• Opini
  • Sejarawan Akademis, Amateur Historicus, Pengrajin Sejarah, dan Historicrat

Sejarawan Akademis, Amateur Historicus, Pengrajin Sejarah, dan Historicrat

Sejarawan amatir (Amateur Historicus) sebagai antitesa penggambaran sejarawan akademis berkaitan dengan karya mereka.

Anton Solihin

Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor

Ilustrasi buku dan literasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

7 Februari 2025


BandungBergerak.id – Sejarawan cenderung dipandang sebelah mata. Apa sebabnya? Sederhana saja, sebab sebetulnya menulis sejarah awam pun bisa. Syarat utamanya dikatakan Prof. Nina Herlina (sejarawan dari Universitas Padjadjaran), “Menulis sejarah secara amatir itu mudah kok, asal dilakukan dengan jujur, tidak direkayasa  dan tanpa kepentingan,” selanjutnya dikatakan, “Jika masyarakat tidak tahu sejarah bangsanya, mereka akan dengan mudah memutarbalikkan sejarah demi kepentingan dirinya, serta merusak negara dan bangsanya.” (Harian Kompas, 28 Februari 2007).

Berkait erat dengan pernyataan di atas, mencermati perilaku orang-orang yang mengaku dirinya “sejarawan akademis” akhir-akhir ini akan membuat kita prihatin tak berujung. Kasus plagiasi tulisan Peter Carey oleh tim sejarawan UGM belum lama ini adalah contoh terbaik fenomena dimaksud. Belum selesai kasus tersebut, terkini muncul kasus polemik “Naskah Akademik Hari Lahir Persib” yang erat dihubungkan dengan para “sejarawan akademis” dari Unpad.

Apa yang dimaksud “sejarawan akademis” sebagaimana dijelaskan pada uraian di bawah ini akan menimbulkan kesan wibawa dan hak istimewa. Namun realitasnya tidaklah semanis yang digambarkan.

Istilah “sejarawan akademis” dijelaskan Sejarawan Prof. Reiza Dienaputra (2015:3) dari Unpad sebagai berikut, “Berbeda dengan kemahiran dalam merekonstruksi sejarah sebagai peristiwa menjadi sejarah sebagai kisah, yang dapat dimiliki atau dipelajari secara otodidak –sejarah sebagai ilmu harus dipelajari secara akademis, melalui bangku kuliah. Keberbedaan itulah yang pada akhirnya melahirkan dikotomi antara sejarawan amatir dan sejarawan profesional atau antara sejarawan non akademis dan sejarawan akademis.”

Pernyataan semacam itu seolah-olah seperti menempatkan para “sejarawan akademis” ini di menara gading, menciptakan kasta dan privilege (hak istimewa).

Situasi sebenarnya saat ini terbaca kira-kira sebagai berikut.

Keadaannya kurang lebih berbeda di era digital sekarang ini. Apa itu makna istilah “sejarawan profesional’  atau “sejarawan akademis”? Apa yang disebut “sejarawan akademis” saat ini adalah sosok-sosok para pengumpul point (CUM) untuk naik pangkat, renumerasi, akreditasi, mengamankan posisi akademisnya di universitas “agar tetap terpakai” termasuk perilaku sosok-sosok yang dengan segala cara supaya artikelnya dimuat dipelbagai jurnal nasional maupun internasional terafiliasi scopus dan sinta dengan ranking Q-Q-an walaupun dengan cara plagiat atau dengan cara membayar jurnal –melupakan academic research ethic (memangnya tahu ini!).

Selain itu, para “sejarawan akademis” ini juga sebagai kompador proyekan, umumnya menerbitkan buku sejarah kota, kabupaten, provinsi hingga tokoh-tokoh lokal yang seolah-olah dikultuskan yang dibuat serampangan aka abal-abal, atau membuat naskah akademik kontroversial tanpa peer-review dari kolega sejawat dan tanpa didukung kecakapan analisis dan argumentasi berdasarkan fakta dan data yang komprehensif. Selain itu, mereka bertingkah layaknya marketing yang mengedarkan proposal door to door ke dinas atau kementerian atau keluarga target untuk mencari kemungkinan orang-orang tertentu untuk diangkat menjadi pahlawan. Untuk perkara terakhir, Ajip Rosidi (2019: 17) menulis begini, “Saya terus terang saja merasa terhina disejajarkan dengan sarjana (sejarah) seperti Nina (Herlina) yang terkenal sebagai orang yang menawarkan dirinya kepada para bupati untuk ‘memperjuangkan’ tokoh daerahnya menjadi Pahlawan Nasional. …saya kira tugas seorang sarjana (sejarah) bukanlah ‘menjual’ keahliannya untuk tujuan demikian.”

