MEMORABILIA BUKU (27): Kelindan Simpul Komunitas di Festival Indonesia Menggugat 2016
Festival Indonesia Menggugat, satu acara literasi terbesar yang pernah diselenggarakan oleh komunitas di Bandung, dengan dana dari komunitas pula.
Deni Rachman
Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.
16 Januari 2022
BandungBergerak.id - Secara swadaya puluhan komunitas berkumpul, berdiskusi, berkesenian, berniaga merayakan festival akhir tahun yang sedianya akan diselenggarakan tahunan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Tanpa ada sponsor dan penyokong dana, terselenggaralah Pekan Literasi Kebangsaan pada 1 – 7 Desember 2016 secara gotong royong, rembukan para komunitas dalam payung besar agenda Festival Indonesia Menggugat (FIM).
Dalam kegiatan yang bisa tergolong langka ini, tak ketinggalan para pegiat buku pun ikut dilibatkan tak sekadar berniaga buku saja, namun juga turut serta dalam musyawarah prakegiatan, evaluasi harian saat hari H maupun pascakegiatan.
Ajakan untuk menyelenggarakan kegiatan bersama sudah bergaung di kalangan para pegiat buku sebulan sebelumnya. Dari poster digital yang tersebar di medsos, panitia di GIM mengundang perorangan atau komunitas: “Segera Hadir! Dari Bandung untuk Gerakan Literasi. Semua boleh Terlibat, Semua dapat Panggung”. Demikian seruan poster itu sembari mengumumkan 28 mata acara yang akan berlangsung mulai dari pameran buku hingga diskusi spesifik bertopik HAM dan diskriminasi.
Awal Mula Festival Indonesia Menggugat dan FIM 2
Rangkaian acara FIM ini rupanya sudah dibentang sejak bulan Mei 2016. Tepatnya di 20 hingga 22 Mei 2016, FIM 1 bertajuk Sukarno dan Historiografi Indonesia. Saya dan kawan-kawan pelapak buku diajak bergabung memeriahkan acara perdana itu. Kegiatan masih sederhana, lokasi kegiatan terpusat di ruang utama sementara lapakan buku di lorong masuk Gedung Indonesia Menggugat. FIM awal-awal ini seperti menjadi ajang pemanasan sebelum kemudian menggelinding menjadi kegiatan kedua dan puncaknya di bulan Desember 2016.
Lapakan buku saat itu menyesuaikan dengan denah lorong gedung, sisi kiri-kanan berjejer meja panjang dan yang berbentuk setengah lingkaran. Seingat saya, saya turut melapak di sana bersama kawan Didin Tulus (Ultimus), Asra dan Kukuh (Buku Mahal), Andrias Arifin (Katarsis Book), Indra Prayana (Jaringan Buku Alternatif), Bebe (kini Barbuk), Mughni (Kebul Buku), lapak Buruan.co, dan Lembaga Pers Mahasiswa Suaka. Selain buku, ada lapakan kaos, kartu pos, dan aneka cinderamata lainnya, namun posisi lapakannya berlokasi di kantin gedung.
Berdasarkan informasi dari Bilven, FIM ke-2 berlangsung pada tanggal 29 September hingga 7 Oktober 2016. Uniknya festival saat itu berupa pameran kartu pos bertajuk Archetype: Merekam Nalar. Pameran ini menyuarakan negeri ramah HAM serta melibatkan publik dalam diskusi, pemutaran film, workshop, dan lapakan buku.
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (24): Moro Rezeki di “Moro Referensi†Unisba 2017
MEMORABILIA BUKU (25): Kaleidoskop Buku Bandung 2021, Menggelar Lagi Pameran Buku
MEMORABILIA BUKU (26): Bersolidaritas Buku di Festival Kampung Kota Dago Elos 2017
Persiapan Festival Indonesia Menggugat 3
Sebulan sebelum FIM ke-3 digelar, ada kesibukan menjalar di ruangan-ruangan GIM. Di tengah cuaca hujan Kota Bandung, saya tembus guna mengikuti undangan musyawarah. Musyawarah biasanya berlangsung dari sore ke malam hari, bertempat di ruangan sisi kiri lorong masuk gedung atau di ruang sekretariat panitia.
Dengan duduk berlesehan beralas lantai jadul gedung, kami melingkar. Tampak kawan-kawan yang turut bermusyawarah seingat saya ada Bilven, Hanif, Osi Prasepti, Mimi Padmi, Dasep Sumarjani, Wanggi Hoed, dan Semi Ikra Negara.
