• Opini
  • Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!

Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!

Apa menariknya wisata alam dalam lingkup kemacetan parah, tata ruang yang berantakan, lingkungan sekitar penuh sampah, banjir, kemarau kering, dan pencemaran?

Anton Solihin

Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor

Ilustrasi. Pembangunan infrastruktur memiliki risiko merusak keseimbangan alam. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak )

17 April 2025


BandungBergerak - Kapankah kita bisa menikmati lagi kawasan Priangan dengan latar belakang perbukitan hijau, jalan berkelok-kelok dan di bawahnya mengalir aliran sungai yang jernih dari celah-celah sempit?

Keinginan semacam itu dengan sadar didasari kenyataan bahwa kekayaan lingkungan alam Priangan yang terjaga kelestariannya merupakan aset penting untuk daya tarik kunjungan wisata. Demikianlah objek-objek wisata di kawasan Priangan pada mulanya, umumnya merupakan perpaduan antara keindahan alam dan usaha perkebunan (sejak pertengahan abad ke-19), dan kehutanan.

Celakanya, saat ini hasrat besar banyak pemerintah daerah, khususnya di Priangan, untuk memacu pertumbuhan kepariwisataan telah menyebabkan salah kaprah. Yang terjadi adalah massifnya perizinan secara membabi buta dalam dua dekade lebih terakhir ini kepada siapa saja yang berminat investasi dalam pembuatan destinasi wisata berbasis panorama alam Priangan.

Penanda perubahan terpenting itu ada pada 'objek-objek wisata buatan' yang dibangun di sekitar objek-objek wisata alam yang telah ada sejak masa kolonial. Kenyataan yang bisa kita lihat dari perkembangan ini yakni perubahan bentang alam, awut-awutannya tata ruang, selera buruk pengelolaan wisata alam, dan pada taraf ekstrem: kelahiran bencana.

Tidaklah mengejutkan jika kemudian dalam beberapa minggu ke belakang di media sosial dan portal berita dipertontonkan kepada masyarakat tindakan tegas Gubernur Jawa Barat KDM (Kang Dedi Mulyadi) menghentikan pembangunan dan membongkar destinasi ‘wisata alam buatan’ Hibisc Fantasy di Puncak dan menyegel bangunan milik Eiger Camp di Kawasan KSO PTPN di kaki Gunung Burangrang.

Objek-objek wisata baru buatan semacam itu bukanlah barang baru. Seperti dilansir Her Suganda, ‘destinasi wisata alam buatan’ pertama kali muncul di Lembang akhir tahun 2000, sejalan dengan banyaknya pembangunan perumahan elite di sana.

Sejak itulah massifnya pembangunan objek wisata buatan semacam itu makin tidak terbendung dan menggurita ke penjuru Priangan. Bukan cuma kawasan Lembang atau Bandung selatan, tetapi juga merangsek ke kawasan Bandung timur, Garut, hingga Puncak. Bahkan, setelah krisis ekonomi 1997, daerah itu bangkit menjadi tujuan wisata yang menjanjikan.

Pembangunan jalan tol memperkuat kesan dan anggapan bahwa Kota Bandung sama dekatnya dengan tempat-tempat rekreasi di Jakarta. Berfungsinya jalan tol Jakarta-Bandung telah melahirkan fenomena di bidang transportasi, di antara jumlah kunjungan wisata (Her Suganda, Jendela Bandung (2005), hal. 309).

Berikutnya dikatakan Suganda (2011: 179) bahwa "eksploitasi daerah Bandung utara rupanya tidak terhenti sampai di situ. Alam yang indah dengan udara yang relatif sejuk hanya merupakan salah satu aspek dalam pengembangan daerah itu menjadi 'tempat wisata buatan' (atau obyek wisata jadi-jadian) yang lebih utuh." Dan proses semacam itu tidak kunjung berhenti hingga dua atau tiga dekade kemudian.

Biang keladi semua ini rupanya adalah makin berkembangnya wisata massal belakangan ini yang berimbas komersialisasi yang sangat berlebihan dalam pengelolaan sektor pariwisata. Realitas keindahan alam disulap, disajikan dalam wujud aneka ragam bangunan artifisial beraneka warna yang mengganggu pemandangan. Kita diberikan citraan bahwa "Kita pikir destinasi semacam itulah tempat piknik!"

Dengan demikian, tidak bisa diharapkan pariwisata semacam ini akan membekali para turis dalam perjalanan pulangnya dengan asupan rohani dan jasmani yang akan menghasilkan inspirasi, saling pengertian lebih baik, mencintai makhluk hidup lainnya, mencintai alam sebagaimana adanya, atau solidaritas.

