• Opini
  • Kemacetan, Kegagalan Sistem, dan Dosa Individu

Kemacetan, Kegagalan Sistem, dan Dosa Individu

Masalah kemacetan bersumber kegagalan pemerintah mengelola transportasi publik. Nahasnya, warga kota selalu ditunjuk sebagai pangkal persoalan.

Jejen Jaelani

Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bergabung dalam West Java Festival di ujung kepemimpinannya, Minggu 3 September 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

22 September 2023


BandungBergerak - Beberapa pekan belakangan, Kota Bandung diramaikan dengan berbagai penyelenggaraan acara di akhir pekan. Bandung menjadi kota yang meriah dengan berbagai acara hiburan. Selain acara hari bebas kendaraan (car free day) yang mulai dilaksanakan rutin setiap hari Minggu pagi di Jalan Ir. H. Juanda, acara-acara besar yang lain digelar. Sebagian menggunakan badan jalan sebagai lokasinya.

Beberapa acara diselenggarakan di Jalan Diponegoro dan Jalan Asia-Afrika dengan menutup akses jalan tersebut. Ada Lomba Peti Sabun pada 26 dan 27 Agustus 2023 dan West Java Festival 2023 pada 2-3 September 2023 di Jalan Diponegoro dan Kirab Pancasila pada 9 September 2023 di Jalan Asia-Afrika. Acara-acara ini menarik antusiasme warga untuk berbondong-bondong hadir dan merasakan kemeriahannya.

Di samping kemeriahan, ternyata acara-acara yang dilakukan dengan menutup Jalan Diponegoro ini menyebabkan masalah. Yang paling dapat dirasakan dampaknya tentu saja adalah kemacetan lalu lintas di sekitar daerah tersebut. Penutupan Jalan Diponegoro, misalnya, secara langsung menyebabkan kemacetan parah di Jalan Surapati, Jalan Layang Mochtar Kusumaatmaja (Jalan Layang Pasupati), Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Dipatiukur, Jalan Titiran dan sekitarnya, Jalan Pahlawan, Jalan Supratman, Jalan Sulanjana, Jalan Supratman, Jalan LREE Martadinata, Jalan Trunojoyo, serta Jalan Sultan Agung dan sekitarnya. Demikian juga penutupan Jalan Asia-Afrika menyebabkan kemacetan di jalan-jalan sekitarnya, mulai dari Jalan Tamblong, Jalan Naripan, Jalan Braga, Jalan Lengkong, hingga Jalan Dewi Sartika. Tentu kemacetan di jalan-jalan utama ini berdampak pada jalan-jalan kecil di sekitarnya.

Di samping kepentingan warga untuk mendapatkan hiburan melalui acara atau festival, pemerintah dan penyelenggara tidak boleh melupakan berbagai kepentingan lain warga. Sebagai contoh, kemacetan parah di Jalan Surapati dapat menghambat lalu lintas ambulans dari arah timur yang membawa pasien darurat kea tau dari Rumah Sakit Hasan Sakidin atau Rumah Sakit Borromeus.

Secara hukum, penutupan jalan tentu diperbolehkan selama memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan mendapatkan izin dari institusi terkait. Akan tetapi, di luar persoalan hukum, ada kepentingan sosial budaya dan kebutuhan dasar warga kota yang seharusnya mendapatkan juga perhatian besar.

Jika ditelisik lebih jauh, kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh adanya acara atau festival yang menutup jalan sesungguhnya merupakan fenomena gunung es dari pengelolaan kota. Terutama terkait persoalan transportasi.

Baca Juga: MEMBEDAH KEMACETAN KOTA BANDUNG #1: Kota Kembang Lautan Kendaraan Pribadi
Data 15 Permasalahan Utama di Kota Bandung 2019, Kemacetan dan Sampah Jadi Yang Paling Berat
Menghitung Kerugian Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan karena Kemacetan di Kota Bandung

Kegagalan Sistem

Di bidang transportasi, kemacetan akibat acara ini menunjukkan kegagalan sistem transportasi publik di Kota Bandung. Tidak hanya ketika ada acara, kegagalan ini menunjukkan bagaimana sistem transportasi di Kota Bandung bekerja di hari-hari yang lain. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penggunaan kendaraan pribadi yang jauh lebih besar dibandingkan kendaraan umum. Tidak adanya sistem transportasi publik yang terintegrasi, terkoneksi, memiliki sistem kontrol yang bagus, menjangkau berbagai pelosok di perkotaan, dan memiliki tarif terjangkau, memaksa warga untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi di dalam melakukan berbagai aktivitasnya.

Di dalam konteks pembangunan, Pemerintah Kota Bandung lebih mempriotaskan pembangunan jalan, jalan layang, atau rencana jalan tol dalam kota di dalam proyeksi pembangunan. Hal ini menunjukkan bagaimana proyeksi pembangunan yang lebih ditujukan bagi penggunaan kendaraan pribadi sebagai moda utama mobilitas warga. Adapun pembaruan sarana transportasi publik cenderung hanya mengganti moda transportasi yang lama dengan jenis kendaraan yang lebih baru saja. Sementara itu, sistemnya tidak berubah. Transportasi publik yang ada dikelola dengan cara tradisional.