Di pertemuan selanjutnya yaitu 25 dan 29 November 2016, peserta musyawarah bertambah kian banyak. Technical meeting dilangsungkan 25 November 2016. Seingat saya yang hadir ada Tobing Jr, Andrias Arifin, Irvan Darmansyah, Zaky Yamani, Rere, dan Indra Prayana. Musyawarah sekaligus gladi resik dan penentuan meja lapakan dieksekusi di 29 November 2016 malam. Nampak Furqon dan Bilven memimpin musyawarah memaparkan kesiapan acara yang akan berlangsung di awal bulan Desember itu. Ada Adew, Untung Wardojo, Iiw di ruangan musyawarah selain puluhan kawan-kawan yang memadati ruangan depan gedung.
Seusai musyawarah, para pelapak buku langsung mengecek ruangan di sayap kiri ruang utama dan ruang utama. Kami berkumpul kembali untuk menentukan nomor meja para pelapak buku, komunitas baca, dan cInderamata. Rere dari penerbit Svatantra menginisiasi penentuan nomor ini.
Dari hasil musyawarah kecil para pelapak buku berhasil ditentukan nomor dan nama pelapak sebagai berikut:
- Sayap kiri ruang utama:
- Katalis Books
- Kebul Buku
- Lumbung Buku
- Masih kosong (?)
- Langgam Pustaka
- Perpustakaan Apresiasi
- Asian-African Reading Club
- Perpustakaan Jalanan Bandung
- Komunitas Aleut
- Metaruang
- Harsh
- Teras Buku
- LawangBuku
- Jaringan Buku Alternatif
- Ruang utama, tanpa nomor namun berurut dari pintu masuk ruangan:
- Ultimus
- Resist
- Kentja Press
- Gabungan Penerbit Yogyakarta (Circa, IBC, Oak, MB, EA Books)
- Katarsis Book
- Svatantra
- Komunitas Bambu
- Banana
- Marjin Kiri
- Area Kantin:
- Kabar Kampus
- Walhi
- co
- Majelis Sastra Bandung
- Beberapa lapak makanan
Dari data di atas, terdapat lebih dari 20 gabungan penerbit dan toko buku mengikuti FIM 3. Saya yang kebagian di nomor 13, bersebelahan dengan Teras Buku dan Jaringan Buku Alternatif.
Sedangkan komunitas yang turut serta yaitu Asian African Reading Club, Perpustakaan Jalanan Bandung, Komunitas Aleut, Kamisan Bandung, Majelis Sastra Bandung, Jakatarub, Perpustakaan Apresiasi, Walhi Jabar, Layar Kita, Buruan.co, Kabarkampus, dan Perpustakaan Zine Bandung.
Dan untuk kedai kopi, di antaranya ada Das Kopital, Kaka Café, Kedai Preanger, Garasi Merdesa, Daily Routine, Kedai Kopi Congress KPRI, Communal, dan The Social Club Coffee.
Hari H Festival Indonesia Menggugat 3
Kamis pagi hari, satu persatu para pelapak mulai mengisi meja yang sudah disediakan. Ceu Nunun sebagai pengurus gedung turut menata dan menutupi meja dengan kain lurik dan batik koleksinya. Hari pertama melapak biasanya dimulai dengan ajang saling ngobrol antarpelapak sambil mengincar buku lapakan mana yang bisa dijual kembali dan menata pajangan buku hingga genah.
Yang terlihat sibuk tentunya Andre yang memegang langsung kendali dua meja, baik Katarsis Book maupun meja gabungan penerbit Yogyakarta (Circa, IBC, Oak, MB, EA Books). Beberapa koli besar kiriman dari Yogyakarta dikirim satu tujuan ke Ultimus, Jalan Cikutra, lalu diboyong ke GIM di Jalan Perintis Kemerdekaan. Kesibukan memajang aneka judul dari beberapa penerbit itu tak mengurangi kegembiraannya menyambut pameran buku ini.
Sambil mengintip pajangan kawan-kawan, saya menemukan buku antik di lapakan JBA milik Indra. Sebuah judul Proces Ir. Soekarno dan Kawan2: Alasan Penjerahan dari Keempat Pemimpin P.N.I. kepada Landraad Bandoeng. Sebagai senior di perbukuan lawas, pajangan Indra tak disangsikan lagi selalu membawa buku-buku kejutan. Termasuk buku antik yang dibawanya itu terasa merasuk dengan gedung Bung Karno membacakan pledoinya Indonesia Menggugat, tempat kami berpameran saat itu.
