Reklame Politik di Ruang Kota
Alat peraga kampanye (APK) masih menjadi polusi visual bagi warga kota. Pelanggaran pemasangan reklame politik sering terjadi secara terang-terangan.
Jejen Jaelani
Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban
2 November 2023
BandungBergerak.id – Pemilu masih tahun depan, tetapi kota sudah sesak dengan berbagai alat peraga kampanye (APK)/reklame politik. Videotron, baliho, spanduk, baner, poster, stiker, dan berbagai APK partai politik atau individu yang mencalonkan diri sebagai kepala negara, kepala daerah, DPD, atau anggota legislatif bisa dapat kita temukan di mana saja. Begitu keluar dari rumah, di gang, di jalan, di perempatan jalan, di taman, di jembatan penyeberangan, berbagai APK sudah terpampang jelas.
Pembahasan mengenai masalah alat kampanye politik tentu bukan hal baru. Akan tetapi, hingga saat ini tidak ada upaya signifikan untuk mengatur bagaimana seharusnya APK ditempatkan di dalam konteks ruang kota baik oleh penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemda, atau pemerintah kota atau kabupaten. APK masih menjadi polusi visual bagi warga kota.
Di dalam pelaksanaannya, semua institusi ini cenderung gamang dan saling menunjuk mengenai siapa yang seharusnya mengatur APK di ruang kota. Sebagai akibatnya, pengaturan dan penindakan pelanggaran APK cenderung dilakukan secara sporadis dengan sanksi yang tidak jelas konsekuensinya. Di dalam kondisi demikian, warga kota merupakan pihak yang paling besar menanggung beban dari kehadiran polusi visual ini.
Aturan
Untuk melihat sejauh mana aturan mengenai pemasangan alat peraga, kita dapat melihat beberapa aturan yang memayunginya. Di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 tahun 2023 pasal 36 diatur mulai dari fasilitasi penentuan lokasi pemasangan APK oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), penetapan pemasangan APK setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, pertimbangan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hingga izin dari pemilik untuk tempat jika dipasang di lahan milik perseorangan atau badan swasta.
Adapun pelarangan pemasangan APK diatur di dalam pasal 71 ayat 1 yaitu dilarang dipasang pada tempat umum, yaitu tempat ibadah; rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan; tempat pendidikan, meliputi gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi; gedung milik pemerintah; fasilitas tertentu milik pemerintah; dan fasilitas lainnya yang dapat mengganggu ketertiban umum. Pada ayat 2, disebutkan bahwa tempat umum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 termasuk halaman, pagar, dan/atau tembok.
Sebagai pengelola kota, sudah seharusnya pemerintah kota atau kabupaten mengatur bagaimana seharusnya tata kelola pemasangan APK di daerah mereka. Untuk mengatur pemasangan APK sebenarnya pemerintah sudah memiliki peraturan mengenai tata kelola reklame sebagai payung hukum untuk mengatur bagaimana reklame diatur di dalam ruang kota. Di Kota Bandung, misalnya, Pemerintah Kota Bandung memiliki Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 005 Tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Di dalam peraturan tersebut, terdapat pola penyebaran reklame dibagi berdasarkan kawasan (zoning) terdiri dari Kawasan Tematik, Kawasan Khusus, Kawasan Selektif dan Kawasan Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dijelaskan, misalnya, bahwa Kawasan Tematik yaitu kawasan yang diperbolehkan diselenggarakan kegiatan dan titik reklame terpilih dengan ciri dan pengaturan tertentu yang di antaranya meliputi Jalan Dr. Djunjunan, Jalan L. L. R. E Martadinata, Jalan Ir. H. Djuanda, Jalan Braga, Jalan Cihampelas, Jalan Cibaduyut, Jalan Sudirman, di bawah Flyover Pasopati, di bawah Flyover Kiaracondong, dan Flyover Jalan Jakarta. Kawasan Khusus adalah kawasan yang tidak diperbolehkan diselenggarakan kegiatan reklame di antaranya Jalan Asia Afrika, Jalan Tamansari, Jalan Siliwangi, Jalan R. A. A. Wiranatakusuma, Jalan Pajajaran, Jalan Wastukencana, Jalan Aceh, Jalan Pahlawan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Supratman dan Jalan Diponegoro.
Hal yang paling esensial dari penyelenggaraan reklame ini adalah soal perizinan. Pada pasal 23 ayat 1 disebutkan bahwa setiap penyelenggaraan reklame wajib terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Wali Kota/Pejabat yang ditunjuk. Pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap penyelenggara reklame tidak diperkenankan untuk memindahtangankan izin penyelenggaraan reklame tanpa izin tertulis dari Wali Kota/Pejabat yang ditunjuk.
Sanksi penertiban bagi mereka yang tidak memiliki izin atau melanggar peraturan jelas diatur dalam perda tersebut. Pada pasal 39 dijelaskan bahwa (1) Reklame yang tidak berizin akan ditertibkan/dibongkar tanpa pemberitahuan/peringatan/teguran terlebih dahulu kepada penyelenggara reklame. (2) Setiap penertiban/pembongkaran reklame harus dibuatkan dalam Berita Acara.
