• Berita
  • Ruang Publik di Bandung Cenderung Kaku dan Berjarak

Ruang Publik di Bandung Cenderung Kaku dan Berjarak

Komunitas Bandung sudah lama merindukan ruang publik yang tidak ekslusif, seperti Gedung Indonesia Menggugat atau Bandung Creative Hub era kepengurusan komunitas.

Perpustakaan Alun-alun Bandung salah satu ruang publik yang dirasakan berjarak dengan publiknya, Selasa (30/3/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana15 Mei 2022


BandungBergerak.idRuang publik seperti Alun-alun Bandung dan gedung perpustakaannya, sejatinya tempat umum untuk merawat demokrasi. Ruang ini milik masyarakat dan tidak boleh dikuasai oleh satu pihak atau kelompok tertentu. Semua warga berhak menyampaikan ekspresinya di ruang publik tersebut.

Begitulah, kata Desmond Satria Andrian, edukator Museum KAA, yang seharusnya terjadi dengan semua ruang-ruang publik di Kota Bandung yang sayangnya hingga kini belum bisa terwujud. Ruang-ruang publik yang ada cenderung kaku karena lebih kental dengan nuansa birokrasi sehingga menjadi ekslusif, berjarak dengan masyarakat. Ruang publik yang inklusif dan strategis, merangkul semua kalangan, masih menjadi dambaan bagi komunitas atau para pegiat kota.

“Saya merasakan ada semacam sisi strategisnya berkurang, yang meningkat sisi birokratisnya. Ini yang dihadapi kita bersama dalam mempertahankan ruang publik. Kenapa nilai strategis menurun dan birokrasinya menonjol? Biasanya ruang publik yang dikelola birokrat, supaya tidak bertentangan dengan lembaga birokrasi itu, semua harus dilaporkan, prosedur makin banyak,” kata Desmond, saat dihubungi BandungBergerak.id, Sabtu (15/5/2022).

Sebagai contoh, ruang publik Gedung Indonesia Menggugat (GIM) yang kini di bawah kepengurusan birokrat. Nuansa Gedung Indonesia Menggugat berbeda dengan ketika masih diurus oleh komunitas. Waktu itu GIM menjadi tempat berkumpul dan berkegiatan semua kalangan, terasa lebih cair dan inklusif.

Hal serupa terjadi pada ruang publik Gedung Bandung Creative Hub, Jalan Laswi, yang sempat dikelola komunitas dengan gayanya yang cair, inklusif, terbuka, mudah diakses, dan sebagainya. Tetapi begitu kepengurusan gedung diambil alih birokrat, nuansa cair itu berubah menjadi birokratis.

“Memang dia tetap inlkusif tapi ada perbedan jika dikelola oleh komunitas,” kata Desmond yang juga aktif mendampingi komunitas Sahabat Museum KAA serta terlibat dalam Asian African Reading Club (AARC), program literasi di Museum Konferensi Asia Afrika.

Pemkot Bandung mesti Belajar dari Museum

Ruang publik di Kota Bandung atau kota-kota lainnya diharapkan mau belajar dari museum-museum yang mampu menjembatani komunikasi dengan masyarakat. Contohnya, kata Desmond Satria Andrian, Museum Konferensi Asia Afrika merupakan institusi milik pemerintah atau birokrat.

Namun Museum KAA juga sebagai ruang publik yang harus merangkul masyarkat. Maka untuk menjalankan fungsi ruang publiknya, Museum KAA sejak 2009 membuka diri, salah satunya dengan membentuk komunitas Sahabat Museum KAA. Komunitas inilah yang berfungsi merawat ruang publik sekaligus sebagai manajemen acara-acara yang berkaitan dengan misi museum.

Kegiatan rutin yang dilakukan Sahabat Museum KAA di antaranya acara-acara literasi seperti pemutaran film dan diskusi buku.