Pemufakatan sejarawan dan birokrat kapitalis atau korporasi ekstraktif terkait motif awal risetnya di zaman sekarang ini sebenarnya sudah diingatkan bahayanya oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah ratusan tahun yang lalu –seperti ikan bertemu laut. Situasinya kini seperti sindrom akut, yakni apa-apa mau dicari yang paling tua, paling bersejarah, paling autentik atau paling genuine. Sindrom ini, menurut seorang teman, akan bahaya bagi riset sejarah karena sudah ada target di awal –by order. Dua tulisan saya sebelum ini, di media ini juga, “Mencurigai Naskah Akademik Hari Lahir Persib, Menengok Skripsi Fajar Salam” dan “Tepatkah Buku G30S Sebelum dan Sesudah untuk Guru dan Pelajar SMA?” adalah contoh argumentasi dan analisis mikro dari uraian di atas.

Fenomena riset sejarah lain yang juga menarik di era mutakhir ini adalah terkait menulis di jurnal.

Terdapat sebuah fase, di mana hubungan antara dosen sejarah, mahasiswa dan tulisan yang mereka tulis bersama terekam ciamik dalam tulisan oleh Onghokham di Jurnal Prisma (Pergolakan Politik dalam Sejarah) No. 7 Agustus 1978, “Pemberontakan Madiun 1948: Drama Manusia dalam Revolusi”. Sebagai tulisan dengan isu sensitif di akhir 1970an di masa berkuasanya rezim Orde Baru  yang represif, melalui kemungkinan pencarian sumber data yang sulit dan banyak kendala, Ong dapat menulis suatu artikel sejarah di jurnal berwibawa dan bergengsi yang hingga saat ini pun masih demikian (Prisma bisa dikatakan masih merupakan jurnal ilmu sosial terbaik yang pernah lahir di negeri ini) dengan riset mendalam namun bagaikan kisah fiksi. Ini hebat!

Ditulis dalam catatan kaki, “Artikel ini dibuat dengan bantuan dua mahasiswa yang meneliti surat kabar-surat kabar yang terbit di tahun empatpuluhan. Ryadi Gunawan, mahasiswa Jurusan Sejarah UGM dan Herwin Sumarda dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI. Kepada mereka penulis mengucapkan terima kasih. Isi tulisan ini adalah tanggung jawab penulis sendiri.” Ini adalah academic research ethic yang paling dasar dan krusial, namun sering kali dinihilkan akibat primordial dan relasi kuasa dosen apalagi profesor.

Hari ini, kita merasakan amat langkanya menemukan artikel sejarah dengan standar kualitas akademik yang komprehensif dan memukau seperti yang ditunjukkan oleh tulisan Ong di atas.

Baca Juga: Jejak-jejak Blues di Bandung
Tepatkah Buku G30S Sebelum & Sesudah untuk Guru dan Pelajar SMA?
Bab IV Naskah Akademik Hari Lahir Persib, Imut sih, Tapi ini Apaan?

Seperti NICA Membonceng Sekutu

Sekali lagi, situasinya saat ini memang berbeda. Nyaris setiap hari saya berinteraksi dengan mahasiswa sejarah hingga orang awam yang minat sejarah, dan hasrat semuanya terkait urusan keinginan menulis artikel di jurnal terkait istilah seperti Sinta 1, 2, 3, 4, dan 5 dalam konteks Indonesia atau Scopus di konteks internasional Q3-Q4. Jarang yang membahas untuk masuk ke Q1 atau Q2 –antara tidak mau atau tidak mampu. Apalagi, menemukan orang yang memang sungguh-sungguh ingin menulis artikel sejarah saja.

