• Narasi
  • Jejak-jejak Blues di Bandung

Jejak-jejak Blues di Bandung

Sejarah blues di Bandung meninggalkan jejak panjang sejak akhir 1960-an. Mulai dari industri rumahan kaset, pertunjukan, hingga pasar loak dan komunitas.

Anton Solihin

Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor

Sebuah katalog blues yang dicetak terbatas oleh Radio Mara 106,85 FM Bandung. (Sumber foto: koleksi Anton Solihin)

5 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Dari mana kita harus memulai menelusuri riwayat musik blues di Bandung?

Kiranya sedikit perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud blues di sini. Menurut Remy Sylado, menggunakan nama Japi Tambajong: “Blues merupakan musik dengan vokal khas Amerika, berangkat dari leluri orang-orang kulit hitam. Pada dasarnya musik ini dibagi dua, yaitu: (1) blues primitif yakni suatu ekspresi kesadaran orang-orang kulit hitam akan sikap individual mereka atas jarak yang memisahkannya. Besertanya ada kerinduan untuk suatu meta-sosietas, suatu gagasan integrasi, atau gagasan yang harus dibincangkan oleh setiap Negro di Amerika.

(2) blues klasik, yakni wawasan perubahan nilai di kalangan Negro menuju suatu sosietas antar-bangsa. Di dalamnya berakar dambaan universalitas yang langgeng sejalan dengan cita persamaan diantara umat manusia. Jika blues primitif erat kaitannya dengan unsur-unsur sakral, dalam hal ini sinkretisme animisme Afrika dengan teologi Perjanjian Baru (Nasrani),  maka blues klasik lebih cenderung dipandang sebagai bagian musik hiburan dengan mengusung penuh sifat-sifat emosional Negro sebagai bagian bisnis (Tambajong, Ensiklopedia Musik jilid 1, 1992: 49).”

Keith Richard, gitaris the Rolling Stones, menyederhanakannya seperti ini: “Blues. Barangkali hal paling penting yang Amerika sumbangkan untuk dunia.”

Pengertian blues di atas rupanya ada korelasinya dengan catatan awal mengenai blues di Bandung. Majalah yang berbasis di Bandung, Aktuil dalam edisi No. 23/Tahun II 1969 menurunkan berita mengenai pertunjukan (bertajuk) “blues spirituil” Junior Wells di Bandung pada 10-11 Desember 1968. Ia hadir atas undangan Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), dan disponsori oleh Radio ITB.

Mengapa istilah yang dipakai bukan blues tetapi blues spirituil (atau spiritual)? Sejauh yang bisa diperoleh, inilah fakta paling awal mengenai blues di Bandung. Perhatikan bahwa di awal Orde Baru, saat begitu banyak anak muda ujug-ujug membentuk band dan tumbuh bagai jamur di musim hujan (kebanyakan menjadi epigon corak musik yang sedang menjadi tren di Barat), pertunjukan unik semacam ini bisa terjadi (sekali lagi) di Bandung. Kita patut menduga bahwa Harry Pochang belia, yang sekarang sudah dianggap sesepuh, eksponen terkemuka  dan mentor blues di Bandung, menonton pertunjukan historis ini. Mudah-mudahan saja saya tidak keliru!

Wells merupakan bagian dari barisan jawara blues Amerika yang tampil keliling Eropa  antara 1962-1966. Direkam live pada sejumlah studio televisi kecil di Jerman dan Inggris selama tur dimaksud, penampilan historis dan langka mereka telah hilang selama hampir 40 tahun. Bahan-bahan terserak itu ditemukan lagi di awal abad ke-21 dan dirilis dalam 3 DVD. Rekaman-rekaman video langka itu dipenuhi penampilan para legenda blues yang muncul dan bangkit kembali di era 1960-an (diistilahkan Blues Revival): Muddy Waters, Sonny Boy Williamson,  Howlin’ Wolf, John Lee Hooker, dan Wells tentu saja.

Bill Wyman dari the Rolling Stones berkomentar begini: “Segala sesuatunya akan sangat berbeda di Inggris Raya seandainya tanpa American Folk Blues Festivals. Mereka membuktikan dirinya memberikan warisan yang kaya bagi para musisi di seluruh Eropa.”

