Melihat Revolusi Indonesia dari Sudut Pandang Lokal
Buku Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 memotret sisi lain revolusi Indonesia dari lingkup lokal.
Penulis Salma Nur Fauziyah18 Mei 2024
BandungBergerak.id - Ketika mengingat masa-masa revolusi Indonesia, alam pikiran akan kembali pada masa-masa konflik antara Indonesia melawan Belanda untuk mempertahankan tanah air yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Kisah-kisah heroik para pemuda-pemudi yang berjuang melawan penjajah begitu sering diceritakan dan dikategorisasikan dalam peristiwa-peristiwa kecil di masing-masing daerah.
Revolusi tidak hanya sebatas mengenai pertempuran bersenjata antara Indonesia dan Belanda, tetapi juga narasi negosiasi dan diplomasi yang dilakukan oleh para tokoh pahlawan Indonesia yang lebih memilih berjuang di balik meja perundingan. Maka sepanjang kurun waktu 1945-1949 muncul beberapa perundingan dan perjanjian yang bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Narasi-narasi peristiwa tersebut telah diajarkan berulang kali di setiap bangku sekolah dan melekat erat di ingatan masyarakat Indonesia.
Namun, ada hal yang masih minim dibicarakan mengenai sejarah revolusi pascakemerdekaan Indonesia. Bagaimana perspektif dan dinamika lokal yang terjadi dalam kurun waktu perang pascakemerdekaan itu? Apakah peristiwa itu hanya terbatas dengan tema kepahlawanan yang sarat dengan militerisme saja?
Seakan menjawab pertanyaan dari titik buta peristiwa sejarah revolusi pascakemerdekaan, buku ‘Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949’ hadir dengan memberikan perspektif baru dari masa revolusi pascakemerdekaan itu.
“Masa awal-awal kemerdekaan bukan hanya berbicara tentang perjuangan melawan Inggris-Belanda. Namun, ada konflik antargolongan di situ,” ujar Apriani Harahap, dalam diskusi buku ‘Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949’ di Fakultas Filsafat Unpar, Bandung, Rabu, 15 Mei 2024.
Apriani berbicara sebagai salah satu peneliti dan penulis dari enam belas artikel yang terbit dalam buku tersebut. Penelitian Apriani berpusat pada komunitas India yang bermukim di daerah Sumatera Utara. Lebih spesifiknya, Apriani menekankan bagaimana komunitas itu tetap bertahan di tengah gejolak revolusi yang terjadi. Judul artikelnya sendiri Mencari jalan aman: Strategi bertahan dan kekacauan sosial dalam komunitas India di perkotaan Sumatera Timur, 1945-1946
Migran komunitas India telah lama bermukim di Indonesia, khususnya di Sumatera Timur, sejak akhir abad ke-19 saat pengusaha Belanda membuka perkebunan tembakau di sana. Mereka adalah orang-orang Tamil yang bekerja sebagai kuli kontrak perkebunan yang meski kontrak sudah selesai, mereka tetap menetap di perkotaan Sumatera Utara dekat daerah perkebunan. Selanjutnya datang kelompok pedagang dari India, yaitu Sikh, Chettia, dan Sindi menambah jumlah komunitas India di sana. Bahkan, sensus 1930 mencatat ada 13.912 orang India di Sumatera timur. Sebanyak 33 persen dari mereka tinggal di daerah perkotaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan, tentara Inggris dan India tiba di Sumatera Timur pada 10 Oktober 1945. Banyak pemuda yang tergabung dalam Heiho dan Giyugun membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang sebenarnya kalah cepat dengan kumpulan pemuda bersenjata (kaum yang disebut Belanda sebagai ekstremis) yang sudah terbentuk atas dasar kesamaan etnis dan lokasi permukiman.
Belum menyeluruhnya pengaruh pemerintahan rakyat Indonesia di Sumatera Timur, berakibat dengan konflik para pemuda bersenjata tidak hanya melawan tentara Belanda dan Inggris tetapi juga dengan golongan lain untuk memperebutkan dan mempertahankan ekonomi dan teritori mereka. Gesekan kecil yang terjadi bisa berdampak sangat besar pada saat itu. Pada masa-masa inilah Komunitas India mengalami kekerasan yang tidak bisa dihindarkan.
Lalu, bagaimana mereka menentukan sikap saat revolusi ini meletus? Sebagian dari mereka bergabung ke dalam kelompok bersenjata dan berusaha membujuk tentara India untuk membelot dari Tentara Inggris. Beberapa lagi membangun organisasi sosial politik untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Namun, para pedagang India yang kaya dan mapan memilih untuk mendukung Belanda Inggris yang berambisi mendirikan kembali pemerintahan kolonial. Sisanya, banyak orang India lain memilih untuk tetap netral dan mengurusi urusannya masing-masing.
“Setelah kedatangan tentara India di pasukan Inggris. Ini menambah eskalasi ancaman terhadap orang India,” ujar Apriani.
Teror dan perampokan pun terjadi dan tidak hanya menyasar pada orang India golongan atas tetapi rakyat jelata. Selain adanya keterlibatan tentara India di pasukan Inggris, masih adanya persepsi asing yang melekat di antara orang India oleh orang Indonesia dan juga konflik antarkelompok Hindu dan Muslim India. Pelakunya pun bukan hanya dari geng kriminial yang mengatasnamakan revolusi saja, tetapi dari tentara India sendiri.
“Kekerasan itu ada terus sampai sekarang. Itu problem kita. Ketika terjadi sebuah krisis dan perubahan yang tiba-tiba,” ujar Andi Achdian, salah satu penanggap, dosen program studi sosiologi Unas.
