• Cerita
  • Selain Semrawut, Reklame-reklame di Bandung Menjadi Contoh Buruk Penggunaan Bahasa Indonesia

Selain Semrawut, Reklame-reklame di Bandung Menjadi Contoh Buruk Penggunaan Bahasa Indonesia

Banyak kesalahan berbahasa Indonesia ditemukan di reklame-reklame di Bandung. Tidak jarang pemasangnya adalah pemerintah, aparatur negara, atau partai politik.

Himbauan Pemerintah Kota Bandung dan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bandung tentang penyebaran Covid-19 varian baru Omicron XBB yang terpampang di depan STIE Ekuitas, Jumat (6/1/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul7 Januari 2023


BandungBergerak.idDi jalan-jalan Kota Bandung kita sering menemui papan reklame, spanduk, dan baliho berisi imbauan dari pemerintah dan aparatur negara atau kampanye partai politik. Namun tidak sedikit pesan yang terpampang di ruang-ruang publik itu tidak memperhatikan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Menjadi contoh buruk bagi warga.

Indonesia memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang kini semakin mudah diakses berkat teknologi internet. Penggunaan kata yang baku merujuk padanya. Ketidakpatuhan terhadap KBBI mencerminkan buruknya budaya berbahasa.

Apa jadinya jika pemerintah dan aparatur negara sendiri yang melanggar KBBI? Atau partai-partai politik yang gemar menebar pesona?

Lihat saja imbauan Pemerintah Kota Bandung dan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bandung tentang penyebaran Covid-19 varian baru Omicron XBB yang terpampang di depan kampus STIE Ekuitas, Jalan PHH Mustofa, Kota Bandung, Jumat (6/1/2023). “Cegah Penyebaran Covid Varian Baru Omicron XBB. Dimana pun anda berada jangan lupa pake masker dan ingat protokol kesehatan,” demikian bunyinya.

Dari imbauan yang  memajang foto besar Wali Kota Bandung Yana Mulyana dan Ketua PMI Kota Bandung Ade Koesjanto tersebut, terdapat dua penulisan kata yang salah. Pertama kata dimana yang menunjukkan tempat mestinya ditulis di mana. Kata di dan mana dipisahkan, menurut KBBI, karena di di sini merupakan kata depan, bukan imbuhan. Ada juga kata pake yang sebenarnya tidak baku. KBBI mencatat bahwa kata pake yang baku adalah pakai.

Baliho lainnya yang memiliki penulisan kata yang keliru ada di dekat terminal Cicaheum. Baliho ini berisi imbauan dari kepolisian terkait kehati-hatian berkendara selama libur Natal dan akhir tahun. “Selamat Berlibur, Hati-Hati dijalan!!” demikian tulisannya.

Penulisan kata dijalan tentu saja keliru. Yang tepat adalah di jalan. Kata di dan jalan dipisahkan dengan spasi karena di merupakan kata depan, bukan imbuhan.

Tepat di depan pintu utara Stasiun Bandung, di Jalan Kebon Kawung, Kota Bandung, juga terpampang reklame dengan penulisan pesan yang keliru. Kali ini pemasangnya adalah Partai Nasdem. Bunyinya: "SATU DEKADE DIJALAN RESTORASI". Tentu saja penulisan yang benar adalah DI JALAN

Reklame Partai Nasdem memuat penggunaan bahasa Indonesia yang keliru, terpampang tepat di depan pintu utara Stasiun Bandung, Jalan Kebon Kawung, Kota Bandung, Rabu (4/1/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Reklame Partai Nasdem memuat penggunaan bahasa Indonesia yang keliru, terpampang tepat di depan pintu utara Stasiun Bandung, Jalan Kebon Kawung, Kota Bandung, Rabu (4/1/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kaidah Bahasa

Penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik yang keliru dikhawatirkan berimbas ke publik. Ia menjadi contoh buruk yang lalu membuat kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia semakin banyak dipraktikkan. Ironisnya, imbauan-imbuan dengan bahasa Indonesia yang serampangan itu dibuat oleh pemerintah dan aparaturnya yang diasumsikan sudah mengerti aturan kebahasaan.

Yostiani Noor Asmi Harini, dosen Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, menyebut bertebarannya penggunaan bahasa yang serampangan di ruang publik merupakan cerminan budaya.

“Idealnya di setiap lembaga-lembaga seperti itu, apalagi pemerintah, ada ahli bahasa agar kesalahan-kesalahan itu tidak terjadi,” kata Yostiani ketika dihubungi BandungBergerak.id, Jumat (6/1/2023).

Kalaupun reklame atau spanduk mau memakai bahasa sehari-hari atau bahasa lisan, penulisannya tetap mesti memperhatikan kaidah bahasa. Jika kata yang dipakai tidak baku, misalnya, penulisan di spanduknya sebaiknya dicetak miring.

Tidak hanya di reklame atau papan imbauan, Yustini juga menemukan kesalahan bahasa di media sosial, termasuk di acara-acara podcast-podcast terkenal yang mimiliki banyak penggemar. Masalah ini serius sehingga perlu segera dibenahi. 

Baca Juga: UMK 2023 Mulai Berlaku, Buruh sebagai Penekan Inflasi
Senja Kala Koran di Tepian Cikapundung
Tentang Lingkungan dan Setiap Suap Makanan di Sendok Makan

Baliho di dekat Terminal Cicaheum, Bandung, tentang Selamat Berlibur, Januari 2023. Penulisan bahasa Indonesia yang keliru kerap muncul dalam baliho atau reklame. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Baliho di dekat Terminal Cicaheum, Bandung, tentang Selamat Berlibur, Januari 2023. Penulisan bahasa Indonesia yang keliru kerap muncul dalam baliho atau reklame. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Teguran

Yostiani Noor Asmi Harini mengaitkan maraknya praktik keliru penggunaan bahasa di ruang publik dengan lemahnya budaya membaca. Mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia dapat mengambil peran dengan menyosialisasikan penggunaannya secara efektif melalui media sosial. Kerja seperti ini tentu membutuhkan waktu. 

Tentang kekeliruan-kekeliruan penggunaan bahasa di reklame pemerintah, Yostiani berpendapat, sudah ada Badan Bahasa di Kemendikbud yang mengatur dan melakukan upaya-upaya secara khusus. Lembaga ini dapat secara aktif memberi teguran.

“Kalau pemerintah yang menegur itu kan ada otoritas dan bisa dituruti. Ada sisi kelemahan juga karena hanya bersifat teguran saja. Tidak ada sanksi atau denda gimana gitu ketika salah dalam menuliskan, misalnya,” ucapnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//