• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (11): Gunung Buleud Situwangi, Pernah Disinggahi Ilmuwan Dunia dari Tim Ekspedisi Novara Tahun 1858

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (11): Gunung Buleud Situwangi, Pernah Disinggahi Ilmuwan Dunia dari Tim Ekspedisi Novara Tahun 1858

Memiliki pemandangan menawan, Gunung Buleud masih menyisakan hutan pinus. Sedang dibangun sebuah kawasan perkemahan di lahan tak jauh dari puncaknya.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Pemandangan Batu Nini dengan gunung Burangrang dan Tangkubanperahu di belakangnya, November 2021. (Foto: Gan-gan Jatnika).

23 November 2021


BandungBergerak.idPada 19 Mei 1858, Dr. Höchstetter dan Dr. Eliza de Vrij tiba di Gunung Buleud untuk meneliti formasi batuan yang berada di pinggir jurang dengan ukuran tinggi menjulang. Jika dilihat dari kejauhan, batu ini tampak seperti candi. 

Kedatangan para ahli ke Gunung Buleud itu adalah bagian dari sebuah ekspedisi keliling dunia terkait ilmu pengetahuan, diikuti oleh para ahli geologi dan zoologi kenamaan. Ekspedisi ini dipelopori oleh Kerajaan Austria  menggunakan sebuah kapal laut jenis fregat yang diberi nama kapal SMS Novara.

Ekspedisi Novara dimulai tanggal 30 April 1857 sampai 26 Agustus 1859. Selama melakukan perjalanan mengelilingi dunia, tercatat 30 kali mereka berhenti di berbagai penjuru dunia, salah satunya di Nusantara.

Di Nusantara mereka melakukan penelitian di beberapa tempat. Di antaranya di Gunung Gede, Gunung Tangkubanparahu, Gunung Buleud, Curug Halimun, Curug Jompong dan beberapa tempat lainnya di sekitar perbatasan Distrik Rongga (sekarang Cililin) dengan Cianjur.

Terpilihnya Gunung Buleud menjadi salah satu bagian penelitian tidak terlepas dari peran Franz Wilhelm Junghuhn. Ketika tim ekpedisi tiba di nusantara, salah satu agendanya adalah menemui seorang ilmuwan besar yang namanya sudah terkenal di Eropa, yaitu Junghuhn. Bahkan, mereka sengaja datang ke kediaman Franz Wilhelm Junghuhn di Lembang, Bandung utara.

Junghuhn kemudian memberi rujukan tempat yang cocok dengan tujuan tim ekpedisi Novara ini. Junghuhn memilih Gunung Buleud karena di gunung ini bisa diungkap berbagai spesimen batuan yang mewakili pegunungan tersier di Jawa.

Buku Naturalis Jerman di Tanah Priangan yang ditulis oleh Muhammad Malik Ar Rahiem menyebutkan bahwa hasil dari ekpedisi Novara ini sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Ada 21 bab laporan yang membahas bidang botani, zoologi, antropologi, geologi, dan lainnya.

Batu susun Gunung Buleud, terlihat seperti sebuah candi, April 2021 (Foto :Gan-gan Jatnika)
Batu susun Gunung Buleud, terlihat seperti sebuah candi, April 2021 (Foto :Gan-gan Jatnika)

Lokasi dan Akses

Gunung Buleud secara administratif berada di perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Titik puncaknya pun tepat berada di garis perbatasannya.

Sisi selatan Gunung Buleud berada di Desa Cibodas, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, sedangkan sisi utaranya berada di Kampung Bahubang, Desa Situwangi, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.

Untuk akses menuju lokasi bisa melalui jalur Desa Cibodas, atau memilih melalui jalur Desa Situwangi. Kedua jalur ini sama-sama bisa dimulai dari jalan raya Soreang-Cipatik. Kondisi jalan sudah diaspal, walau pada beberapa bagian sudah ada yang berlobang. Kondisi kawasan Soreang yang memiliki banyak gunung, membuat perjalanan akan sering menemui tanjakan dan turunan cukup curam. Pastikan kendaraan yang akan digunakan dalam keadaan layak jalan, baik roda dua atau roda empat.

Ketinggian puncak Gunung Buleud adalah 1.182 meter di atas permukaan laut (Mdpl), berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) lembar peta 1209-222 berjudul Cililin, edisi I-2000, skala 1:25.000. Sedangkan masyarakat dan para pendaki gunung lebih mengenalnya dengan ketinggian 1.160 Mdpl.

Tim penulis bersiap mendaki Gunung Buleud, dipandu langsung oleh Kadus Bahubang (Bpk. Riki Haryadi) November 2021 . (Foto: Gan-gan Jatnika). 
Tim penulis bersiap mendaki Gunung Buleud, dipandu langsung oleh Kadus Bahubang (Bpk. Riki Haryadi) November 2021 . (Foto: Gan-gan Jatnika). 

Potensi Wisata

Dengan kondisi alam yang menawan, lingkungan sejuk serta warga yang ramah, ditambah adanya catatan sejarah ekpedisi pengetahuan kelas dunia yang pernah singgah 163 tahun yang lalu, jelas menjadikan wisata Gunung Buleud sangat berpotensi untuk dikembangkan.

Selain Batu Susun yang sekarang dikenal dengan sebutan Batu Nini, Gunung Buleud juga memiliki  hutan pinus yang masih cukup rimbun. Hutan pinus ini bisa ditemui di perjalanan menuju puncak setelah melewati Batu Nini.

