Bahaya di Balik Kebijakan Membakar Sampah Kota Bandung
Pengolahan sampah dengan insinerator diklaim ramah lingkungan. Namun membakar sampah bukan solusi untuk mengatasi sampah Kota Bandung.
Penulis Iman Herdiana5 Januari 2023
BandungBergerak.id - Pemerintah Kota (Pemkot ) Bandung baru-baru ini memperkenalkan Wisanggeni Waste Insinerator di TPS Ciwastra. Mesin pembakar sampah ini diklaim ramah lingkungan. Namun sudah banyak riset yang menunjukkan bahwa teknologi insinerator hanyalah solusi palsu yang justru menghasilkan masalah baru, yaitu pencemaran berupa racun dioksin dan zat berbahaya lainnya.
Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan pengolahan sampah dengan teknologi insinerator ini merupakan ikhtiar dalam menyelesaikan sampah. Sehingga semakin sedikit sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Wisanggeni Waste Insinerator diklaim sebagai inovasi yang dikembangkan masyarakat bersama BLUD Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung untuk menyelesaikan permasalahan sampah Kota Bandung. Kapasitas mesin ini 20 ton per hari dengan 8 jam kerja.
“’Ini ikhtiar kita menyelesaikan sampah disumber TPS. Sehingga semakin sedikit sampah yang dibuang ke TPA, baik TPA Sarimukti maupun TPA Legoknangka," ujar Yana seusai mesin pembakar sampah tersebut, dalam siaran pers Rabu, 28 Desember 2022.
Penentangan terhadap Insinerator
Sudah lama aktivis lingkungan menentang praktik pembakaran sampah dengan berbagai jenis insinerator, secanggih apa pun insinerator itu. Para ahli memperingatkan membakar sampah plastik akan menghasilkan debu-debu beracun yang merusak kesehatan dan lingkungan dalam jangka panjang.
Para pembuat insinerator sering berdalih bahwa mesin pembakar sampahnya diperkuat dengan teknologi canggih. Namun faktanya secanggih apa pun teknologinya, zat beracun dari hasil pembakaran sampah plastik tetap akan lepas ke alam dan menimbulkan pencemaran.
Pperasional insinerator yang ideal pada kenyataannya memang sulit dipertahankan (David Sutasurya, Insenerator dan Dampak yang Ditimbulkan, diakses Kamis, 5 Januari 2022).
Aktivis lingkungan dari organisasi nonpemerintah YPBB, David Sutasurya memberi contoh insinerator-insinerator di luar negeri yang akhirnya gagal. Insinerator modern di Skotlandia melanggar batas emisi 172 kali pada 2010; tahun 2009 dan 2010 insinerator Holcim di Argentina menghasilkan dioksin 52 persen lebih tinggi pada tahun 2009 dan tahun 2010 malah 203 persen lebih besar;
Insinerator di Massachusetts Amerika Serikat didenda karena emisi dioksin yang tinggi di tahun 2008; di Kanada fasilitas Waste To Energy (WTE) dengan teknologi plasma harus ditutup karena emisi Nox dan metan yang tinggi; Perancis menutup insinerator-insinerator lokal karena telah menghasilkan dioksin 13.000 kali lipat lebih tinggi dan terutama setelah kasus kanker meningkat siginfikan.
David menyatakan, mendapatkan data-data tersebut tidaklah mudah karena operasi insinerator sering kali sangat tertutup karena alasan politik bisnis dan proses pengawasan maupun pengukuran emisi yang sangat mahal. .
Menurut David, emisi dioksin ke udara hanya sebagian masalah. Masalah lain adalah dioksin yang ada di abu sisa pembakaran. Dioksin dan furan, bersama logam berat bisa dicegah untuk lepas ke udara dengan fasilitas penangkap polutan (yang sangat mahal), tetapi pada akhirnya abu yang tertangkap (fly ash) dan telah mengandung dioksin tetap menjadi masalah berbahaya.
Dioksin bersifat persisten (baru hilang setelah 6 generasi), kata David. Walaupun dioksin dikeluarkan sedikit-sedikit, tapi ia akan terus terakumulasi di alam dalam jangka waktu panjang sampai pada konsentrasi yang berbahaya di alam. Dampaknya baru akan terasa pada anak cucu kita.
“Kita saat ini perlu segera menghentikan segala macam proses yang berpotensi menghasilkan dioksin,” katanya.
Sejauh ini satu-satunya pengelolaan sampah yang paling aman adalah dengan menjalankan konsep 3R secara ketat dan massif. Kota Bandung sendiri memiliki program Kang Pisman (kurangi, pisahkan, manfaatkan) yang memiliki prinsip 3R. Sehingga pembakaran sampah dengan insinerator tidak diperlukan jika program Kang Pisman berjalan secara besar-besaran.
Baca Juga: Peringatan ‘Bulan Nol Sampah Internasional’ Melawan Jargon Salah Kaprah 'Waste to Energy'
5 Jenis Produksi Sampah Terbesar di Kota Bandung 2020
Jutaan Lembar Sampah Plastik Cemari Laut Indonesia
Kepalsuan Waste to Energy
Para aktivis lingkungan dunia tegas menolak pembakaran sampah, pemprosesan daur ulang plastik dengan kimia, dan solusi-solusi dengan embel-embel limbah menjadi energi (waste to energy). Solusi sesungguhnya dari pengelolaan sampah plastik adalah dengan melakukan pengurangan penggunaan plastik dengan prinsip nol sampah (zero waste).
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa solusi palsu telah ditawarkan untuk menangkal krisis plastik, mulai dari membakar limbah hingga daur ulang bahan kimia, yang sama sekali tidak membahas siklus hidup plastik sepenuhnya (GAIA, Langkah Bersejarah dalam Perang Melawan Kolonialisme Limbah, diakses Kamis, 5 Januari 2022).
Xuan Quach, ketua Vietnam Zero Waste Alliance, menyoroti bahwa limbah menghasilkan energi dan daur ulang bahan kimia tidaklah berkelanjutan. Teknologi tersebut bukan solusi ramah lingkungan dan tidak memiliki tempat di dunia yang kini sedang berjuang melawan perubahan iklim.
Xavier Sun dari Taiwan Zero Waste Alliance, menyatakan bahwa strategi waste to energy hanya “menyebabkan polusi beracun lebih lanjut (seperti abu dasar, abu terbang, dan gas rumah kaca (GRK) yang merusak iklim dan kesehatan manusia.”
Perlu diketahui bahwa plastik diproduksi dari perut bumi. Pembakaran plastik atau pemrosesan plastik dengan bahan kimia akan menghasilkan karbon yang merusak lapisan ozon. Rusaknya lapisan ozon akan semakin memperparah pemanasan global dan perubahan iklim secara ekstrem. Eksistensi manusia dan lingkungan hidup akhirnya terancam.