Tampilan bulket sebuah pertunjukan musik blus di Majestic Theater, Jalan Braga, Kota Bandung, pada 24 September 2011. (Foto: koleksi Anton Solihin)
Tampilan bulket sebuah pertunjukan musik blus di Majestic Theater, Jalan Braga, Kota Bandung, pada 24 September 2011. (Foto: koleksi Anton Solihin)

Nenek Moyang Musik Populer

Sesungguhnya, awalnya bukan blues semacam itu yang dari Eropa kemudian mewabah secara global, termasuk yang tidak lama sesudahnya amat populer di akhir 1960-an hingga awal 1970-an di Indonesia dan khususnya Bandung.

Melalui Inggris Raya, blues jenis baru ini menyebar ke seluruh dunia. Blues yang sebelumnya dibawa ke Eropa itu muncul sebagai ekspresi  kaum kulit hitam sepanjang Delta Missisissppi pada awal abad ke-20. Blues itulah yang kemudian menjadi nenek moyang musik populer (baca: musik industri): jazz, rock n’roll, pop, soul, rock, heavy metal, punk, dan segala genre turunannya yang beraneka ragam. Blues kemudian mewabah di Inggris pertengahan 1950-an antara lain karena peran penting Alexis Korner (1928-1984), John Mayall, serta the Rolling Stones.

Alam pikir baru yang membuat anak muda gandrung blues versi baru yang dibawa utamanya oleh para musisi kulit putih gondrong ini mula-mula bisa kita dengar pada piringan-piringan hitam album blues yang beredar sejak pertengahan 1960-an dan  kita baca pada beberapa ulasan majalah Aktuil di awal 1970-an. Pada Aktuil No. 86, 6 November 1971, misalnya, ada artikel berjudul ‘What Is Blues?-Kekuatan2 Blues dalam Budaja Rock’. Bahkan majalah “musik dan gaya hidup” yang berkantor di Jalan Lengkong Kecil 41 ini lewat tulisan Sonny Suriaatmadja memuat kutipan pendapat para pesohor mengenai apa itu blues (sebagai gambaran bahwa saat itu blues membawa antusiasme pada musik populer) sebagai berikut:

John Fogerty (CCR): "Soalnya bukan karena hitamnja, tetapi karena alunannja jang benar-benar penuh kejiwaan. Kadang-kadang kalau diri saja  benar2 dalam keadaan suram, segera saja pergi  ke alam terbuka, membuka paru2 saja, membuka suara saja sekeras-kerasnja, membuka tjurahan hati saja sedalam-dalamnja. Dan itulah semua jang disebut Blues!"

Robert Fripp dari King Crimson malahan memberi batasan blues yang lebih luas lagi. Menurut pendapatnya: “Blues lebih daripada hanja sekedar matjam musik jang lain. Karena blues adalah keimanan, kepertjaan kepada adanya Tuhan JME dan juga blues otomatis adalah persaudaraan."

John Entwistle (the Who): “Soal keindahan blues, tjobalah memberi penilaian dengan telinga  kita, jangan dengan mata. Tjoba dengarlah musik blues  yang dibawakan oleh Paul Butterfield (white), dan tak seorangpun akan berkata bahwa orang kulit putih tidak betjus membawakan blues!"

Sejumlah edisi Aktuil  dari nomor istimewa 1969  hingga edisi Aktuil No. 80 tahun 1971 menyebut nama-nama musisi kulit putih yang lagunya terkait blues, dari Eric Clapton, Crosby Stills Nash, Blind Faith, Chicken Shack, Fleetwood Mac, Jeff Beck, Blood Sweat & Tears, Cuby+Blizzards, Livin’ Blues, Cactus, Uriah Heep, Mick Jagger, hingga Jim Morrison (1943-1971). Bisa diartikan di sini bahwa masa keemasan blues ada di sekitar tahun-tahun tersebut.

Penjelasan-penjelasan di atas penting dikemukakan karena info musik dan gaya hidup saat itu hanya bisa dirujuk pada majalah Aktuil yang bisa disebut bacaan wajib anak muda.