Baca Juga: Bandung Lautan Reklame, Pajaknya Nyangkut ke Mana?
Jangan-jangan di Bandung Banyak Reklame tak Berizin, Mudah Roboh, dan tidak Membayar Pajak?
Selain Semrawut, Reklame-reklame di Bandung Menjadi Contoh Buruk Penggunaan Bahasa Indonesia
Posisi Alat Peraga Kampanye di dalam Ruang Kota
Di dalam banyak kasus, pelanggaran pemasangan APK/reklame politik sering terjadi secara terang-terangan. Sebagai contoh, kita sering melihat bagaimana ugal-ugalannya pemasangan APK berupa bendera parpol di sepanjang Jalan Layang Pasupati (Mochtar Kusumaatmaja) yang seharusnya hanya boleh dipasangi reklame tematik. Demikian juga pemasangan bendera parpol di sepanjang Jalan Layang Kiaracondong yang seharusnya hanya boleh dipasangi reklame bertemakan jenis moda transportasi dan juga rambu-rambu lalu lintas. Contoh lain bagaimana geramnya warga Kota Bandung akibat dipenuhinya Jalan Asia Afrika Bandung oleh bendera PDIP pada bulan Juli 2023. Padahal kawasan ini merupakan Kawasan Khusus yang tidak diperbolehkan diselenggarakan kegiatan reklame. Pemasangan APK di sekitar lingkungan pendidikan juga kerap terjadi. Pelanggaran serupa terjadi hampir di seluruh pelosok kota.
Tampaknya ada kegamangan soal posisi APK di dalam aturan mengenai ruang kota. Di satu sisi, KPU mengharapkan pemerintah daerah mengambil peran karena Peraturan KPU menyebutkan bahwa pemasangan APK ditetapkan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Di sisi lain, Pemerintah daerah merujuk bahwa peraturan yang menaungi tata cara pemasangan APK adalah UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU tentang Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Oleh sebab itu, sering terjadi bahwa masalah APK hanya dilihat terkait dengan peraturan pemilu.
Sebagai pengelola dan pemilik kewenangan di wilayahnya, sudah sepatutnya pemerintah kota atau kabupaten mengatur penyelenggaraan pemasangan alat peraga pemilu melalui peraturan daerah yang dimilikinya. Di Kota Bandung, misalnya, pengaturan pemasangan APK di ruang kota harus tunduk pada Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 005 Tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame.
Di dalam Rapat Koordinasi Pemasangan Alat Peraga Kampanye/Reklame Insidentil 13 Juli 2023, misalnya, Plh. Walikota Bandung cenderung menyerahkan persoalan pemasangan APK pada partai politik. “Oleh karena itu, kegiatan kali ini ditujukan agar para parpol dapat sama-sama menyepakati titik mana saja yang dapat dipasang alat peraga kampanye sesuai dengan regulasi yang ada.”, “Ema menyatakan, banyak pun harus diatur di setiap partai. Tidak boleh ada yang mendominasi atau terlalu banyak di satu lokasi, karena dampaknya akan sangat terasa pada sektor pariwisata.” Pernyataan ini menunjukkan lemahnya posisi penegakan aturan pemerintah. Pengaturan pemasangan APK yang seharusnya diarahkan dan diatur oleh pemerintah, justru diberikan kewenangan pada masing-masing partai.
Peraturan seharusnya mendorong dan memaksa para kontestan pemilu untuk tunduk pada detail-detail yang diatur di dalam peraturan daerah. Setiap partai politik atau individu yang akan memasang APK wajib mengajukan perizinan sebagaimana pemasangan reklame pada umumnya. Pemerintah kota harus dapat menegakkan peraturan mengenai pemasangan APK/reklame demi dapat mengatur bagaimana wajah kota ini memenuhi etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota sebagaimana diamanatkan Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Perizinan menjadi hal yang sentral di dalam tata kelola pemasangan APK/reklame ini. Pertama, melalui perizinan pemerintah dapat menegakkan tertib administrasi dan memiliki data yang pasti mengenai siapa yang memasang, lokasi pemasangan, ketinggian, ukuran media, material, dan tentu konten apa yang disampaikan di dalam APK tersebut. Kedua, pemerintah dapat mengatur lokasi, cara, bentuk, dan ukuran APK yang dipasang di ruang kota. Ketiga, pemerintah dapat menarik retribusi/pajak yang dapat menambah pemasukan bagi pendapatan asli daerah. Dengan demikian, pemerintah dapat mengendalikan/mengurangi polusi visual, memperjelas posisi APK politik di dalam peraturan kota sebagai bagian dari reklame, dan menarik retribusi/pajak APK bagi PAD kota.
Pengaturan ini penting bagi warga kota untuk menunjukkan bahwa APK, lebih jauh lagi politik, tunduk pada peraturan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa para kontestan politik tunduk dan taat peraturan jauh sebelum kelak mereka berkuasa. APK politik bukan sesuatu yang berkibar melangkahi peraturan kota.
* Kawan-kawan yang baik dapat menyimak tulisan-tulisan lain Jejen Jaelani, atau artikel-artikel lain tentang politik.