• Foto
  • Pabrik Kina Terakhir di Priangan

Pabrik Kina Terakhir di Priangan

Pada masa Hindia Belanda, kina dari Priangan dipasarkan ke penjuru dunia. Kini, sisa-sisa kejayaan kina tercecer di pegunungan utara dan selatan Priangan.

Fotografer Prima Mulia10 Juni 2023

BandungBergerak.idSelepas jalan beton Desa Cibodas menuju arah Gunung Bukittunggul, tampak lembah perkampungan Desa Suntenjaya bersisian dengan dinding perbukitan sesar aktif Patahan Lembang. Jalan beton itu berubah jadi jalan tanah berbatu menuju ke Perkebunan PTPN VIII Bukit Unggul, satu-satunya perkebunan dan pabrik kina (Chincona sp) yang tersisa di Indonesia dan masih aktif hingga kini sejak masa Hindia Belanda.

Cukup melelahkan bersepeda motor dengan kondisi jalanan yang buruk di kaki Gunung Bukittunggul, Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Rabu (24/6/2023). Tak banyak kendaraan melintas, hanya satu dua sepeda motor atau mobil pengangkut hasil kebun yang berpapasan di jalur dengan pemandangan kebun dan hutan.

Untungnya kondisi jalan berbatu di jalur dari arah Maribaya ke Bukittunggul ini tak seperti tujuh atau delapan tahun lalu. Kali ini jalanan buruk tak lagi sepanjang dulu. Setelah 20 menit seperti rodeo, sepeda motor bisa digeber di atas jalan cukup mulus di jalur Bukittunggul-Palintang ini.

Kemudian masuk lagi jalan berbatu di simpangan jalan cagak dengan penanda pabrik kina ke arah kiri, sedangkan jalan utama menuju arah ke Palintang. Jalan berbatu ini tepat mengarah ke pabrik, rute jalan jeleknya tak terlalu panjang, hanya perlu 3-5 menit lagi berkendara hingga sampai ke area pabrik. Dari kejauhan, bangunan berwarna kuning tampak mencolok di lembah kaki Gunung Buktittungul. Ada plang dengan tulisan pabrik kina berwarna hijau.

Di antara rimbunnya hutan tumpang sari antara kayu putih dan kina, kabut menyelimuti pabrik pengolahan kulit kina tertua dan satu-satunya di Indonesia yang masih berproduksi hingga sekarang. Asap putih tipis keluar dari cerobong kecil di atap pabrik, pertanda sedang ada pengolahan kulit kina.

Menurut salah satu sumber, konon pabrik ini sudah berdiri sejak 1912. Dari dokumen tertulis, administratur Belanda yang pernah bertugas di kebun dan pabrik ini adalah Willem Ruyssenaers (1927-1941) dan Albert Johan Ruyssenaers (1941-1957), sebelum akhirnya semua perusahaan Belanda dinasionalisasi tahun 1958.

Keterangan tersebut sesuai dengan data yang disampaikan oleh Staf Adminsitrasi & Sistem Afdeling Perkebunan Bukit Unggul Andri Mulyawan. "Menurut dokumen di kami pabrik ini sudah beroperasi sejak tahun 1927," kata Andri.

Dipandu Asisten Afdeling Bukit Unggul Nana Sudana, proses pendokumentasian pengolahan kulit kina bisa dikerjakan dengan leluasa. Di luar area pabrik, satu dua pekerja mulai berdatangan sambil memikul karung-karung berisi kulit kina yang baru dipanen di beberapa titik di area perkebunan.

Setelah ditimbang, kulit kina basah itu dihampar di halaman pabrik. Nanti setelah kering kulit kina masih harus digarang di oven tua yang ada di area penggarangan. Kulit-kulit kering akan masuk ke ruang giling untuk diolah jadi kulit kina kering tepung (K3T).

"Setelah terkumpul 10 ton kulit kina, baru nanti bisa lanjut ke penggarangan. Perlu waktu sekitar 8 jam sekali menggarang kulit kina. Sekarang ini 10 ton baru bisa terkumpul setelah 3 bulan, setelah jadi tepung kulit kina bobotnya tinggal 2,5 ton," kata Mandor Besar Pabrik Kina Bukit Unggul Uep Suhana.

Produk akhir berupa K3T ini lalu dikirim ke PT Sinkona Indah Lestari. Pabrik kina milik negara ini memproduksi garam kina dan turunannya untuk memasok industri farmasi, kimia, tonik, dan minuman, di seluruh dunia.

