UMK 2023 Mulai Berlaku, Buruh sebagai Penekan Inflasi
Bandung sebagai kota urban yang didominasi kaum buruh, entah buruh formal maupun nonformal. Gerakan buruh untuk menuntut penentuan upah (UMK).
Penulis Iman Herdiana6 Januari 2023
BandungBergerak.id - Upah buruh setiap tahunnya disokong gerakan buruh di jalan, yakni melalui berbagai aksi unjuk rasa. Tanpa aksi jalanan ini, tidak ada jaminan kenaikan upah (UMK) sesuai dengan harapan buruh. Kenaikan upah buruh penting bukan untuk buruh sendiri, melainkan juga secara tidak langsung ikut menekan inflasi yang diprediksi datang bersama resesi global.
UMK tahun ini telah ditetapkan, termasuk untuk Kota Bandung yang mengalami kenaikan naik sekitar 7,2 persen menjadi 4.048.462 rupiah dan mulai diberlakukan per 1 Januari 2023. Keputusan menaikan UMK Kota Bandung ini pun tentunya tidak lahir dari ruang hampa. Sebelumnya para buruh telah melakukan demonstrasi agar UMK dinaikkan.
Bandung sendiri sebagai kota urban yang didominasi buruh, entah buruh formal maupun nonformal. Untuk buruh formal, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mencatat jumlah buruh di Kota Bandung dalam kurun lima tahun terakhir tidak pernah kurang dari 600 ribu orang. Jumlah terbanyak ada di tahun 2015, mencapai 725.857 orang.
Pada 2020, tahun berkabut karena dimulainya pandemi global, jumlah buruh Kota Bandung tercatat di angka 622.501 orang, terdiri dari 400.497 orang buruh laki-laki dan 222.004 orang buruh perempuan. Jumlah buruh ini setara dengan seperempat (25,47 persen) dari total penduduk Kota Bandung yang berjumlah 2.444.160 orang.
Data tersebut memberitahu bahwa telah terjadi penurunan jumlah buruh di Kota Bandung dalam jumlah yang signifikan di tahun pagebluk Covid-19. Awalnya jumlah buruh Kota Bandung 714.661 pada 2019, berkurang menjadi 622.501 orang pada 2020. Pengurangannya sebanyak 92.160 orang buruh.
Baca Juga: Menilik Pembangunan Flyover Ciroyom dari Teropong HAM
Tentang Lingkungan dan Setiap Suap Makanan di Sendok Makan
Bahaya di Balik Kebijakan Membakar Sampah Kota Bandung
Kenaikan Upah dan Inflasi
Dosen sekaligus pengamat ekonomi Universitas Pasundan (Unpas) Acuviarta Kartabi menuturkan tiap tahunnya penentuan upah selalu mengalami tarik ulur antara kepentingan buruh dan pengusaha.
Tahun ini pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) maksimal 10 persen. Keputusan ini dinilai jadi jalan tengah yang cukup bijaksana.
Acuviarta mengatakan, tuntutan serikat buruh yang meminta kenaikan UMP 13 persen dianggap terlalu tinggi. Tuntutan tersebut mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015 dengan perkiraan inflasi 8 persen dan pertumbuhan ekonomi 5 persen.
Sedangkan pengusaha menghendaki kenaikan UMP 2023 setara dengan kenaikan UMP 2022, yaitu di kisaran 1-2 persen sesuai PP Nomor 36 Tahun 2021. Jika kenaikan UMP 1-2 persen, ia menganggap tidak adil bagi buruh.
“Kenaikan ini harus sejalan dengan komitmen kita untuk menekan inflasi supaya betul-betul punya efek daya beli terhadap barang dan jasa,” katanya, dikutip dari Podcast Unpas Talk, Rabu (4/1/2023).
Ia menambahkan, pascakenaikan UMP, pemerintah mesti memperhatikan sektor yang terpuruk seperti industri padat karya. Dalam kondisi perekonomian 2023 yang diprediksi sulit seiring resesi global, penetapan UMP berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 akan memberatkan pengusaha, terutama industri padat karya.
Untuk perusahaan yang bergerak di sektor yang sedang booming, seperti otomotif, farmasi, agroindustri, consumer goods, mesin, logam, dan kimia, ia memperkirakan masih bisa bertahan mengingat pertumbuhan dan kinerja yang positif.
Salah satu solusi untuk menekan beban pengusaha menurutnya bisa dengan melakukan subsidi. Pemerintah dapat memberikan subsidi sekian persen agar upah tidak sepenuhnya ditanggung perusahaan.
“Ke depan, harus ada komitmen bersama, jadi tidak berhenti di proses penentuan upah, tapi bagaimana uang yang diterima buruh atau tenaga kerja bisa memiliki nilai untuk melakukan konsumsi,” tandasnya.
Karena dengan demikian, kenaikan upah ini akan berkorelasi dengan penekanan inflasi dengan meningkatnya daya beli.
Posisi Kaum Buruh selalu Dirugikan
Penentuan upah yang selalu diwarnai demonstrasi buruh setiap tahunnya tidak lepas dari sejarah kaum buruh sendiri yang berada dalam posisi lemah. Misalnya, penentuan upah tanpa demonstrasi akan sulit memenuhi harapan buruh.
Posisi buruh semakin dirugikan dengan adanya stratifikasi pada status buruh. Menurut Adi Aang Koswara dan M. Taufiq Rahman dalam jurnal Potret Stratifikasi Sosial Kaum Buruh di Bandung, klasifikasi status buruh terjadi sejak krisis ekonomi yang memicu reformasi 1998.
Krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis politik membikin persoalan ketenagakerjaan yang ada di Indonesia berkembang kian kompleks dan rumit, mulai dari masalah pengangguran hingga masalah kepastian hukum.
Di Asia, Indonesia adalah negara yang terakhir mengalami krisis namun menjadi yang paling lama lepas dari krisis. Salah satu dampak krisis berkepanjangan adalah keluarnya kebijakan pemerintah tentang pekerja karyawan kontrak dan pekerja harian lepas.
“Secara sosiologis kedudukan pekerja adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup selain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan, oleh karena itu diperlukan adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pekerja,” papar Adi Aang Koswara dan M. Taufiq Rahman.
Kedua penulis menyatakan, pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi salah satunya melalui industrialisasi, membawa akibat meletakkan posisi pemilik modal sebagai pelopor dan basis pendukung bagi keberhasilan pembangunan nasional.
Sebaliknya, pekerja ditempatkan pada posisi penarik investasi sehingga nilai pekerja Indonesia lebih rendah dari pada nilai pekerja luar negeri. Adi Aang Koswara dan M. Taufiq Rahman menyatakan, kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan seolah-olah kurang memperhatikan nasib pekerja. Hal ini ditunjang dengan adanya doktrin stabilitas yang semakin memperlemah posisi tawar pekerja.
Padahal menurut kedua penulis, penekanan pembangunan ketenagakerjaan pada pekerja mengingat bahwa pekerja adalah pelaku pembangunan, berhasil tidaknya pembangunan teletak pada kemampuan, dan kualitas pekerja.
“Apabila kemampuan pekerja (tenaga kerja) tinggi maka produktifitas akan tinggi pula, yang dapat mengakibatkan kesejahteraan meningkat. Tenaga kerja menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan produktifitas nasional dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.