Pembangunan sistem transportasi publik yang bersifat massal, terintegrasi, nyaman, dan memiliki waktu keberangkatan yang terukur, masih belum diupayakan secara serius oleh pemerintah. Rencana pembangunan sistem transportasi publik terintegrasi, baik berbasis rel maupun bus, hanya berhenti pada teks-teks perencanaan.

Pembangunan transportasi publik yang bersifat massal dan terintegrasi cenderung hanya menjadi jargon dan komoditas politik menjelang pemilihan kepala daerah. Janji-janji ini hampir selalu digaungkan oleh para calon walikota dari satu pemilihan ke pemilihan berikutnya. Akan tetapi, hingga hari ini janji-janji tersebut tidak pernah diwujudkan.

Di dalam berbagai kesempatan kampanye, misalnya, para calon walikota selalu menjanjikan pembangunan sarana transportasi terintegrasi yang dapat mengakomodasi mobilitas warga. Bahkan tidak jarang mereka menyebutkan bahwa pembangunan transportasi massal terintegrasi bukan hanya perkara teknis, tetapi yang sering menghambat adalah tidak adanya political will. Akan tetapi, kepala daerah silih berganti, political will yang dijanjikan itu tidak pernah diwujudkan. 

Satu dua usaha menunjukkan political will tersebut paling banter hanya berhenti pada pembuatan maket atau purwarupa yang di antaranya pernah dipajang di depan Masjid Agung di Alun-Alun Kota Bandung. Sementara itu, upaya untuk membangun sistem transportasi publik yang terintegrasi dan terkoneksi masih sebatas rencana-rencana yang tidak menemukan jalannya di dalam pembangunan kota.

Kendaraan terjebak kemacetan sepanjang lebih dari dua kilometer menjelang gerbang keluar Tol Pasteur, Kota Bandung,  Kamis  6 Juli 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Kendaraan terjebak kemacetan sepanjang lebih dari dua kilometer menjelang gerbang keluar Tol Pasteur, Kota Bandung, Kamis 6 Juli 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Dosa Individu

Di dalam berbagai liputan yang dilakukan di media massa, wawancara pejabat publik, maupun wacana keseharian di media sosial dan obrolan sehari-hari, kemacetan kerap kali dituduhkan sebagai hal yang diakibatkan oleh angkutan kota (angkot), pasar, pasar tumpah, pedagang kaki lima, becak, bahkan perilaku dan kesadaran warga kota. Masalah kemacetan lalu lintas kerapkali direduksi menjadi dosa individu warga kota.   

Kalimat-kalimat seperti “Angkot menjadi penyebab kemacetan lalu lintas”, “Minimnya kesadaran pengendara menjadi penyebab macet”, “Pasar tumpah menyebabkan kemacetan lalu lintas”, “Becak harus ditindak karena menjadi penyebab macet”, “Pedagang kaki lima harus direlokasi karena menjadi penyebab utama kemacetan”, “Warga cenderung memilih kendaraan pribadi daripada kendaraan umum”, “Warga enggan menggunakan kendaraan umum”, “Anak-anak muda enggan menggunakan transportasi publik”, “Kurangnya kesadaran pada generasi muda untuk memulai kebiasaan dalam menggunakan transportasi umum”, dan seterusnya muncul di dalam berbagai wacana, termasuk di dalam diskusi-diskusi akademis.  

Kalimat-kalimat seperti ini sesungguhnya menutupi realitas yang lebih besar mengenai kegagalan sistem transportasi publik dan pengelolaan kota. Menyalahkan warga kota adalah cara yang paling efektif untuk membelokkan telunjuk dari tanggung jawab pemerintah. Kemacetan selalu ditempatkan sebagai dosa individual warga kota.

Tidak adanya upaya serius untuk membangun sistem transportasi publik yang terintegrasi seiring bergantinya walikota yang satu ke yang lain menjadi masalah yang terus terakumulasi. Kemacetan lalu lintas menjadi realitas sehari-hari yang menghabiskan konsumsi bahan bakar, tenaga, dan pikiran warga. Tidak heran jika Bandung kini mendapat predikat kota termacet di Indonesia. Jumlah kendaraan di Kota Bandung yang mencapai 2,2 juta unit dan hampir mendekati jumlah penduduk 2,4 juta jiwa (Pikiran Rakyat, 7 September 2023), menunjukkan kegagalan pemerintah di dalam membangun dan mengelola transportasi publik yang layak bagi warganya. Nahasnya, di dalam kondisi tersebut warga kota selalu ditunjuk sebagai biang dari munculnya masalah.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan Jejen Jaelani yang lain, atau tulisan-tulisan lain seputar kemacetan Bandung

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//