Tak lagi jadi komoditas utama di Kebun Bukit Unggul PTPN VIII, pengembangan dan produksi kina bukan lagi prioritas negara, jadi hanya sekadar untuk merawat sejarah. "Masa panen pohon kina lama, pohon tak boleh dipanen sampai usia 7 tahun, investor juga mungkin ragu jadinya," kata Uep.

Di masa jayanya, pabrik kina Bukitunggul memproduksi 100 ton kina kering per hari. Di masa lalu Hindia Belanda memasok lebih dari 90 persen kebutuhan kina dunia. Saat ini, lebih dari 90 persen garam kina harus impor, hanya sekitar 5 persen berasal dari kina Kabupaten Bandung.

Pabrik kina dan perkebunan di Bukittunggul adalah salah satu dari banyak kebun kina di Jawa Barat, khususnya Kabupaten Bandung. Sebut saja Cinyiruan, Kertamanah, Purbasari, Cikembang, Cibeureum, Ciwidey, Rancabali, Santosa, Pangheotan, Talun, Sedep, Sinumbra, sampai Arjasari. Lokasi kebun semuanya di dataran tinggi Bandung selatan dan utara.

Semula semua kebun ditanami teh dan kina. Kini semua bekas kebun kina hanya tinggal artefak, monumen, kebun sayur, bahkan lapangan kosong. Semua kebun sekarang mayoritas ditanami teh, sebagian campur sari dengan kopi. Beruntung banyak jejak sejarah kina baik tertulis (buku dan Koran), foto-foto, maupun cerita tutur secara turun temurun, yang masih terpelihara hingga sekarang.

Rentang jarak pabrik kina Bukit Unggul dari Kota Bandung menurut Google Maps sekitar 22 kilometer. Rute bisa ditempuh melalui jalur Kota Bandung, Maribaya, Suntenjaya, Bukittunggul, atau melalui jalur Kota Bandung, Alun-Alun Ujungberung, Palintang, Bukitunggul. Rute via Ujungberung-Palintang bisa lebih nyaman karena jalannya agak lebih mulus.

Franz Wilhelm Junghuhn

Tanaman asli Amerika Selatan ini mulai dikembangkan dengan skala industri sejak abad ke-19. Sejarah kina di Hindia Belanda tak lepas dari jasa besar Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). Di akhir masa hidupnya, Junghuhn meninggal dengan tenang di kediamannya, dengan jendela rumah terbuka mengarah ke Gunung Tangkubanparahu. Ia dimakamkan di Desa Jayagiri, Lembang, di tanah Priangan yang sangat dicintainya.

Sebagai upaya konservasi hutan kina tersisa, area sekitar makam Junghuhn dijadikan cagar alam. Luas cagar alam Junghuhn seperti yang tertulis di plang penanda yang sudah kusam di gerbang masuk seluas 2,5 hektare. Luas area kawasan cagar alam yang dikelilingi perkampungan ini mengalami penurunan. Luasan Cagar Alam Junghuhn saat ini hanya tersisa sekitar 7.510 meter persegi.

Di sekitar makam ada hutan pohon kina jenis Chincona succirubra dan C. ledgeriana, menjulang lebih dari 10 meter.  "Pohon-pohon kina untuk konservasi di kawasan ini, jangan sampai punah, dulu di sini masih banyak pohon-pohon kina dari masa penelitian Junghuhn, sekarang kita pertahankan yang tersisa ini," kata Hariban (25 tahun), generasi ke-3 pemandu dan pengelola di situs makam dan Cagar Alam Junghuhn. Jarak situs dan Cagar Alam Junghuhn dari Kota Bandung sekitar 18 kilometer melalui rute Setiabudi-Lembang.

Sisa-sisa Kina di Pegunungan Selatan

Setelah dataran tinggi utara, kini dataran tinggi selatan yang harus disambangi. Hari berikutnya diawali dengan perjalanan ke kebun kina pertama dalam skala luas dan memiliki laboratorium penelitian kina, adalah kebun Cinyiruan dan Kertamanah di Pangalengan. Jaraknya sekitar 45 kilometer dari Kota Bandung melalui rute Terusan Buahbatu, Bojongsoang, Baleendah, Banjaran, Cimaung, Pangalengan.

