• Berita
  • Melihat Dampak Lingkungan dan Hak Warga yang Menolak Pembangunan TPST Cicabe

Melihat Dampak Lingkungan dan Hak Warga yang Menolak Pembangunan TPST Cicabe

Rakyat memiliki daulat menolak pembangunan yang dilakukan pemerintah, seperti yang dilakukan warga dalam demonstrasi penolakan pembangunan TPST Cicabe, Bandung.

Warga kompleks City Garden Residance, Bandung, menolak rencana pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Cicabe, Selasa, 22 Agustus 2023. (Foto: Dokumentasi Warga)

Penulis Emi La Palau23 Agustus 2023


BandungBergerak.idWarga komplek City Garden Residance RW 03 Kelurahan Jatihandap menolak rencana pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di bekas lahan Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Cicabe. Warga mengkhawatirkan dampak buruk lingkungan menimpa mereka.

Sebelumnya warga komplek telah menggelar aksi demonstrasi, Selasa (22/8/2023), di lahan bekas TPA Cicabe. Mereka menuntut agar Pemerinta Kota (Pemkot) Bandung membatalkan rencana pembangunan TPST di lahan tersebut. Beberapa persoalan yang dikhawatirkan oleh warga yakni pencemaran lingkungan rumah warga yang hanya berjarak 120 meter dari lokasi rencana TPST.

Selain itu, kodisi lahan dengan kontur tanah dinilai rentan terjadi longsor dan amblas jika digunakan untuk aktivitas berat. Jika dicermati, permukiman warga memang berada pada posisi lembah, sedangkan pengolahan sampah berada di perbukitan. Wajar jika warga khawatir terjadi longsor.

Lahan bekas TPA Cicabe juga sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang tidak sesuai jika diperuntukkan menjadi TPST. Belum lagi dengan kondisi jalanan yang sempit dengan sisi kanan dan kiri terdiri dari perkantoran, sekolah, perumahan warga sehingga akan mengganggu aktivitas keseharian warga.

Bandungbergerak.id, mengunjungi komplek City Garden Residen dan bertemu dengan warga yang menolak TPST. Perwakilan warga Elprida yang juga ikut dalam aksi demosntrasi menjelaskan pihaknya siap melakukan pengelolaan sampah asalkan tidak dibangun TPST.

“Kami inginnya dipindahkan, direlokasi dari sini. Jika memang perlu kOoperatif mengolah sampah, kami bisa memulai mengolah sampah. Tapi kalau misal membangun diburu-buru dan menabrak banyak aturan kami tidak sepakat,” ungkap Elprida, Rabu (23/8/2023).

Menurut Elprida, warga sejak awal melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan TPST. Warga juga tak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan TPST, tahu-tahu telah keluar peta pembangunan. Sejak 26 Juli 2023 lalu, pihaknya mendapat undangan sosialisasi pemaparan desain pembanguanan yang telah direncakanan dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung di Kantor Kecamatan Mandalajati. Namun warga tidak mengetahu apa-apa tentang hal tersebut.

Lalu di hari berikutnya 27 Juli 2023, forum warga melayangkan surat penolakan pembangaunan TPST. Kemudian pada 2 Agustus dilakukan audiensi antara warga dan stakeholder terkait komplek perumahan warga. Lalu pada 3 Agustus warga kembali menerbitkan surat penolakan pembangunan TPST kedua.

“Kami bertanya, banyak kita bertanya seperti apa perencanaannya karena kami nggak tahu sama sekali. Banyak hal-hal yang menurut kami sebagai konsen kami. Kami ragu apakah sudah dipertimbangkan atau belum,” ungkapnya.

Berbagai upaya telah dilakukan warga untuk menolak pembangunan TPST, mulai dari bertanya langsung, berkirim surat, tetapi tidak membuahkan hasil. Selain itu, warga tidak mendapatkan penjelasan rekayasa lingkungan untuk mengantisipasi penurunan kualitas hidup jika nantinya TPST beroperasi. Warga tidak dilibatkan dalam tahapan perencanaan dan persetujuan pembangaunan TPST Cicabe. Hal ini melanggar UU No 18 tahun 2008. Karena itulah mereka kini memilih turun ke jalan.

Elprida berharap pemerintah mau mendengarkan keluhan masyarakat. Mengingat lahan di bekas TPA Cicabe bukan lahan datar. Dengan rencana ketinggian sampah 15 meter ke bawah, hal ini dikhawatirkan sewaktu-waktu akan terjadi longsor akibat kegiatan alat berat.

