Sebetulnya Masa Revolusi Kemerdekaan itu Penting Enggak Sih?
Orang Indonesia seharusnya merasa istimewa. Republik Indonesia adalah negara pertama yang merdeka setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Anton Solihin
Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor
6 Juni 2024
BandungBergerak.id – Bulan kemarin, 15 Mei 2024 di Bandung terselenggara diskusi buku Dunia Revolusi – Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjadi semacam resensi buku tersebut. Persoalan yang menarik bagi penulis adalah apakah memang revolusi kemerdekaan masih relevan diperbincangkan saat ini?
“Revolusi adalah satu di antara perkataan yang pengertiannya makin kabur. Ada Revolusi Besar Prancis, Revolusi Amerika, Revolusi Industri, revolusi sosial, revolusi dalam bidang pemikiran kita, revolusi dalam industri otomotif, dalam perdagangan pakaian wanita-daftar ini tak akan habis-habisnya”, kata Crane Brinton, penulis Anatomi Revolusi pada tahun 1962.
Sekarang, istilah Revolusi Indonesia (yang mencakup periode 1945-1950) apakah juga pengertiannya makin kabur, atau mengalami pemaknaan baru yang pengaruhnya bisa kita rasakan saat ini?
Peluncuran buku Dunia Revolusi – melalui semacam diskusi publik beberapa waktu yang lalu, mungkin salah satu aktualisasinya. Sama seperti “gerakan budaya tanding” yang digerakkan kaum muda, Revolusi Kemerdekaan Indonesia pun diinisiasi pemuda, sehingga Benedict Anderson tidak ragu menyebutnya Revolusi Pemuda.
Anderson menjelaskan lebih lanjut, “Saya merasa bahwa istilah yang murni, yang benar-benar populer, adalah istilah ‘revolusi kemerdekaan’ yang (memang) timbul secara spontan pada hari-hari pertama dari zaman merdeka, seperti muncul dari tanah bumi Indonesia sendiri” (Anderson mengatakan itu pada wawancara tahun 1995, 2017: 79).
Antropolog terkemuka Clifford Geertz, pada 1997, punya penjelasan begini, “Ketika orang memutuskan menjadi Indonesia, muncul masalah kelas, agama dan sebagainya. Jadi apa yang terjadi selama revolusi (kemerdekaan) tidak begitu saja dibingkai dalam kerangka gerakan massa. Tanpa bicara tentang daerah-daerah, kelompok-kelompok, suku bangsa dan sebagainya pada masa tahun 1920-an, pada masa saya di sana (1950-1960-an), dan pada masa kini, kita tidak bisa memahami Indonesia.” Pernyataan ini menguatkan pemahaman bahwa revolusi kemerdekaan juga harus dan perlu dijelaskan dalam konteks lokal. Dengan begitu sepertinya pernyataan itu relevan dengan isi buku Dunia Revolusi.
Lalu bagaimana caranya memahami hubungan Revolusi Kemerdekaan dengan kerumitan negeri seperti Indonesia yang dikemukakan Geertz?
Memang sepintas Revolusi Indonesia tampak dimaknai sebatas ritual tahunan – diistilahkan ‘Agustusan’, seperti seolah-olah bukan peristiwa hebat. Ada upacara bendera dimana-mana, balap karung dan lomba ini itu. Acara seremonial yang tiada habis-habisnya. Apakah itu cukup menggambarkan wajah ‘revolusi kemerdekaan’ pada zaman sekarang?
Sebagai orang yang sudah lama tinggal di tempat bernama Jatinangor, di ujung timur Bandung Raya, wilayah dengan sejumlah kampus besar dan disebut “kawasan pendidikan”, sampai tahun kemarin (2023), masih saja "yang disebut pesta agustusan" – seperti yang penulis saksikan sendiri, berwujud “pawai kesurupan” di sepanjang jalan utama kota kecil ini, yang sudah menjadi rutinitas, dan sudah kadung menjadi ritual tahunan (tentu dengan jeda masa pandemi kemarin).