Di kawasan sebelum puncak juga sedang disiapkan kawasan bumi perkemahan. Sayang, karena situasi pandemi, kawasan perkemahan ini terhenti pengembangannya. Tetapi walau belum selesai, sudah boleh digunakan jika ada pendaki yang mau berkemah. Tentu saja menyenangkan tempatnya, apalagi jika cuaca cerah dapat menikmati pemandangan malam, misalnya, kedipan lampu-lampu kota (citylight) yang membentang sepanjang cekungan kota Bandung dan Bandung Barat. Pun demikian, pemandangan matahari terbit akan sangat indah dinikmati dari sini.

Gunung Buleud juga merupakan kawasan burung elang mencari makan. Banyak binatang-binatang berukuran kecil yang menjadi incarannya. Di antara kerimbunan semak-semak dijumpai beberapa sarang burung, ada yang sudah kosong, tapi ada juga yang masih berisi telur. Telur-telur ini adalah milik sejenis burung lokal, masyarakat menyebutnya burung jogjog, atau merbah cerukcuk, disebut juga trucukan nama ilmiahnya Picnonotus goiavier.

Jika mau berkemah di tempat ini, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu persiapkan bekal air dengan baik karena tidak ada sumber air yang dekat. Jaga kebersihan dan pastikan mematikan api jika membuat api unggun.

Untuk mencapai puncaknya, jika dari arah Kampung Bahubang Situwangi bisa memilih jalan mendaki melewati perkebunan dan rimbunnya alang-alang. Bisa juga memilih menggunakan kendaraan, khususnya roda dua, dan langsung parkir tidak jauh dari lokasi batu susunnya.

Dari Desa Cibodas juga sama, bisa memilih berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua. Bahkan jika melalui jalur Desa Cibodas, kendaraan roda dua bisa mencapai puncaknya langsung.

Mengenai hal ini, kembali ke selera dan kegemaran masing-masing. Jika memang gemar hiking, tentu tidak akan terganggu dengan sesama penikmat alam yang menggunakan kendaraan roda dua. Sebagaimana prinsip solidaritas dan saling menghargai sesama penggemar kegiatan alam, masing-masing bebas menikmati caranya.

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (1): Gunung Manglayang, Berkah Kesucian dan Keindahan yang Menjulang di Bandung Timur
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (2): Gunung Geulis Manggahang, Puncak Tertinggi Bukit Barisan Baleendah di Pantai Danau Bandung Purba
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (3): Gunung Putri Lembang, Mitos Dayang Sumbi dan Sejarah Benteng Belanda

Puncak gunungnya terlihat membulat dari arah bumi perkemahan, di puncaknya masih tampak kerimbunan hutan pinus. November 2021 (Foto: Gan-gan Jatnika).
Puncak gunungnya terlihat membulat dari arah bumi perkemahan, di puncaknya masih tampak kerimbunan hutan pinus. November 2021 (Foto: Gan-gan Jatnika).

Toponimi dan Mitos

Gunung Buleud, sesuai namanya buleud dalam bahasa Sunda artinya bulat. Penamaan gunung ini bisa jadi mengikuti bentuknya yang membulat.

Ada pun batu susunnya diberi nama Batu Nini karena jika dilihat dari salah satu sudutnya seperti perwujudan seorang nenek, atau dalam bahasa Sundanya nini. Selain itu, menurut penuturan warga kadang-kadang ada penampakan nenek-nenek di tempat itu. Tetapi hal itu sudah lama dan jarang terjadi, kecuali kalau kawenehan atau kebetulan saja.

Kemudian, dari keterangan bapak kadus (Kepala Dusun), dianjurkan untuk tidak berkemah pada hari Rabu atau malam Kamis. Alasannya, terkadang ada hal-hal aneh seperti terdengar suara gamelan, dan lain-lain.  Hal ini berdasar cerita turun temurun serta kepercayaan masyarakat setempat .

Mendekati batu susun, akan menemukan sebuah pohon kiara dengan ukuran tidak terlalu besar. Pohon ini tampak dibelit oleh akar. Dari dekat tempat pohon kiara ini tumbuh, mengalir mata air kecil. Mata air kecil ini konon tidak pernah kehabisan air walau pun musim kemarau. Sehingga warga memanfaatkannya untuk beragam keperluan. Dari mata air ini mengalir sebuah sungai kecil, seperti solokan (sungai kecil). Warga menyebutnya solokan Ci Kiara, yang artinya air dari pohon kiara. Airnya jernih dan ada rasa manis-manisnya.

Selain hal di atas, masih banyak cerita dan mitos menarik yang ada di Gunung Buleud. Semisal cerita tentang Batu Karut, Batu Beureum, Eyang Langlangbuana, dan lain-lain.

Toponimi kampungnya sendiri cukup menarik, Kampung Bahubang, yang artinya bahu dan kemakmuran atau kekayaan. Sedangkan Situwangi, karena dahulunya terdapat situ atau danau di sana.

Potensi Ekonomi dan lainnya

Kawasan Kampung Bahubang pada khususnya, dan Desa Situwangi pada umumnya memiliki karakteristik tanah yang cocok untuk berkebun pisang. Tak heran, banyak dijumpai pohon dan kebun pisang. Yang menjadi andalan adalah pisang jenis raja bulu dan pisang lumut.

Hasil perkebunannya dijual ke berbagai daerah, termasuk ke Kota Bandung. Sampai saat ini, belum dikembangkan pengolahan pisang dalam bentuk sudah diolah.

Selain pisang, perkebunan dan pertanian. Potensi ekonomi warga juga terangkat dengan banyaknya pohon bambu. Pohon bambu ini diolah menjadi tusuk sate. Jadi, jangan heran bila melihat di pinggir jalan ada warga yang menjemur tusuk sate dalam jumlah banyak.

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)

Editor: Redaksi

COMMENTS

//