“Ini bakal ngeganggu stabilitasi sampah, kayak kita jalan saja kita amblas, ini ada mesin yang bergetar. Dan berat. Dan ini bisa mengganggu stabilitasi sampah dan bisa longsor ke arah kami,” ungkapnya.

Sebagai ibu rumah tangga, Elprida mengaku memilih memperjuangkan hak atas lingkungan yang bersih untuk anak dan keluarganya. Ia memilih tinggal di komplek perumahan dengan harapan bisa mendapatkan ruang yang bersih dan aman.

“Ini tidak hanya satu tahun dua tahun ini akan sampai selamanya. Ada dampak dari paparan ke tubuh, dampak akumulatifnya baru kerasa nanti, saya tidak mau saya punya anak satu, saya tidak mau anak saya mendapatkan. Harusnya dia punya hak atas hidup bersih, udara sehat, ini salah satu cara saya untuk mewujudkannya,” paparnya.

Berkaca juga pada kondisi darurat, ketika TPA Cicabe diaktifkan sebagai TPA darurat selama dua minggu. Warga sekitar sangat terganggu dengan bau menyengat sampah. Sampai-sampai para ibu kesulitan untuk beraktivitas. Dan kondisinya sangat tidak nyaman untuk warga.

Elprida menegaskan, penolakan warga pada TPST bukan karena ketidaktahuan melainkan karena mereka kahwatir akan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Mereka juga memperjuangkan kondisi lingkungan yang bersih dan sehat untuk anak dan keluarga kelak.

Hak Warga Mendapatkan Lingkungan Sehat dan Bersih

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong menjelaskan, terlepas lahan yang diperuntukkan sesuai kriteria ataupun tidak untuk menajadi TPST, pemerintah wajib mendapat izin dari warga sekitar jika akan membangun TPST. Mesti ada persetujuan dari warga karena mereka mempunyai hak untuk hidup dan mendapatkan kondisi lingkungan hidup yang sehat dan baik secara berkelanjutan.

Jika terjadi penolakkan dari warga sekitar, Pemerintah Kota Bandung tak bisa memaksakan diri untuk membangun TPST di sekitar lokasi bekas TPA Cicabe.

“Jadi walaupun cocok (lahannya), kalau warga tidak sepakat, sebenarnya tidak bisa dilanjutkan. Jadi hak warga sebagai rakyat lebih mempunya hak berdaulat,” terang Meiki, melalui sambungan telepon.

Terkait potensi pencemaran dalam pembangunan TPST, Meiki mengungkapkan pengolahan sampah di TPST dengan menggunakan sistem RDF tetap memiliki potensi buruk terhadap lingkungan dan juga masyarakat sekitar.

Kekhawatiran warga akan bencana longsor juga masuk akal. Potensi bencana ini akan terjadi jika pengolahan sampah yang dilakukan masih sama seperti di TPA Sarimukti yang menerima sampah tanpa proses pemilahan. Belum lagi dengan pencemaran air lindi (limbah cair dari tumpukan sampah).

Pencemaran air lindi akan berdampak pada pencemaran sumber air yang berada di sekitar TPST. Sumber air seperti sungai, anak sungai, dan bahkan bisa mamsuk ke lapisan air tanah dalam yang dikonsumsi oleh warga.

Sementara sistem RDF yang diklaim Pemkot Bandung sebagi energi terbarukan, tetap memiliki dampak serius pada lingkungan dan manusia. Menurut Meiki, dampak RDF berupa pencemaran udara lewat aroma dan bau. Namun secara spesifik pencemaran pada penggunaan sistem RDF ini akan terjadi di hilir. RDF merupakan bahan baku pengganti bahan bakar minyak, solar, dan batu bara yang dipakai dengan cara dibakar. Proses pembakaran inilah yang akan menghasilkan polusi lingkungan.

“Ada fly ash dan bottom ash (Faba). Faba itu mengandung berbagai macam racun, karena sampah yang dicacah lalu dipadatkan itu RDF itu. Hasilnya akan ada cemaran yang lepas di udara dan cemaran di darat berupa abu sisa pembakaran,” terang Meiki.