Sering kali apa yang diperbincangkan tidak terkait esensi tulisan, apakah artikel yang ditulisnya berguna bagi perkembangan ilmu sejarah di Indonesia, namun terkait kredit apa yang akan diperoleh jika terbit –umumnya finansial atau jabatan dan siasat bagaimana bisa masuk “jurnal”.

Selain itu akan terkait dengan dana riset. Bayangkan jika sesuai riset yang di order dengan proposal bombastis dan target jurnal internasional akan mendapatkan uang besar. Dari uang itu, kepala proyek yang juga dosen akan ditetapkan sebagai penulis pertama, lalu akan mengajak beberapa orang dosen lainnya sebagai penulis ke-2, ke-3 dan seterusnya dengan harus membayar atau tekanan kolegial struktural. Risetnya tentu akan membayar banyak orang sebagai buruh data untuk ke lapangan, walau sesekali para dosen proyekan ini akan ke lapangan juga untuk turisme dibandingkan riset lapangan. Mana ada profesor di NKRI mau ke lapangan berminggu atau berbulan-bulan seperti yang biasa dilakukan oleh profesor ilmu sejarah kampus internasional sebagaimana bisa kita baca  pada karya tulis mereka. Lalu ketika data sudah beres, tinggal menyuruh mahasiswa atau ghost writer atau penulis yang paling bawah levelnya untuk menuliskannya sebagai sebuah jurnal. Setelah beres ditulis tentu harus di terjemahkan dalam bahasa Inggris jika targetnya jurnal internasional dan ada anggaran untuk ini. Lalu dengan rela akan membayar fee jurnal agar terbit termasuk untuk di jurnal predator. Dari semua perputaran uang riset ini, masih ada sisanya pula. Jadi buat apa riset susah-susah dan lama lalu terbit di jurnal yang bereputasi akademik walaupun tanpa scopus-scopus-an karena banyak jurnal bergengsi tanpa terafiliasi scopus. Lalu buat apa menulis untuk jurnal bergengsi atau berkualitas akademik tinggi jika point atau CUM yang diperoleh sama dengan jurnal abal-abal atau jurnal predator. Maka, dosen proyekan akan lebih memilih cara ini, dapur tetap “ngebul”, cepat kaya dan cepat naik jabatan untuk privilege social sebagai profesor/guru besar.

Akhir tahun lalu (2024), belum lama berlalu saya menemukan percakapan semacam ini di grup WhatsApp kampus. Seorang dosen dengan gelar doktor sejarah dan berhasrat meraih profesor dalam waktu dekat, memaksa para mahasiswa pascasarjana-nya untuk menulis di jurnal –terserah apa pun jurnalnya, atau apa yang si mahasiswa tulis (si dosen tidak mau tahu dan tidak peduli) yang penting nama si dosen dicantumkan sebagai penulis pertama. Dikutipkan di sini.

Dosen: “Mana ada Sinta 4 dan 5 harus bayar?”  (biasanya jurnal Sinta 1 atau 2 yang berbayar)

Dosen: “Coba buktikan jurnal mister ini Sinta berapa? Mana pelacakannya di google?  Saya tidak menemukan nama jurnal mister di google?   Kalau anda hitung-hitungan, saya juga akan hitung-hitungan. Kan janji kalau saya dimasukkan penulis kedua, nilai anda B. Atau hapus nama saya jangan dibawa-bawa… “.

Mahasiswa: “Orang itu menawarkan pada saya Pak, seperti itu, yang di...sinta 4. Sama sinta 3 saya bayar Pak.  Saya betul-betul mohon maaf, saya alpa, harusnya nama Bapak dulu  baru saya (meski si dosen sama sekali tidak berperan apalagi menulis)”.

Dosen: “Bapak begini itu mau dijadikan sumber untuk LED(?), akreditasi ...tahun 2025, supaya unggul.      Sebab sekarang banyak permintaan, tapi kita terbentur administrasi.”

Fenomena-fenomena yang tampak vulgar, membuat risi dan tidak tahu malu sebagaimana kisah-kisah di atas, banyak disorot dengan rasa cemas. Peter Carey bahkan sampai pada kesimpulan begini, “Akademisi (sejarah di) Indonesia itu seperti pohon pisang –mereka berbuah hanya sekali– biasanya ketika mereka menerbitkan disertasi mereka sebagai sebuah monograf setelah menyelesaikan gelar S3 mereka –dan kemudian layu– dalam arti, mereka tidak pernah mengembangkan proyek riset lain yang berarti sepanjang karier akademi mereka.” (Peter Carey, “Trainspotting: Cendekiawan Rakyat Indonesia dan Milenium Baru”, halaman 31).