Kini tak ada lagi jejak kina di sana kecuali sebuah tugu penanda kebun Cinyiruan, patung dada Junghuhn, beberapa pohon kina muda jenis C. calisaya di sekitar monumen, termasuk dua batang fosil pohon kina yang dibawa dari Cikembang (diperkirakan jenis C. ledgeriana).

Area ini disebut Sabda Desa Edu Park. Warga Pangalengan mengenalnya dengan nama lapang Cinyiruan. Masih ada beberapa rumah tua pekerja perkebunan dari masa lalu termasuk rumah administrator Kertamanah, dan tentu saja pabrik pengolahan teh. Area ini sekarang masuk ke perkebunan Kertamanah PTPN VIII.

Cinyiruan dibuka 17 Desember 1855 diikuti kebun Kertamanah 1 pada tanggal 30 Mei 1877. Kebun ini sekarang dikenal dengan nama Kertamanah, perkebunan teh yang sangat luas di Pangalengan. Perjalanan mencari jejak kina di Cinyiruan paling mudah dimulai di tugu peringatan 100 tahun berdirinya kebun kina Cinyiruan. Dan memang hanya tugu ini yang bisa jadi penanda bahwa dulu pernah berdiri kebun kina yang sangat luas di Pangalengan.

Di sana ada pekerja perkebunan teh bernama Suparman. Pria 60 tahun ini bercerita bahwa ayahnya dulu sempat bekerja pada Gerald Alfred Cup, administratur yang sempat mengelola kebun kina Cinyiruan. Tak banyak informasi tentang pria yang oleh warga setempat disebut tuan Keup, kecuali cerita-cerita berbau mistis.

"Tuan Keup kata bapak orangnya baik dan dekat dengan warga kampung. Iya benar bapak saya dulu kerja pada tuan Keup, ya mengurus kebun kina, karena dulu di sini kan kebun kina besar. Dulu namanya Cinyiruan," kata Suparman yang tinggal di rumah tua di seberang bekas rumah tuan Keup.

Menurut pegiat literasi budaya Sunda dan pemerhati sejarah, Atep Kurnia, berdasarkan data di De Indische Courant, Gerald Alfred Cup tercatat sebagai murid sebuah sekolah pertanian di Malang, Jawa Timur. Tahun 1939, tuan Keup ini terdata sebagai Assistant Gemployeerd (asisten pegawai) di kebun teh dan kina Cinyiruan. Menurut salah satu sumber tertulis, Gerald Alfred Cup disebut sebagai seorang botanis dan administratur terakhir kebun kina Cinyiruan.

Beberapa rumah tua dari masa Hindia Belanda masih berdiri tegak di bekas kabun kina Cinyiruan. Konon salah satunya rumah tuan Keup. Gerald Alfred Cup dimakamkan di bukit kecil dibelakang rumahnya di Cinyiruan. Satu lagi administratur kebun Kertamanah yang juga akrab dengan warga kampung dan dimakamkan di Kertamanah adalah tuan Yongkin atau Willem Gerard Jongkindt Conninck, administratur kebun Kertamanah 1904-1942.

Perjalanan menyusuri jejak kina di Kabupaten Bandung diteruskan ke arah kebun Purbasari. Masih di Pangalengan, perkebunan cukup terpencil ini memiliki perbukitan dan hutan yang berbatasan dengan wilayah Garut. Konon di sana masih ada bekas rumah Junghuhn dan bekas kebun penelitian kina.

Warga sekitar menunjuk sebuah rumah tua yang kini dijadikan rumah dinas Kepala RS Pasir Junghuhn. Rumah yang disebut pernah dihuni Junghuhn ini berada daerah Babakan Kina atau Kampung Pasir Junghun, Desa Wanasuka, Kecamatan Pangalengan, berdekatan dengan SDN Srikandi. Lokasinya antara bangunan pabrik teh dan perkampungan.

"Iya benar, kata orang-orang tua dulu rumah Junghuhn itu yang itu (menunjuk sebuah rumah tua berwarna coklat krem),” kata seorang warga kampung, Enjang. “Yang sekarang dijadikan rumah kepala rumah sakit, di halaman belakangnya itu dulu banyak pohon kina, sekarang sudah berubah jadi ladang sayuran."  

Kebun kina di kawasan ini mulai berkembang sekitar tahun 1890-an. Bangunannya masih berdiri kokoh dan terawat, hanya bangunan samping yang terpisah dari rumah utama yang sudah rusak dan terancam roboh. Di halaman belakang rumah yang disebut bekas kebun kina juga ada bekas konstruksi seperti kolam, namun tak terawat dan penuh ilalang.