“Saya pikir museum semua ada sahabat museumnya sebagai manjemen event yang menjembatani antara museum dan masyarakat. Kalau tidak ada komunikasi dengan masyarakat, museum hanya akan menjadi museum, ditinggalkan masyarakat,” kata Desmond.

Jadi, Pemkot Bandung bisa meniru konsep ruang publik yang dijalankan museum dengan cara merangkul komunitas sebagai jembatan dengan masyarakat. Desmond tidak menampik bahwa di Museum KAA memang ada prosedur birokrasi. Namun hal ini bisa diatasi dengan cara kurasi berdasarkan nilai-nilai atau prinsip Museum KAA.

Nilai kurasi ini kemudian menjadi panduan untuk menyelenggarakan kegiatan di Museum KAA, termasuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh diselenggarakan di museum. Contohnya, kegiatan yang bisa dilaksanakan di museum harus berkaitan dengan isu-isu pembangunan internasional Asia dan Afrika, kegiatan tidak boleh berkaitan dengan politik praktis. Nilai kurasi lainnya adalah pluralisme, kebangsaan, dan perdamaian.

“Nilai-nilai kurasi itu menjadi dasar untuk perizinan penggunaan gedung KAA. Sehingga komunitas semua sudah paham, dan Sahabat Museum KAA sudah 12 tahun berjalan. Jadi birokrasi tidak menghambat asal kurasinya sesuai,” kata Desmond.

Kembali ke ruang publik di Bandung, menurutnya peran komunitas sebagai “kurator” yang melakukan manajemen acara di ruang publik memang penting. Dia akan menjadi semacam kurator independen yang mampu menjembatani dengan masyarakat atau komunitas lain.

Hal itu terbukti ketika Gedung Indonesia Menggugat dan Bandung Creative Hub masih diurus oleh komunitas di mana banyak komunitas dan elemen masyarakat merasakan manfaatnya. “Jadi mungkin memang sebaiknya (ruang publik di bandung) kerja sama dengan komunitas sebagai mitra antara masyarakat dan pemilik lembaga (pemerintah),” katanya.

Baca Juga: Wajah Murung Sungai Citarum
Saat Suara Meriam Menggema di Puncak Gunung Gede Abad Ke-19
Krisis Sungai dan Air Bersih Kota Bandung dalam Video Animasi

Rak kosong Perpustakaan Alun-alun Bandung, Selasa (30/3/2021). Perpustakaan ini salah satu ruang publik yang dirasakan berjarak dengan publiknya, (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Rak kosong Perpustakaan Alun-alun Bandung, Selasa (30/3/2021). Perpustakaan ini salah satu ruang publik yang dirasakan berjarak dengan publiknya, (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kolaborasi, Kolektif dan Adaptif

Kakunya ruang publik di Kota Bandung dirasakan salah seorang pegiat literasi di Bandung, Deni Rachman. Hal itu semakin terasa ketika pagebluk melanda selama dua tahun ke belakang di mana kegiatan tatap muka ditiadakan demi mengurangi risiko penularan Covid-19. Padahal tatap muka adalah napas komunitas.

Ketiga pandemi memasuki tahun ketiga, Deni dan komunitas bukunya mulai melakukan kegiatan tatap muka secara terbatas. Dari situ ia merasakan ada tiga hal penting untuk menghidupkan ruang publik, yaitu kolaborasi, kolektif dan adaptif.

Selama salah satunya tidak ada ya tidak akan jalan,” kata Deni Rachman.

Kolaborasi dan kolektif merupakan gabungan semua unsur komunitas, pemerintah, swasta. Misalnya untuk menghidupkan ruang publik bagi dunia literasi, maka diperlukan peran Dinas Perpustakaan, Dinas Pemuda dan Olahraga, IKAPI, komunitas pedagang buku, komunitas sejarah, dan lain-lain.

“Sifat kolaborasi kan supaya si ruang publik bisa optimal diberdayakan, tidak menjadi ruang ekslusif hanya untuk komunitas atau kelompok tertentu saja, atau hanya untuk pelaksana anggaran saja,” kata Deni.