Amateur Historiscus sebagai Alternatif

Sebagai antitesa penggambaran “sejarawan akademis” sebagaimana tercermin di atas, terdapat apa yang disebut sejarawan amatir. Sejarawan amatir atau saya menyebutnya Amateur Historiscus bisa dilekatkan pada nama-nama di bawah ini –(kita mengatakan mereka sejarawan semata) berkaitan dengan karya sejarah yang mereka tulis: Parakitri Simbolon, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Ramadhan KH, Remy Sylado, Kapten R. P. Suyono, Rosihan Anwar, Haryoto Kunto,  Sudarsono Katam, P. J. Soewarno, Rusli Amran, Ali Audah (sampai kelas 2 Madrasah), Pramoedya Ananta Toer (hingga SR), Ajip Rosidi (tamatan SMP), hingga  Buya Hamka (tidak tamat SR). Atau contoh global kita bisa merujuk Winston Churcill & Jawaharlal Nehru.

Sebetulnya, di sisi lain, dahulu di negeri ini malahan banyak di antara amateur historiscus ini yang mewacanakan perdebatan sejarah dan rupanya bermutu tinggi.  "Kontroversi sejarah justru merupakan bukti tingginya peradaban" kata J. Sumardianta, guru SMA Kolese de Brito Yogyakarta (Harian Kompas, 6 Agustus 2007).

Berikut contoh-contoh menarik perdebatan semacam itu:

  1. Di tahun 1930-an Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Adinegoro, dll. saling bantah dalam Madjalah Poedjangga Baroe (soal apa yang menjadi penghambat kemajuan Bangsa Indonesia, antara mau bercermin pada kebudayaan Barat atau menjunjung tinggi kebudayaan Timur). Kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Kartamihardja dalam buku Polemik Kebudayaan (1948, 1977).
  2. Soedjatmoko dan tokoh Lekra Bujung Shaleh berdebat panas soal arah sastra Indonesia ke depan (Madjalah Siasat, 1952-1954).
  3. Mangaradja Onggang Parlindungan (menulis Tuanku Rao, 1969) dan Buya Hamka membuat sanggahan –Fakta & Khayal Tuanku Rao, 1974). Di tahun itu pula, berlangsung di Padang, terjadi perdebatan hebat yang berlangsung sengit, emosional, menjurus kasar namun fair dan sangat intelektual.
  4. Harsja W. Bachtiar menulis artikel "Bandingkan Indonesia dengan Eropa", yang ditanggapi Mochtar Kusumaatmadja, Mattulada, Harry Tjan Silalahi, AA Navis, Ajip Rosidi, & Karnoko Kamadjaja (perdebatan berupa saling sanggah di Majalah Tempo berlangsung dari 14 Februari 1987 sampai 21 September 1987).

Catatan Akhir

Sebagai simpulan, berhubung pekerjaan “sejarawan akademis” itu saat ini seperti diperlihatkan fakta-fakta di atas, tampak lebih lekat dengan “dunia dagang atau niaga” dibanding ranah intelektual yang menjadi keharusannya - barangkali menarik apabila istilah “sejarawan akademis” yang tampak angkuh itu kita ubah saja. Lagi pula para “sejarawan akademis” ini rajin, rajin membuat “proyek sejarah”. Istilah “pengrajin sejarah” cukup menarik dilekatkan kepada para “sejarawan akademis” ini dengan merujuk contoh serupa, spesialisasi pekerjaan semacam pengrajin tahu Sumedang, pengrajin lampu hias Situgunting, pengrajin kramik Plered atau pengrajin pandai besi Ciwidey.

Atau begini saja, sebelum ini kita mengenal kata birokrat (bureaucrat) atau aristokrat (aristocrat). Lalu Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan (2014) memperkenalkan istilah floracrat. Mudah-mudahan banyak yang setuju juga bila kita sematkan alternatif istilah lain saja (yang nampak anggun) untuk mereka: historicrat!

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Anton Solihin atau artikel-artikel lain tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//