Andi mengapresiasi penerbitan buku ‘Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949’. Buku ini memberikan perspektif baru mengenai kehidupan revolusi setelah kemerdekaan Indonesia yang bersifat keseharian, menampakan bahwa peristiwa ini adalah pengalaman yang plural.
Hal yang mungkin agak disayangkan adalah pembahasan topik mengenai kekerasan. Meski tetap disinggung di dalam buku, tetapi tidak terlalu signifikan memperlihatkan kekerasan dalam konflik antarbangsa. Padahal, menurut Andi, aspek ini masih sangat penting karena menghasilkan dampak yang menakutkan.
“Ketidakmampuan berpikir pada saat itu yang tidak memberikan tempat untuk intervensi terhadap cara berpikir normal,” kata Andi saat mencoba mengurai bagaimana kekerasan itu dapat terjadi pada era revolusi, di mana perubahan besar terjadi secara mendadak dan cepat, orang-orang seperti tidak mempunyai ruang untuk berpikir rasional atau secara sadar.
Penanggap lainnya, Mangadar Situmorang, dosen jurusan Hubungan Internasional Unpar, menguraikan peristiwa revolusi dari sudut pandang diplomasi dan negosiasi. Ia memetakan bagaimana peristiwa revolusi berkaitan erat dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Konflik yang terjadi adalah akibat dari kontestasi otoritas. Setelah proklamasi, tidak semua wilayah Indonesia mengetahui kabar kemerdekaan. Perlu waktu untuk memperluaskan kabar tersebut. Selain memberitahu, hal ini juga menjadi sebuah ajang untuk mulai mencari dukungan di berbagai daerah.
Di sinilah tindakan pemaksaan itu muncul. Karena tidak semua masyarakat secara sukarela mendukung kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Kekerasan pun terjadi agar mereka menurut. Terlebih ketidakhadiran negara dalam hal revolusi ini, bahwa keseluruhannya masih belum terbentuk secara sempurna.
“Bahwa negara Indonesia yang kita cintai, yang kita miliki sampai dengan saat ini bukan hanya sekadar hasil negosiasi dan diplomasi. Bukan hanya sekadar perjuangan bambu runcing, tetapi juga adalah hasil dari revolusi-revolusi lokal,” ujar Mangadar.
Baca Juga: Poros Revolusi Mahasiswa Bandung Beberkan Sembilan Catatan Hitam Rezim Jokowi
Darah dan Doa Rakyat Jawa Barat di Zaman Revolusi
BUKU BANDUNG #38: Dari Yogyakarta ke Bandung, dari Romusa ke Revolusi
Hasil Proses Panjang
Buku Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 merupakan hasil penelitian yang melewati proses panjang dan berliku dengan rentang waktu penelitian dari 2017-2022. Penelitian ini merupakan hasil kolaborasi antara UGM beserta tiga lembaga penelitian Belanda yaitu Insititut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), dan Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD). Pun merupakan salah satu subprojek dari program penelitian Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia 1945-1950.
“Sebenarnya ini adalah projek penelitian yang satu-satunya dari projek besar itu yang melibatkan secara langsung peneliti Indonesia dan peneliti Belanda,” ujar Yulianti, salah satu editor buku ini.
Dalam melaksanakan penelitian ini, pihak Indonesia sendiri memiliki independensi dalam menentukan tema dan peneliti yang terlibat. Total peneliti Indonesia berjumlah 10 orang (berasal dari berbagai universitas) dan 6 orang peneliti lainnya berasal dari Belanda. Semuanya didominasi oleh peneliti muda. Tujuan utama penelitian ini adalah mempertemukan dan mendialogkan dua histiografis yang sudah lama terpisah. Cangkupan wilayah penelitian pun dimulai dari beberapa provinsi di pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi.
“Jadi, kita ingin juga memanfaatkan penelitian ini untuk mengembangkan sebuah penelitian periode ini dengan cara pandang baru,” ujar editor lainnya, Abdul Wahid.
Tentu sebagai projek kolaboratif ini banyak tantangan yang dihadapi. Abdul Wahid mengatakan, banyak sekali tantangan penelitian buku ini. Mulai dari terkendala pandemi yang banyak merubah sisi teknis dan substantif yang sudah direncanakan sejak awal; hingga perbedaan antara tradisi penulisan antara para peneliti Indonesia dan Belanda. Ada semacam kesulitan untuk dapat berdialog secara terbuka dalam kurun waktu tersebut.
Bahkan sejak awal projek ini dimulai, banyak sekali mendapat sorotan media dan kecaman baik dalam dan luar negeri. Beberapa peneliti pun banyak yang mengundurkan diri dan hanya 10 orang peneliti yang dapat bertahan hingga selesai. Karena pengaruh media pula, para peneliti asing kesulitan untuk mengakses arsip.
Menurut Bambang Purwanto, para peneliti Indonesia yang terlibat dikatakan tidak nasionalis. Bahkan, kemampuan intelektual mereka diragukan oleh para sejawat sejarawan lain. Namun, Bambang hanya mengatakan semua hal itu sebagai sebuah proses yang mesti dijalani.
Meski mimpi dan ambisi masih belum tercapai semuanya, termasuk perluasan cakupan wilayah penelitian, Abdul Wahid berharap lewat buku ini dapat mengajak masyarakat Indonesia untuk mempelajari sejarah secara lebih kritis, karena pada hakikatnya proses histiografis sangat kompleks.
“Tidak hanya sains saja yang bermanfaat, tapi humaniora juga bermanfaat bagi kehidupan kita ini,” ujar Bambang.
*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Revolusi Indonesia