Untuk menuju kebun Purbasari di Desa Wanasuka, rute yang diambil melalui Terusan Buahbatu, Bojongsoang, Baleendah, Banjaran, Pangalengan Pintu, Purbasari, Pasir Junghuhn. Jaraknya sekitar 38 kilometer dari Kota Bandung.

Kebun Kina Cikembang

Hari berikut, kebun kina Cikembang. Katanya di Cikembang ada sisa-sisa konstruksi pabrik pengolahan kulit kina dan pohon-pohon kina tua sejak awal kebun berdiri. Kebun kina pertama yang dibuka 20 Juni tahun 1882. Kebun Cikembang II 9 September 1885, Cikembang III 10 Juli 1890, Cikembang IV April 1896, dan Cikembang V 23 Agustus tahun 1900. Luasnya sekitar 1.000 hektare.

Cikembang berada di wilayah Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Berada di dataran tinggi Bandung selatan, masyarakat lebih mengenal kawasan mata air Sungai Citarum di Situ Cisanti, kaki Gunung Wayang, ketimbang jejak sejarah perkebunan kina.

Di jalan cagak sebuah pasar di Desa Cibeureum, warga sekitar menunjuk arah ke kiri. "Ikuti jalur itu saja kalau mau ke Cikembang, nanti ada lapang bola dan sekolahan SD, tak jauh dari situ ada bangunan bekas pabrik kina," katanya. Sedangkan rute ke arah kanan menuju ke Situ Cisanti dan Pangalengan melalui kebun teh Santosa.

Jalan berdebu dan berkelok membelah ladang kentang dan wortel, lapang sepakbola, dan di depan sebuah taman desa yang kurang terawat, ada tulisan Tjikembang. Taman ini ada di tengah simpang tiga. Tak jauh dari situ, sekitar 100 meter dari taman, tampak reruntuhan bangunan berkonstruksi dinding tinggi dengan dua bingkai jendela atau ventilasi berbentuk lingkaran. Beberapa pohon kopi menghiasi halaman. Di sampingnya ada bangunan rumah tua juga yang dipakai untuk kantor Satgas Citarum Harum.

Bangunan ini adalah bekas pabrik pengolahan kulit kina Cikembang. Tak banyak yang bisa dilihat kecuali sisa-sisa dinding dan konstruksi dasar bangunan. Bagian dalam pabrik jadi halaman luas berumput. Ada warung dan lapang voli juga di sana.

Jalan kampung di depan bangunan pabrik cukup ramai. Petani bersepeda motor atau berjalan kaki lalu lalang sambil membawa hasil panen atau rumput untuk pakan ternak. Ada plang kusam dengan tulisan Kantor Afdeling Cikembang PTPN VIII. Ada logo PTPN VIII dan gambar kepala harimau di sisi atas plang tersebut.

Seorang petani menyapa, mungkin dia tertarik dengan wajah saya yang kebingungan (sibuk mencari simbol-simbol yang merujuk pada keberadaan pabrik kina). "Ini bangunan bekas pabrik kina, kalau kebunnya sudah habis, tadinya luas sekali, hampir ke semua gunung-gunung di sekeliling wilayah kebun kina semua," kata petani bernama Wawan tersebut.

“Tapi masih ada sisanya, dulu jadi museum hidup pohon kina Cikembang, tapi sekarang sebagian lahannya sudah jadi ladang sayuran, nah itu pohon-pohon besar itu sisa kina Cikembang yang masih tersisa," kata Wawan sambil menunjuk batang-batang pohon menjulang di kejauhan, berpadu dengan pohon kayu putih membentuk siluet hitam dengan latar kabut tipis.

Petunjuk Wawan itu cukup melegakan, akhirnya ada juga simbol yang bisa membuktikan bahwa kawasan ini dulunya perkebunan kina maha luas. Untuk memastikan saya bertanya lagi ada petani-petani yang ada di sekitar kebun. Dan mereka memastikan bahwa pohon-pohon tersebut adalah pohon-pohon kina tua dari masa lalu yang dibiarkan sebagai monumen hidup. Saya tak yakin tapi mungkin jenis kina C. ledgeriana.

Pohon-pohon itu tinggi merunduk. Kulit pohonnya tebal berwarna kehitaman. Ada belasan batang pohon kina yang masih tegak berdiri. Menjulang di antara ladang tomat garapan warga. Satu dua batang pohon kina dekat taman Tjikembang agaknya kurang terawat, kelihatannya mati, tak ada daun di pucuk-pucuknya. Ternyata taman Tjikembang ini dulunya gerbang masuk ke musium hidup pohon kina yang tersisa di kebun Cikembang.