Baca Juga: Menghindari Euforia Kemerdekaan, Mengentaskan Kemiskinan
Indonesia Membutuhkan Rute Jelas untuk Mencapai 100 Tahun Kemerdekaan
Melihat Revolusi Indonesia dari Sudut Pandang Lokal
Kekuatan Magis & Revolusi Kemerdekaan
Soal dunia magis semacam itu (periksa juga Fogg, 2020: 157-160), ada korelasinya dengan cerita konyol masa revolusi kemerdekaan – (kebetulan kejadiannya di Bandung), yakni Peristiwa Bandung Lautan Api - seperti diceritakan Smail dengan menarik berikut ini:
“Atmosfir yang bersifat letupan anarki pada minggu-minggu awal Peristiwa Bandung Lautan Api (1946) tergambar salah satu karakteristik utamanya yakni peningkatan kepercayaan terhadap unsur magis, jenis kekuatan yang dapat membantu dalam pertempuran seperti jimat atau senjata bertuah.
Kategori yang paling umum sebagai contoh ekstrem adalah pemberian kekuatan khusus pada seseorang atau senjata tertentu oleh orang yang memiliki kekuatan tertentu, hampir selalu seorang kiai.
Dalam banyak contoh di antara kelompok Sabilillah di pedesaan, hal magis menjadi semacam budaya kelompok. Seluruh unit akan dipersenjatai bambu runcing bertuah - kadang bambu itu sendiri dicuci atau disucikan, kadang ujungnya dipasangi secarik kain putih bertuliskan ayat Al Qur’an – dan para prajurit mengenakan ikat kepala putih bertuliskan ayat yang sama untuk memberikan mereka kekebalan. Insiden (semacam itu terjadi) di Jalan Lengkong Besar pada 6 Desember 1945 di mana kelompok tersebut merangsek maju menghadapi tank dan senapan mesin dengan meneriakkan Allahu Akbar, untuk (akhirnya) kemudian dilibas habis-habisan” (Bandung Awal Revolusi, 1964, 2011: 187).
Orang Indonesia seharusnya merasa istimewa. Republik Indonesia adalah negara pertama yang merdeka setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Lewat film, dari tiga negara setelah usia Perang Dunia II yang berperang hebat melawan musuh-musuh kolonialnya, dunia mengenal Alzajair melalui Battle of Algiers, dan Vietnam dibanggakan the Little Girl from Hanoi. Tapi baru belakangan di era 2000-an rasa nasionalisme lewat film dibangkitkan karena beredar luasnya dokumenter Indonesia Calling (Joris Ivens, 1946) & Lewat Djam Malam (1954). Film terbaik Usmar Ismail ini direstorasi di Italia dan bisa disaksikan generasi baru penonton bioskop. National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation antusias membiayai penyelamatan salah satu kekayaan budaya penting Indonesia yang disia-siakan di negerinya sendiri.
Perkembangan di negeri Belanda juga menarik. Salah satunya kita menemukan juga versi kisah Westerling dan trauma para tentara muda Belanda pada De Oost (2020). Di samping saat ini begitu banyak dokumenter Belanda mengenai “Masa Bersiap” (atau masa-masa Agresi Militer I & II, versi kita) yang dengan mudah bisa diakses publik.
Kita sudah lama melupakan roman-roman revolusi. Siapa masih ingat atau membaca karya-karya Ramadhan KH, Trisnosumardjo, Pandir Kelana, Suparto Brata atau Hella S. Haase, atau judul buku seperti ini: Pagar Kawat Berduri, Laki-laki dan Mesiu Domba-domba Revolusi, Royan Revolusi, Oeroeg, Kereta Api Terakhir, atau Surabaya ’45?