Mick Jagger dan the Rolling Stones, yang di awal karier mereka (1960-an) amat kental dengan pengaruh blues kulit hitam, begitu populer di Priangan, khususnya lagi Bandung. Soal ini bisa dibaca pada artikel Budi Warsito A’ Stun A’! Jagger/Jeger/Jager? (Trocoh, 2021: 173-187), termasuk cerita tentang Gang Stones di kawasan Jalan Pelesiran. Namun satu hal yang patut disayangkan dari the Rolling Stones ialah bahwa sekalipun mereka adalah legenda rock yang begitu terkenal hingga ke pelosok kampung di Bandung, tidak pernah sekalipun di sepanjang karier yang amat panjang mereka melakukan pertunjukan di Indonesia.

Lama setelah tembang lawas Saia & Toean oleh Miss Eulis, yang menyanyi dengan gaya Bessie Smith di masa Hindia-Belanda, banyak lagu blues dilahirkan dalam industri musik Tanah Air, termasuk yang dilantunkan musisi Bandung. ‘I Had To Leave You’ (the Rollies dari album Let’s Start Again, 1971) dan ‘Sambel Tarasi Blues’ (Mus DS-Tatty Saleh, Pop Sunda Volume 2 (?)) yang tercipta di masa-masa keemasan blues tersebut, menarik disimak.

Baca Juga: Sebetulnya Masa Revolusi Kemerdekaan itu Penting Enggak Sih?
(Ujung-ujungnya Tetap Saja) Majestic!

Tampilan cover salah satu album John Mayall, musisi blues yang namanya dilekatkan ke tiga SMA di Indonesia. (Foto: Anton Solihin)
Tampilan cover salah satu album John Mayall, musisi blues yang namanya dilekatkan ke tiga SMA di Indonesia. (Foto: Anton Solihin)

Mengapa John Mayall?

Cerita John Mayall (29 November 1933-22 Juli 2024) amat unik. Di awal 1970-an tercatat setidaknya ada tiga sekolah tingkatan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang lebih dikenal sebagai SMA John Mayall. Di Blok S Kebayoran Baru, Jakarta, ada Perguruan Taman Madya. Di Cimahi, ada SMA PGRI I. Satu sekolah lagi ada di bilangan Jalan Naripan di Kota Bandung.

Saat tampil di Jakarta Blues Festival 2011,  John Mayall diberi tahu bahwa ada John Mayall School di Jakarta pada tahun 1970-an. Sang musisi pun ngakak: “Oh, oke. Sangat aneh, tetapi menarik.”

Namun tampaknya sampai beliau tutup usia, tak diketahuinya bahwa ada sekolah serupa di Cimahi dan Bandung. Mengenai SMA John Mayall Cimahi, pada laman Facebook pernah ada yang bercerita seperti ini: “SMA PGRI 1 Cimahi atau SMA John Mayall sudah ditutup karena kekurangan siswa. Jumlah siswa (berjumlah)  belasan - terakhir tahun 1996, lalu akhirnya ditutup dan berubah menjadi SMK PGRI 3.”

Pertanyaannya: kok bisa orang-orang bareng menyebut nama sekolahnya Sekolah John Mayall? Kan bisa saja mereka menyebut SMA the Rolling Stones, Fleetwood Mac, atau Jimi Hendrix yang sama-sama populer ketika itu. Mengapa John Mayall?

Di era 1970-an, saat blues mewabah, tumbuh pula bisnis rekaman pita kaset. Di Bandung, bermunculan sejumlah industri rumahan kaset: Apple, Hidayat, Monalisa, dan Yess. Semuanya itu adalah bagian dari rekaman indie Bandung pada 1970-1980-an yang luas pengaruhnya pada apresiasi masyarakat terhadap musik populer.

Adalah Koh Awi dengan Suara Kenari di ABC sejak tahun 1965 di ABC dan Sangkar Indah di Gardujati sejak tahun 1985.  Pada 1970-1980-an, ketika aturan royalti belum diterapkan secara betul, toko Suara Kenari memproduksi album band luar negeri dan memasang label sendiri: Monalisa. Mereka merekamkan album dari piringan hitam ke kaset. Kita bisa menemukan banyak rekaman blues di sini: Climax Chicago Blues Band, Ten Years After, dan Rory Gallagher.