Kolaborasi tersebut harus merangkul semua kalangan dan melahirkan kegiatan yang berkelanjutan yang bentuknya tidak harus besar. Cukup kegiatan kecil tapi rutin.

“Diperlukan kegiatan rutin walau kecil, bisa mingguan atau bulanan. Kegiatan inilah yang sebenarnya meghidupkan ruang publik itu,” katanya.

Deni yang pernah aktif di Museum KAA mengambil contoh pada program AARC di Museum KAA yang setiap minggunya selalu berjalan, walaupun pesertanya hanya dua atau tiga orang. Menurutnya, kegiatan rutin inilah yang tidak terjadi di ruang-ruang publik Kota Bandung. Sehingga komunitas lain tidak mengetahui bahwa ruang publik tersebut aktif atau bahkan ada.

Komunitas juga tak tahu bagaimana mengakses ruang publik tersebut. Akhirnya mereka berjalan dan berjuang sendiri, membangun ruang-ruang publik sendiri, tanpa mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Kebanyakan ruang-ruang publik di Bandung, terutama ruang publik di bawah pemerintah, kurang memerhatikan kegiatan rutin ini. Mereka cenderung mengedepankan kegiatan besar, seremonial, dan akhirnya dilupakan.

“Kolaborasi dan kolektivitas itu ada di wilayah irisan antara pemerintah dan publik, di tengah-tengah, ada titik temu yang bisa digarap bareng. Ini bisa dioptimalkan oleh berapa pihak. Sekarang gayanya kolaborasi,” katanya.

Belum Jelas Siapa Berbuat Apa

Sudah lama komunitas di Bandung berjalan sendiri tanpa fasilitas dari pemerintah. Bagi komunitas hal ini sudah biasa. Mereka sudah biasa kesulitan mencari ruang-ruang pertemuan dan mengusahakannya sendiri. Namun bagaimana pun, pemerintah memiliki kewajiban melayani publik dengan menyediakan ruang-ruang berkegiatan.

Pemerintah juga memiliki sumber daya besar untuk memfasilitasi publik meski sayangnya sumber daya ini belum maksimal. Banyak ruang publik di Bandung yang fungsinya kurang berjalan. Di antaranya, Pepustakaan Alun-alun Bandung yang setiap harinya kesepian, bahkan tak memiliki buku. Padahal di saat yang sama, banyak komunitas yang membutuhkan ruang seperti perpustakaan tersebut.

Pemerintah Kota Bandung berdalih ada masalah administrasi pada perpustakaan di Alun-alun Bandung tersebut. Saat ini, masalah administrasi ini sedang diurus bersamaan dengan aset-aset lainnya, seperti taman Alun-alun Bandung dan Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) Jalan Asia Afrika.

"Di sini ada 3 fasilitas yang secara administrasi belum masuk barang milik daerah. Di antaranya taman alun-alun, gedung perpustakaan dan jembatan penyeberangan orang Jalan Asia Afrika. Kita minta percepatan segera diproses dari pihak ketiga ke Pemda (Pemkot Bandung)," kata Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna, dalam siaran persnya, Jumat 13 Mei 2022.

Ema menjelaskan, percepatan ini sesuai dengan Perda Nomor 12 tentang 2018 tentang Barang Milik Daerah dan Perda Nomor 13 Tahun 2012 tentang sumbangan pihak ketiga. Percepatan ini sekaligus untuk menjalankan fungsi dari masing-masing ruang publik, sehingga ada kejelasan peran dan fungsinya.

"Ini harus segera diproses dari pihak ketiga ke Pemda. Sehingga nanti kita distribusikan kepada pengguna barang, sehingga jelas siapa berbuat apanya," kata Ema Sumarna.

Bila percepatan ini dilakukan, kata Ema optimis persoalan mengenai pemeliharaan fasilitas publik di area Alun-alun Bandung akan selesai. Termasuk soal regulasi keuangan untuk pemeliharaan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//