Kumandang lagu Indonesia Raya terdengar dari sayap kanan gedung. Di sanalah ruangan panggung untuk menggelar semua acara diskusi, pementasan seni, dan orasi literasi. Orasi dari Hawe Setiawan sekaligus membuka Pekan Literasi Kebangsaan dan di akhir ditutup lagi dengan orasi dari Muhidin M. Dahlan. Satu pasangan pegiat literasi dari Bandung dan Yogyakarta yang sarat pengalaman dan kritis terhadap dunia literasi.
Hawe menarik benang merah dari lagu Indonesia Raya, Gedung Indonesia Menggugat, dan tokoh-tokoh bangsa untuk menafsirkan Pekan Literasi Kebangsaan ini. Para tokoh bangsa ini membangun Indonesia tidak satu malam. Untuk menyatukan bentangan gugusan pulau-pulau di nusantara ini, mereka memerlukan faktor-faktor pengikat. Salah satu faktor pengikat itu adalah literasi. Menurut Hawe, literasi yang dimaksud yaitu literasi kebudayaan, membaca buku, dan perkembangan zaman.
Literasi inilah yang menjadi faktor yang mengikat para para tokoh bangsa seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dan kawan-kawan untuk membangun Indonesia merdeka. Ada ciri khas dan kesamaan, mereka sama-sama gemar membaca dan menulis. Bahkan dahsyatnya, mereka kaitkan bacaan dan tulisan dengan tuntutan zaman, memberikan pencerahan kepada masyarakat yang sedang terbelenggu penjajahan. Bercermin dari masa lampau, lantas bagaimana dengan literasi para tokoh bangsa saat ini?
Setiap pengunjung LawangBuku istimewa bagi saya, bertambah kenalan baru dan bisa bertemu terus dengan pelanggan yang setia hadir di lapakan buku. Segmentasi acara ini lebih kepada jejaring komunitas. Acara ini menjadi semacam simpul kekayaan komunitas di Bandung. Yang tampak tak biasa karena massa yang hadir tumplek di sini. Acara nonton film penuh, begitu pun dengan diskusi-diskusi. Suguhan kopi gratis yang bergantian tiap hari menambah kehangatan kelindan temu komunitas ini.
Kekuatan gelaran komunitas ini selain karena gotong royong, dan menjadi simpul komunitas, juga yang menjadi utama adalah konsep dan isi acara yang mengangkat topik demokrasi, kebangsaan, dan literasi.
Para pembicara dan para penulis sempat mampir dan jajan buku. Yang saya ingat ada Salman Iskandar (penulis buku Islam), Roso Daras (penulis buku Nasionalisme/Sukarno), Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes (penyair), Gus Jur (penyair, pegiat teater), Tri Joko Her Riadi (jurnalis), dan Jusair (jurnalis).
Akhir kegiatan ditutup dengan monolog Wawan Sofwan membacakan pleidoi Indonesia Menggugat dan orasi Muhidin M. ‘Gus Muh’ Dahlan. Dalam orasinya, Gus Muh mengikatkan pada titimangsa 7 Desember yang bertepatan dengan tanggal penutupan FIM 3.
Di tanggal itulah ‘Tokoh Kita’ yang disebut-sebut Gus Muh sebagai Tokoh Literasi 712, meninggal dunia dalam kesepian. Siapakah Tokoh Kita itu? Ya, dialah Tirto Adisoerjo atau Minke dalam novel tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Tirto memberikan 2 warisan berharga kepada generasi muda saat ini: pertama, pers yang mandiri dan independen, dan kedua, rumah pergerakan modern.
Akhir dari seluruh FIM 3 sebelum bubar jalan yaitu kami seluruhnya diajak berkumpul di ruang panggung acara oleh Bilven dan Furqon. Di sanalah dirembukkan bagaimana kisah selanjutnya FIM ini. Komentar satu persatu melontarkan pertemuan rutin tetap diadakan sebulan sekali, ada yang langsung membuat festival per 3 bulan, dan lain sebagainya. Namun sejak 2016, pertemuan rutin dan festival serupa FIM 3 ini masih belum terwujud hingga kini seiring Gedung Indonesia Menggugat yang semakin sepi dari kegiatan-kegiatan publik. Salambuku!