Rute ke Cikembang dari Kota Bandung melalui jalur Terusan Buahbatu, Bojongsoang, Baleendah, Ciparay, Pacet, Kertasari. Jalannya cukup mulus, ada beberapa jalan rusak setelah melalui kawasan Kertasari menuju ke kebun Cikembang. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari Kota Bandung.

Kina Hindia Belanda yang merajai pasar kina dunia dihasilkan dari wilayah dataran tinggi Bandung. Memasok sekitar 90 persen kebutuhan kina dunia. Jejak panjang sejarah kina dunia terbentang di dataran tinggi Bandung. Franz Wilhelm Junghuhn yang sangat berjasa mulai dari riset, pengembangan perkebunan, sampai ke sektor industrinya. Sejak 1851, upaya riset kina mulai digalakkan di Hindia Belanda.

Tahun 1851, bibit kina dikirim ke Jawa untuk diteliti. Menteri Daerah Jajahan Seberang Lautan Kerajaan Belanda, Charles Ferdinand Pahud, mengusulkan untuk mengembangkan kina di Jawa. Di tahun yang sama, ilmuwan Prof. de Vriese mencoba menyemainya di Kebun Raya Bogor, namun hasilnya kurang bagus karena Bogor ada di dataran rendah.

Justus Hasskarl, botanis dan penjelajah asal Jerman, ditugasi Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1852 berangkat ke Lima, Peru, untuk mempelajari kemungkinan introduksi tanaman kina ke Hindia Belanda (Jawa). Ia mengujinya di dataran tinggi, di Kebun Raya Cibodas. Penelitiannya dilanjutkan oleh Junghuhn di wilayah dataran tinggi Bandung. Sejak itu, Junghuhn terus mengembangkan luasan kebun dan pembukaan kebun baru di seluruh dataran tinggi Bandung (kini Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat) bahkan sampai ke wilayah luar Bandung.

Ikon Kabupaten Bandung

Untuk mendukung sektor industri pengolahan, pabrik Kina di Jalan Pajajaran (Bandoengsche Kininefabriek, kini Pabrik Kina Kimia Farma) berdiri tahun 1896. Namun menurut Atep Kurnia, pabrik kina ini berdiri 6 September 1897 berdasarkan sejumlah dokumen tertulis.

Pabrik Kina Kimia Farma masih kokoh berdiri hingga sekarang, walau tak lagi berproduksi. Perannya diganti oleh PT SIL di Subang, satu-satunya pabrik di Indonesia yang mengolah garam kina. Pamor kina terus meredup pascakemerdekaan, tergantikan oleh bahan kina sintetis dan setelah tak lagi jadi tanaman komoditi utama PTPN. 

Rencananya PTPN VIII akan melakukan penanaman 50.000 bibit kina untuk konservasi lahan di Kabupaten Bandung. Pantas ada gambar daun kina pada logo Pemerintah Kabupaten Bandung, sejarah kina dunia tak bisa lepas dari wilayah di Kabupaten Bandung, bahkan saat ini batik dengan motif daun kina juga sudah jadi trade mark Kabupaten Bandung.

Bayangan jatuh mulai condong ke kanan. Saat akan meninggalkan Cikembang, ada beberapa siswi SD bermain di sekitar reruntuhan pabrik sepulang ujian tulis. Saya iseng bertanya apakah mereka tahu tentang sejarah perkebunan kina di desanya.

"Oh jadi ini bekas pabrik pengolah kulit kina, pohon kina itu seperti apa mang?" mereka malah balik bertanya. "Kita belum dapat pelajaran tentang sejarah kina di sekolahan, kita juga nggak tahu pohon kina seperti apa," kata Rifa, siswi kelas 5 SDN Cikembang. Jarak sekolahnya tak sampai 100 meter dari pohon kina tua yang masih tersisa dan reruntuhan eks pabrik kina Cikembang.

Rifa dan temannya hanya tersenyum sambil mengangguk saat ditunjukan pohon-pohon kina yang menjulang di antara ladang tomat. Perlahan saya tinggalkan Desa Cikembang, pohon-pohon kina yang mungkin berasal dari awal abad XX itu membentuk siluet, berlatar kabut tipis di tengah ladang garapan warga.

Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//