Sampul dua buku karya Hella S. Haase yang banyak menggambarkan kehidupan perkebunan Priangan era kolonial. (Foto: Anton Solihin)
Sampul dua buku karya Hella S. Haase yang banyak menggambarkan kehidupan perkebunan Priangan era kolonial. (Foto: Anton Solihin)

Wisata Alam Masa Lalu

Kita dapat membuat bandingan dengan cerita wisata alam di masa lalu. Sumber-sumber yang tersedia saat ini sangat berlimpah, mulai dari catatan perjalanan, koran, majalah, hingga buku panduan wisata, meski bisa dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan perkebunan amat jarang menyimpan data sejarah. Kita, misalnya, tidak bisa menemukan dinamika kepariwisataan di masa lampau ini dengan mendatangi PTPN (PT Perkebunan Nusantara) atau PTP, si pengelola perkebunan-perkebunan dimaksud.

Di lingkup Jawa Barat kawasan Priangan, perkebunan dikelola oleh PTPN VIII: Gunung Mas (Puncak), Rancabali Ciwidey, Malabar dan Sukawana, dan PT Perkebunan XIII yang mempunyai total kawasan perkebunan teh mencakup 12.404 hektare. Kebanyakan berada di Kawasan Pangalengan (7), Garut (3), dan Subang (2).

Dahulu, meski para 'preanger planters' banyak memperoleh keuntungan dari hasil perkebunan, rupanya banyak juga kesukaran-kesukaran yang harus diatasi. Kesukaran dalam mengatasi bentang alam Priangan untuk membangun kawasan perkebunan yang mereka miliki dan kisah hidup mereka, dengan lanskap panorama alamnya yang khas, khususnya Bandung, Sukabumi dan Bogor, tergambar dengan menarik lewat cerita Hella S. Haase dalam buku Heren van de Tee (1992) atau Sang Juragan Teh (2015).

Kesulitan-kesulitan terkait letak geografis ini coba diatasi melalui pembangunan jaringan transportasi, meliputi puluhan jaringan rel kereta api, jalan aspal, jalan kecil, serta jalan setapak yang menembus hingga ke sudut-sudut pinggir hutan yang sunyi, dan semuanya saling terhubungkan satu sama lain.

Terbukanya wilayah Priangan sebagai kawasan perkebunan membuat jalan serta jalur lalu lintas menuju kawasan pegunungan dan sekitarnya makin intensif dan lancar sehingga mempermudah usaha pengembangan sumber daya wisata ini menjadi objek dan daya tarik wisata pada masa selanjutnya.

Objek-objek wisata seperti kawah-kawah gunung berapi Tangkuban Parahu (1925) dan Papandayan (1936) menjadi mungkin dicapai hingga puncak (itu sebab dibuat jalan aspal hingga ke sana). Air terjun (curug) dan pemandian air panas, pun dibuat. Berikutnya dan terakhir, dibuat jalan pegunungan ketiga ke Kamojang (1936).

Di masa kolonial ini, 'masyarakat sadar wisata' berusaha menyediakan fasilitas dan kemudahan-kemudahan untuk mencapai danau, air terjun, panorama indah, peninggalan bersejarah, dan bahkan puncak kawah gunung berapi yang berada di kawasan sekitar perkebunan-perkebunan di atas.

Majalah Mooi Bandoeng yang terbit di tahun 1930-an tidak hanya mempromosikan tempat-tempat wisata unggulan sebagaimana dijelaskan di atas. Dipromosikan dan diceritakan juga dengan menarik tempat-tempat mulai dari Bukit Tunggul, Gunung Manglayang, Gunung Burangrang, Gunung Patuha, Gunung Gede, Situ Panjalu, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cisolok, hingga Puncak di Bogor, tempat peristirahatan kedua terpenting setelah bentang pemandangan alam di sekitar Bandung.

Tentang Puncak, Bogor, dikatakan Kinloch bahwa pada pertengahan abad ke-19: "The view of Prianger districts from the summit of the pass is magnificent. We had had a smart shower of rain before reaching the top, but it cleared just in time to give us a splendid prospect of the plains below us." (Rambles in Java and the Straits In 1852 by Bengal Civilian, hal. 52)

Haryoto Kunto (1986:256), yang dijuluki kuncen Bandung, mengatakan begini: “foto-foto kenangan para pelancong ke Bandung, umumnya selalu dilatar belakangi pemandangan alam atau hijau tanaman kopi, kina, dan teh, jarang yang bergambar di depan gedung atau bangunan umum”.

Di masa itu, di zaman kolonial, apa yang disebut perusakan alam terkait wisata, bukan aneksasi tata ruang atau lanskap bentang alam, namun contoh vandalisme seperti ini: "pemburu souvenir merusak kuncup-kuncup belerang yang indah yang berada di area kawah Gunung Papandayan". Masalah yang barangkali di masa sekarang dianggap sepele ini diberitakan oleh harian Indisch Courant (26 Oktober 1938).