Atau karya fenomenal yang sulit dilupa, tiga cerpen "Kisah Sebuah Celana Pendek", "Surabaya", dan “Jalan lain ke Roma" dari buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma-nya Idrus, 1948. Atau roman hebat Pramoedya Ananta Toer seperti Subuh, Percikan Revolusi, Keluarga Gerilya & Di Tepi Kali Bekasi - kadang ramai dibicarakan hanya karena kehebohan harga loakan bukunya – didesas-desuskan mahal, tetapi siapa yang membacanya?
Kita punya foto-foto Mendur pada masa revolusi yang begitu menggugah, buku klasik: Laporan dari Banaran, Revolusi Pemuda , seri Kronik Revolusi Indonesia 1-5 (riset luar biasa dan dokumentasi amat berharga), serta (Antologi) Gelora Api Revolusi - dibuat orang Inggris, dan rekaman audionya (dirilis BBC) sekarang sudah tayang untuk publik. Harry Poeze sudah menyelesaikan penulisan jejak sejarah dan kisah hidup Tan Malaka secara lengkap, termasuk diterbitkan ulangnya Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Kahin). Sejak diterbitkan pada 1952, buku ini segera dikenali sebagai karya akademik dan perintis sejarah revolusi Indonesia
Dekade berikutnya, 1990-an juga telah melahirkan tema-tema menarik menyangkut sisi manusiawi orang-orang biasa yang berada dalam pusaran kecamuk revolusi. Beberapa di antara yang penting:
Aku Ingat (Rasa dan Tindak Siswa Sekolah Kolonial di Awal Merdeka Bangsa, 1996). Memoar orang-orang biasa di Jakarta mengenai apa yang diingat dan berada di mana mereka saat proklamasi dikumandangkan. Ada juga Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar “Zaman Singapura” 1945-1950. Lalu Napak Tilas tentara Belanda dan TNI (Ant. P de Graaff). Bekas tentara Belanda dan pejuang republik, di masa tua bersama-sama menapak tilasi wilayah Banyumas dan Wonosobo, tempat mereka dulu bertempur berhadap-hadapan.
Belakangan ini saja, juga bermunculan karya-karya yang layak dibaca untuk keluasan pandangan memahami masa revolusi kemerdekaan yang rumit tadi dari sudut pandang negeri Belanda, seperti:
Jenderal Spoor (J. A. de Moor, 2011), Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (Geert Oostinde, 2016), Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia (Remy Limpach, 2019), Merdeka (Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik yang Tak Pasti) (1945-1950) ditulis Harry Poeze dan Henk Schulte Nordholt (2023) hingga yang terbaru, David van Reybrouch - Indonesia and the Birth of the Modern World (2024).
Dengan semua uraian di atas, pelajaran di sekolah atau kuliah sejarah masa revolusi kemerdekaan tidak bisa lagi primitif, dengan cara yang konvensional. Berbeda dengan tahun 1990-an dan dekade sebelum-sebelumnya, bahkan saat ini, tidak ada keraguan, berbagai aspek zaman yang penuh dinamika itu bisa dibaca, dibahas dan dimaknai dari sudut pandang apa pun yang mungkin bisa diperoleh, termasuk melalui media digital, yang nyaris mewah dan tanpa batas. Berbanding terbalik, realitasnya bahan-bahan kuliah masa revolusi kemerdekaan di kampus-kampus bahkan tidak beranjak berubah. Dibutuhkan perubahan radikal!
Itu sih belum seberapa. Terkait memory collective masa revolusi kemerdekaan, “yang disebut dunia magis” bukan saja urusan “kesurupan massal” pawai “agustusan” di jalanan seperti yang diceritakan di atas. Justru yang memprihatinkan juga terekam di dunia kampus (2024). Pada sebuah sesi kuliah pascasarjana, sembari menggerakkan tangannya seolah seperti sedang bermain layang-layang - seorang dosen sejarah bergelar doktor bisa-bisanya mengoceh begini di depan kelas: "Pada saat pertempuran Surabaya (November 1945), ada seorang kiai – sembari membaca wirid dan mengibas-ngibaskan sarungnya… pesawat-pesawat Sekutu berjatuhan!"
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain Anton Solihin