Yang juga menarik adalah sosok A Fung dengan label rumahan Yess. Pada akhir 1970-an, mereka yang melewati Jalan Veteran 107 akan menyaksikan sebuah toko dengan kaca gelap bergambar drum serta siluet penggebuknya, Bill Bruford, penabuh drum band progresif Yes dan King Crimson. Untuk blues, selain merilis banyak “blues band”, Yess juga merekam khusus apa yang disebutnya Blues In Memory I, II & III. Yess tutup pada 1988.

Setelah label rekaman harus berurusan dengan urusan hak cipta, dan (terutama) dengan harga kaset yang melambung beberapa kali lipat di toko-toko rekaman kaset dan CD (itupun tidak semua rekaman musisi yang sebelumnya bisa didapat, bisa ditemukan pada rekaman resmi), monolith baru muncul di Cihapit, Kota Bandung. Di sini, komunitas pasar loak rekaman musik (PH, kaset, CD) berkembang sejak akhir 1980-an hingga sepanjang era 1990-an. Di Cihapit, para penggemar musik, tak terkecuali para penggemar blues saling bertukar informasi, berdiskusi, jual-beli, dan meluaskan wawasan serta pemahaman musik.

Di tahun 1990-an itu pula bisa dicatat beberapa pertunjukan penting. Orang yang disebut King of Blues, B.B. King bertandang ke Indonesia dan melakukan pertunjukan di  Hard Rock Cafe Jakarta pada 29 November 1992.

Di Bandung sendiri, bila ditelusuri terdapat sejumlah pertunjukan historis. Ada tembang Blues for Bandung oleh Ron Reeves dalam Earth Music 1991, Harry Roesli & White Gold Live di Laga Pub 1993 yang melantunkan Laga Blues guyonan dari Confessin' the Blues (Jay McShann), serta pertunjukan live Time Bomb Blues di Radio Mara pada 1 Juni 1995 dan di Cafe Concordia pada 17 dan 31 Juli 1998.

Era 1990-an juga ditandai dengan fenomena munculnya acara khusus musik blues bertajuk Blues Mara di Radio Mara 106. 85 FM yang digawangi Hadi Pramono dan Hendro "Cau" Martono yang mengudara sejak tahun 1991. Terdapat masa-masa ketika malam minggu selalu dijadikan alasan  untuk tetap khusyuk di kamar mendengar blues nyaris hingga menjelang subuh. Nyaris seperti ritual. Saya tidak ingat kapan Blues Mara berhenti, tapi siaran khusus blues ini, hebatnya, bertahan setidaknya melampaui satu dekade.

Awal abad ke-21 ditandai dengan kelahiran Komunitas Blues Bandung atau Bandung Blues Society (BBS) pada tahun 2008. Komunitas ini sering menggelar beragam acara terkait blues. Salah satu yang fenomenal ialah festival blues  bertajuk ‘Blues In the Art’ pada 1-8 September 2012 di Galeri Kita.

Setahun sebelumnya terselenggara acara festival blues yang lebih kecil. Salah satunya pertunjukan sarat perenungan yang digarap cukup serius di Majestic Theater Braga pada 24 September 2011. Adalah J Kondoi & the Humans yang mementaskan A History Telling Concert: “Blues, atau Bagaimana Perbudakan Bersekongkol atas Musik Manusia dalam 500 Tahun Terakhir dan Membuat Kita Acuh-tak acuh serta Nyaman-nyaman Saja.”

Berkaca dari rentang panjang jejak blues di Bandung, kita bisa menemukan alasan mengapa blues tetap layak diapresiasi hingga hari ini. Kita amini apa yang pernah dikatakan Pete Segger, eksponen gerakan folk tahun 1960-an: “Coba anda renungkan, berapa banyak orang yang  telah menemukan kembali kemanusiaannya melalui nyanyian orang-orang Negro Amerika.” Kalau ada pernyataan seperti itu, haruslah dikatakan: ‘blues memang spirituil.’

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Anton Solihin atau artikel-artikel lain tentang Musik

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//