Para 'turis' awal atau pesohor seperti Valentijn yang menyusuri wilayah Ujung Berung (1724), Junghuhn yang merenung di tepi Telaga Patengan di abad ke-19, Raja Chulalongkorn (dari Thailand sekarang) yang semedi di Curug Dago (1896), Marquis Tokugawa yang mengunjungi Leles dan Garut (1931), Charlie Chaplin yang berendam di Pemandian Cipanas Garut, Susuhunan Surakarta yang berwisata ke Tangkuban Parahu (1935), atau Kinloch yang menceritakan penyusurannya sepanjang Jalan Raya Pos Kawasan Priangan, membuat kisah-kisah yang merangsang orang untuk mengunjungi tempat-tempat yang mereka ceritakan.

Kita tidak bisa membuat bandingan tempat-tempat yang dikunjungi mereka di masa itu dengan keadaannya sekarang. Realitas yang harus diterima dengan lapang dada.

Sampul dua buku karya Hella S. Haase yang banyak menggambarkan kehidupan perkebunan Priangan era kolonial. (Foto: Anton Solihin)
Sampul dua buku karya Hella S. Haase yang banyak menggambarkan kehidupan perkebunan Priangan era kolonial. (Foto: Anton Solihin)

Baca Juga: Sejarawan Akademis, Amateur Historicus, Pengrajin Sejarah, dan Historicrat
Jejak-jejak Blues di Bandung

Komersialisasi Wisata yang Ugal-ugalan

Masa kejayaan pariwisata alam di Priangan berkisar antara tahun 1925-1942. Seharusnya apa yang telah dikerjakan di masa kolonial ini akan membuat fondasi yang kokoh untuk masa masa berikutnya. Kenyataannya tidak sebagaimana yang tampak.

Setelah kemerdekaan, setidaknya hingga awal 1950-an, lokasi-lokasi wisata alam favorit di wilayah Priangan tidak berubah, tetap itu itu juga: Tangkuban Parahu, Pangalengan, Ciwidey, kawasan Lembang termasuk Maribaya dan panorama lereng Gunung Burangrang, Situ Ciburuy di Padalarang, dan kawasan Garut dan Puncak ('Lukisan Revolusi - Propinsi Djawa Barat', yang diterbitkan Djawatan Penerangan Propinsi Djawa Barat, 1953).

Kunjungan tamu terakhir ke Papandayan adalah rombongan Presiden Soekarno yang menyertai PM India Nehru pada tahun 1950. Dan sejak itu fasilitas ke destinasi tersebut terbengkalai.

Sekarang, mari kita lihat apa yang dipikirkan orang dengan tempat-tempat itu sekarang? Apakah kita masih mengusahakan wisata yang terkait dengan alam?

Sepertinya dalam situasi sekarang, yang perlu dilakukan justru adalah mencegah eksploitasi terhadap alam untuk tujuan komersialisasi wisata yang ugal-ugalan dengan prospek yang sungguh mengkhawatirkan. Kolonial Belanda membangun pariwisata alam Priangan berwawasan lingkungan, lalu kita menyia-nyiakan dan merusaknya.

Djaldjoeni, Bapak Geografi Sejarah Indonesia, sudah mengkhawatirkan dan mengingatkan soal ini sejak lama. Dikatakannya: "tujuan pengajaran ilmu bumi harus berubah dan membuka diri terhadap tuntutan zaman. Jika dulunja sebagai tujuan disebut-sebut; orientasi dunia, cinta tanah air, kesadaran keindahan alam, keyakinan kekajaan sumber hidup, latihan keterampilan, berpikir kausal, dsb., maka kini perlu ditekankan tujuan baru: kesadaran tata ruang dan ekologis (1973: 245). Sudah selayaknya bahwa pendidikan kesadaran tata ruang dan ekologis, terkait wisata alam perlu didasarkan pada rasa tanggungjawab: menghijaukan lereng gunung, mengawetkan tanah, serta melindungi flora fauna”.

Tetapi, siapa yang peduli?