Petugas pemadam kebakaran ditengah kabut asap di area pembuangan sampah akhir yang terbakar di TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (23/8/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Petugas pemadam kebakaran ditengah kabut asap di area pembuangan sampah akhir yang terbakar di TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (23/8/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Mempertahankan Ruang Hidup di Rumah Bedeng Tamansari
Tragedi Romeo dan Juliet di Gedung Kesenian Rumentang Siang
Kebakaran yang Menerjang TPA Sarimukti Menjadi Potret Buruk Pengelolaan Sampah Bandung Raya

Deklarasikan Darurat Sampah

Untuk menyelesaikan persoalan sampah, pemerintah seharusnya menyelesaikan persoalan sampah dengan metode ramah lingkungan, yakni melakukan proses pemilahan sampah dari sumbernya, mengedukasi warga dengan sabar dan tegas.

Bahkan, kata Meiki, dalam kondisi saat ini seharusnya Pemkot Bandung mendeklaraskan darurat sampah. Pemkot harus mengeluarkan perintah langsung ke level camat, lurah, RT, RW agar warga mau melakukan pemilahan sampah. Agar nantinya sampah yang terpilah antara organik dan nonorganik sudah terpisah. Ketika sampah sudah terpilah maka akan mudah untuk diolah, sebelum dibuang ke TPA.

Selanjutnya, sampah organik dapat diolah menjadi kompos atau bisa dikerjasamakan dengan pegiat magot. Sementara untuk sampah nonorganik masih dapat dipilah dan didaur ulang. Sedangkan sampah sisanya akan mudah dicarikan solusinya, karena jumlahnya sudah sedikit.

Dengan pemilahan tersebut, paling tidak sekitar 80 persen sampah akan tertangani. Sebab, komposisi sampah Kota Bandung terdiri dari 75 persen sampah organik dan 25 persen sampah nonorganik.

“Sebenarnya solusinya diseriuskan dulu itu upaya-upaya pemilahan, itukan RDF itu sebenarnya jalan pintas dari upaya malas untuk mendorong penegakan hukum pemilahan sampah,” ungkap Meiki.

Pemilahan Sampah kian Mendesak

Pemilahan sampah kian mendesak di saat TPA Sarimukti mengalami kebakaran seperti sekarang ini. Kebakaran membuat aliran sampah ke TPA di Kabupaten Bandung Barat itu terhenti. Meiki menyatakan sudah saatnya Pemkot Bandung mengumumkan darurat sampah. Kebakaran di TPA Sarimukti menjadi momentum penyadaran masyarakat agar bisa mengolah sampah dengan baik.

“Betul dijadikan momentum, melakukan pengurangan sampah, instruksikan langsung saja ke level RT RW. Deklarasi wali kota harus mendeklarasikan darurat sampah. Supaya nanti semua pemangku kepentingan ini termasuk masyarakat juga tersadarkan mereka mau berusaha, mau melakukan upaya pemilahan,” papar Meiki.

Pemkot Bersikeras Membangun TPST Cicabe

Meski telah mendapat penolakan dari warga, Pemkot Bandung bersikeras membangun TPST dengan sistem RDF di bekas TPA Cicabe sebagai TPST, seperti disampaikan oleh Plh Wali Kota Bandung Ema Sumarna. Selain TPST Cicabe, tempat pengelolaan sampah serupa juga akan dibangun di titik lain di Kota Bandung, misalnya TPST Cicukang Hollis.  

"Itu memang masih ada penolakan, tapi akan kita komunikasi. Saya sudah mintakan lurah dan camat dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung untuk lakukan pendekatan dan penjelasan," ujar Ema, menanggapi penolakan pembangunan TPST Cicabe, dikutip dari keterangan resmi Humas Pemkot Bandung.

Ia menilai kemungkinan ada miskomunikasi dan salah paham mengenai TPST. Ema mengklaim, TPST sebetulnya merupakan satu langkah dalam penanggulangan sampah. Sebagai contoh, TPST Holis selain mampu mengelola sampah juga mampu menghadirkan nilai ekonomi.

"Contoh yang di Hollis. Itu mungkin mereka (warga Cicabe) kalau sudah melihat TPST di Holis justru akan terbayang seperti apa penanganan pola TPST ini," katanya.

Untuk menangani persoalan sampah saat ini terkait ditutupnya TPA Sarimukti karena kebakaran, pihaknya akan melakukan pola distribusi sampah. Sehingga mengantisipasi adanya penumpukan sampah di Kota Bandung.

"Pola distribusi juga sedang kita atur. Misalnya jangan terjadi penumpukan di sini, pola pergeseran seperti kemarin saya lakukan dulu sambil TPA Sarimukti bisa cepat teratasi. Sekarang ada banyak ritasi yang tidak bisa masuk karena ada ancaman dari kepekatan asap," kata Ema Sumarna.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//