksi Kamisan Bandung lainnya, Joe, mengatakan momentum Hari HAM Internasional sebagai refleksi atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara, sekaligus sebagai momentum membangun kesadaran bersama tentang pentingnya memperjuangkan hak-hak dasar manusia.
“Kita menuntut segera menuntaskan kasus HAM, lalu hak-hak korban dan pemulihannya, serta menjunjung tinggi HAM,” tandasnya.
Baca Juga: Tuntutan Penuntasan Kasus HAM, antara Bandung dan Jakarta
Mengikis Stigma dengan Meningkatkan Kapasitas Para Perempuan Penghayat
Suara dari Kaum Buruh
Meski hujan mengguyur kawasan Taman Vanda dan sekitarnya, massa aksi tidak membubarkan diri. Setelah sempat terhenti, massa aksi kembali menyuarakan aspiranya. Salah satunya datang dari kelompok buruh. Perwakilan dari Konfederasi Serikat Nasional, Indro, membuka orasinya dengan menyampaikan kabar duka dari buruh. Duka itu datang pada penghujung November lalu, yang mana kekalahan dialami seluruh buruh di Indonesia dalam memperjuangkan kenaikan upah 2022.
Upah buruh hanya naik sebesar Rp 100.000. Bahkan di beberapa kota dan kabupaten di Jabar ada yang tidak mengalami kenaikan upah sama sekali. Hak-hak buruh untuk mendapatkan penghidupan yang layak sangat sulit. “Banyak tempat kerja yang tidak memberikan upah sesuai UMK,” ungkap Indro.
Selain itu, selama mengikuti aksi buruh, ia menyoroti pelanggaran yang dilakukan oleh aparat yang paling depan mengadang buruh. Menurutnya, dalam 5 tahun ke belakang ia menyaksikan represivitas aparat terhadap buruh. Ia mengakhiri orasinya dengan mengangkat kepalan tangan kiri, mengajak rakyat, buruh, mahasiswa, untuk sama-sama bersatu memperjuangkan hak-haknya.
Krisis Iklim
Aksi ini turut diikuti seorang SMA, Sophia Septiani (17). Perempuan yang masih duduk di bangku kelas dua ini tergabung dalam kelopok kampanye lingkungan Extinction Rebellion (XR). Ia menyuarakan bahwa bumi menghadapi krisis iklim. “Krisis iklim sama dengan krisis kemanusiaan. Seharusnya jalan berdampingan antara manusia dan alam,” ungkapnya, kepada Bandungbergerak.id.
Sophia merasakan dampak nyata dari krisis iklim yang terjadi saat ini. Udara Bandung semakin panas, banjir di mana-mana, pembangunan besar-besaran diawali penggusuran, hutan-hutan konservasi diubah menjadi tempat-tempat wisata.
“Kebijakan pemerintah yang kurang bijak dalam pembangunan. Bukan hal manusia saja tapi hak hewan, hak tanaman juga. Pemerintah harusnya bisa melihat,” ungkapnya.
Seorang mahasiswi asal Papua, Agnes Kusai (19), pun merasa terpanggil untuk ikut menyuarakan bagaimana pelanggaran-pelanggaran HAM terus terjadi dan menindas masyarakat Papua. Ia juga menyoroti alam, hutan serta kekayaan tanah Papua dikuras habis, tanpa memperhatikan hak-hak dan nasib warga Papua.
“Saya sangat terharu, sedih, dan marah terus, kadang tidak terima sama tindakan pemerintah kepada kami rakyat Papua,” ungkapnya.
Suara dari Papua
Suara Papua juga disuarakan perwakilan dari Aliansi Mahasiswa Papua Bandung, Pilamo, yang meminta pertanggung jawab negara atas berbagai pelanggaran HAM di tanahnya. Selama ini sumber daya alam Papua terus digerus, dan rakyatnya ditindas.
“Kami mengangkat tangan kiri, hari ini, negara harusnya sadar dan harusnya malu sebagai bangsa yang pernah hidup di bawah penindasan. Justru melakukan itu ke Papua,” ucapnya.
Papua menurutnya memiliki sumber daya alam melimpah. Namun rakyat Papua masih hidup dalam kemiskinan. “Kami sebagai rakyat Papua hak dan martabat kami direbut. Negara tidak pernah mengakui setiap perlanggaran yang dilakukan ke Papua, pelanggaran HAM, perampasan tanah, perkosaan,” paparnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Papua mencatat ada 154 kasus pelanggaran HAM, meningkat drastis dibandingkan 2018 yang mencapai 68 kasus.