Sampul buku Mengenal Onyek Wisata Agro di Jawa Barat. (Foto: Anton Solihin)
Sampul buku Mengenal Onyek Wisata Agro di Jawa Barat. (Foto: Anton Solihin)

Dalam Lagu

Sebetulnya, uraian Her Suganda di atas bukan cerita baru. Lirik lagu 'Bandungku Sayang Bandungku Malang' yang dinyanyikan Ritta Rubby Hartland dari akhir 1970-an melansir kerusakan massif bentang alam Bandung kala itu, dan yang (rupanya) sampai sekarang (empat dekade berikutnya) masih terus terjadi dalam skala yang lebih mengerikan. Dan lagu itu hari ini masih terasa aktual. Coba simak:

Taman taman satu satu lenyap / Pompa bensin datang mengganti / Sawah sawah satu satu musnah / Pabrik pabrik datang melahap / Pohon pohon satu satu rubuh / Gunung gunung satu satu rubuh / Rumah pongah berpola rindang / Pada bukit bukit sekarat…

Sebetulnya apa menariknya wisata alam dalam lingkup kemacetan parah, tata ruang yang berantakan, lingkungan sekitar penuh sampah, banjir, kemarau kering, dan pencemaran? Itulah yang kita temui ketika kawasan wisata alam buatan yang sifatnya artifisial semakin menggurita, makin padat, penat, jenuh, dan membuat kita muak.

Tentang apa itu yang dimaksud dengan 'wisata alam artifisial', berikut ini beberapa contoh kasusnya:

Apa makna mempelajari mata kuliah Ekowisata di Jurusan Biologi MIPA Universitas Padjadjaran (Unpad) atau Antropologi Wisata di Jurusan Ilmu Antropologi Fisip Unpad manakala persis tetangga sebelah mereka adalah tempat bernama JansPark (bisa kita artikan Taman Nasional Jatinangor ?), yang rupanya destinasi tersebut sungguh-sungguh sama sekali bertolak belakang dengan namanya.

Berperahu sembari berbelanja di suatu 'destinasi danau buatan' di Lembang, tentu tidak sebanding dengan pengalaman yang sama berbelanja di Sungai Barito di Banjarmasin atau di Bangkok atau di Venesia, misalnya.

Apa menariknya berkunjung ke tempat wisata seperti Kampung Gajah (dahulu) yang rupanya betul-betul tidak ada gajahnya?

Coba kita renungkan, apa hubungannya Konferensi Asia Afrika (KAA) (1955) dan Museum KAA yang riwayatnya mendunia, dengan tempat wisata semacam Grand Asia Africa di kawasan Lembang?               Sama sekali tidak nyambung!

Lalu bandingkan dengan catatan berikut ini: Dalam 'Jaarbeurs' (Pasar Malam Tahunan Kota Bandung) ke-14 tahun 1934, dibuat stand khusus untuk promosi kawah-kawah Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Papandayan dengan bantuan Museum van Dienst van den Mijnbouw (Museum Geologi) yang memeragakan objek dan bagaimana caranya mencapai kawasan tersebut. Wisata kawah gunung berapi dan promosi oleh Museum Geologi, tentu simbiosis yang menarik!

Dan catatan semacam ini bisa terus ditambahkan dengan banyak contoh yang lain.

Sekali lagi, dalam rentang yang panjang, (ambil contoh, katakanlah) dari lagu-lagu populer, kita tidak mungkin menemukan inspirasi dari 'destinasi wisata buatan'. Sebagai tempat bercermin, justru dari lagu-lagu itu kita ‘menemukan’ sebenar-benarnya keindahan alam Priangan.

Secara nostalgic, romantis, keindahan alam Priangan diabadikan dalam beragam genre: Bandoeng (Miss Riboet), Saputangan dari Bandung Selatan (Orkes Sjaiful Bahri, Jaya Suprana), Bandung Selatan di Waktu Malam (Upit Sarimanah, Brigdjend R. Pirngadie), Bandung Selatan (Ikatan Wanita Keluarga Padjak & OK Irama Eka, Mang Koko, D'Strangers, Dara Puspita, Aida Mustafa), Tangkuban Parahu (Zaenal Combo), Tamasja ke Puntjak (Orkes Bukit Seguntang), Talaga Patengan (Doel Soembang), Maribaya Neundeuk Tapak (Calung Darso), dan Maribaya (Deddy Dores & the Road). Juga yang eksperimental seperti komposisi Harry Roesli dari album '83 yang berdurasi 30 menit: Tengah Malam di Puncak Bukit yang Sepi di Bandung Utara yang Dingin.

Juga senandung folk yang sudah menjadi landmark untuk keindahan alam Priangan: Melati dari Jayagiri, Sejuta Kabut, 1000 Mil Lebih Sedepa (Iwan Abdurrahman), dan Rimba Gelap (Ully Sigar Rosadi). Lagu-lagu semacam itu tidak mungkin lagi diciptakan pada bentang alam Priangan seperti saat ini.

Terakhir, sebagai renungan, ada baiknya kita simak ucapan W.S. Rendra (1972: 324): “Mereka, (orang-orang) jang tak mampu menghargai filsafat, bunga, gunung, angin, sungai, kulit halus, kesenian dan ketjantikan - sebab semuanya itu bagi mereka hanja berarti dalam hubungannja dengan organisasi atau perdagangan.”

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Wisata atau tentang Lingkungan

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//