Darah dan Doa Rakyat Jawa Barat di Zaman Revolusi
Film Darah dan Doa dengan latar belakang sejarah ini menunjukkan sisi lain revolusi. Tokoh kapten tentara memiliki karakter peragu dan mudah jatuh cinta.
Penulis Reza Khoerul Iman11 Juni 2023
BandungBergerak.id – Delapan pasang mata para pegiat Komunitas Aleut! tak melepaskan pandangannya pada layar televisi yang memutar film Darah dan Doa. Film berlatar revolusi ini mengisahkan para anggota Divisi Siliwangi yang harus menempuh jarak 600 kilometer dari Yogyakarta menuju Jawa Barat dalam peristiwa yang dikenal Long March Siliwangi.
Film dengan latar belakang sejarah karya Usmar Ismail ini menunjukkan sisi lain peristiwa kemanusiaan, bahwa sejarah revolusi tidak seluruhnya diisi aksi-aksi heroik. Usmar Ismail seakan ingin menekankan bahwa para tokoh di dalam film Darah dan Doa juga sama seperti kita, manusia dengan segenap kelebihan dan kekurangannya.
Film Darah dan Doa lebih banyak menyoroti cerita salah satu komandan batalion Divisi Siliwangi yang hidup di masa serba sulit itu, Kapten Sudarto (diperankan Del Juzar). Sosok Kapten Sudarto tidak menggambarkan prajurit yang berwatak tegas dan keras sebagaimana gambaran umumnya. Usmar menampilkan Kapten Sudarto sebagai pemimpin yang peragu dan mudah jatuh cinta kepada perempuan.
“Ya, yang saya lihat dari film ini lebih banyak mengangkat sisi personal tokohnya, yaitu cerita Kapten Sudarto. Sementara cerita perisitiwa sejarahnya (Long March Siliwangi) tidak terlalu ditonjolkan,” kata Naufal, satu dari delapan orang peserta yang ikut nonton bareng Komunitas Aleut!, pada suatu sore pekan pertama bulan Mei 2023.
Selain menunjukkan personal ketokohan karakter-karakternya, Usmar Ismail juga memperlihatkan peristiwa-peristiwa lain selain peperangan dan pelarian, seperti para prajurit yang mengadakan pesta sambil bernyanyi-nyanyian ketika sedang beristirahat di suatu kampung.
Meski lebih banyak menampilkan cerita personal para tokoh, film yang hari pertama pengambilan gambarnya dijadikan sebagai hari Film Nasional itu cukup menggambarkan situasi yang terjadi pada zaman revolusi. Hari-hari dilalui dengan pertempuran ke pertempuran, sulit membedakan mana kawan dan lawan, dan situasi hidup serba sulit lainnya.
Baca Juga: Pabrik Kina Terakhir di Priangan
Cerita Pedagang Pasar Banjaran Penolak Proyek Revitalisasi: Tidak Didengarkan Bupati, Takut Pasar Dibakar
Warga Berharap Stasiun Cicalengka tidak Digusur
Kehidupan Zaman Revolusi
Beberapa tahun setelah Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada dunia, fakta ini tidak begitu saja diterima oleh beberapa negara, salah satunya Belanda. Sekitar empat tahun setelah proklamasi, banyak terjadi pertempuran yang memperebutkan negara ini.
Baru pada akhir tahun 1949, Indonesia dinyatakan benar-benar bebas dari bayang-bayang Belanda setelah diputuskan hasil dari Konferensi Meja Bunda (KMB) yang ditandai dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS).
Bisa dibayangkan betapa peliknya orang yang hidup di zaman kemerdekaan. Mereka ada yang hidup dari pertempuran ke pertempuran, pembuangan ke pembuangan, dan ada pula yang hidup dari pelarian ke pelarian. Kondisi itu telah digambarkan oleh Usmar Ismail dalam filmnya Darah dan Doa.
“Ini adalah kisah perjalan pasukan Tentara Nasional Indonesia, juga kisah perjalan hidup manusia dalam revolusi. Kisah dimulai tentang darah dan air mata. Cerita tentang harapan dan doa yang tidak putus-putusnya,” tutur seorang narator dalam pembukaan filmnya.
Annisa, salah satu pegiat Aleut, bisa membayangkan betapa tidak kondusifnya situasi di berbagai daerah pada saat itu, temasuk Jawa Barat. Pada saat tentara singgah dari suatu kampung ke kampung lain, artinya warga desa harus menerima orang-orang asing yang tidak diketahuinya. Sementara pada masa penuh ketegangan itu sulit untuk mengidentifikasi mana kawan dan mana lawan.
Selain menghadapi Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Indonesia juga mesti menghadapi bangsanya sendiri. Banyak terjadi pemberontakan di daerah, salah satu pemberontakan yang harus dihadapi oleh Indonesia di usianya yang muda itu adalah pemberontakan PKI Madiun.
Sementara di pedalaman Jawa Barat, terjadi banyak pemberontakan yang dilakukan oleh Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pemberontakan ini sangat menyengsarakan masyarakat Jawa Barat, rumah-rumah di bakar, banyak orang diculik dan dibunuh karena tidak mau patuh terhadap mereka. Setiap matahari telah terbenam, masyarakat terpaksa mesti bersembunyi di tempat yang sebisa mungkin tidak bisa ditemukan.
Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa, tercatat korban DI/TII di Jawa Barat dari tahun 1950-1962 mencapai angka puluhan ribu. Total jumlah pembunuhan langsung diperkirakan telah memakan korban sebanyak 14.042 orang. Sementara kasus penganiayaan dan penculikan diperkiran telah memakan korban sebanyak 7.470 orang.
Begitulah sekiranya gambaran mereka yang hidup di zaman revolusi. Kemerdekaan yang didambakan tidak serta merta jatuh pada saat itu juga. Untuk mencapai kemerdekaan, mesti ada darah, air mata, dan doa yang diusahakan sedemikian rupa. Usmar Ismail telah menggambarkan kekacauan masa revolusi itu lewat film Darah dan Doa.
“Filmnya perlu diapresiasi, karena kita jadi tahu keadaan zaman itu gimana,” ungkap Annisa.