• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (19): Beragam Kisah di Puncak Jayagiri Lembang, dari Makam Junghuhn hingga Kampung Cilameta yang Hilang

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (19): Beragam Kisah di Puncak Jayagiri Lembang, dari Makam Junghuhn hingga Kampung Cilameta yang Hilang

Puncak Jayagiri menawarkan pemandangan matahari terbit yang mempesona. Relatif mudah diakses, banyak kisah dan tempat bersejarah di sepanjang perjalanannya.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Dari Puncak Jayagiri, kita bisa menikmati pemandangan memikat ketika matahari mengintip dari balik lereng Gunung Bukittunggul, Oktober 2019. Puncak berupa hamparan tanah rumput memungkinkan pengunjung berkemah di sana. (Foto: Gan Gan Jatnika)

30 Januari 2022


BandungBergerak.idJayagiri, sebuah bukit atau gunung kecil di kaki selatan Gunung Tangkubanparahu, sejak dahulu sudah sangat dikenal sebagai tempat hiking, jalan-jalan menyusuri kesejukan dan kesegaran alam. Pada tahun 1978, nama Jayagiri pun dijadikan merek dagang (brand) untuk salah satu pelopor peralatan mendaki gunung di Indonesia, yaitu Jayagiri, yang produksinya berpusat di Kota Bandung.

Sangat banyak hal menarik terkait Puncak Jayagiri. Mulai dari kisah Franz Wilhelm Junghuhn, saluran air bersih zaman Belanda, Kampung Cilameta yang hilang, rumah sakit malaria, peternakan sapi perah, sosok Ma Idah ‘Mbi Gunung yang tinggal di sana sejak tahun 1970-an, hingga lagu legendaris “Melati dari Jayagiri”.

Puncak Jayagiri terletak di kawasan Lembang, sekitar 16 kilometer ke arah utara dari Kotam Bandung.

Topinimi, Sejarah dan Mitos

Nama Jayagiri merupakan gabungan dari dua kata “jaya” dan “giri”. “Jaya” berarti keunggulan atau keberhasilan, sedangkan “giri” berarti gunung. Jadi secara Bahasa, Jayagiri berarti gunung yang unggul, yang memiliki kelebihan atau keberhasilan, dan yang memiliki kelebihan geodiversity atau keragaman kekayaan alam  untuk dinikmati.

Ada juga cerita di kalangan masyarakat sepuh yang meyakini nama Jayagiri berasal dari gabungan dua leluhur, yaitu Eyang Jaya dan Eyang Giri. Makam kedua leluhur ini sampai sekarang masih ada, letaknya sekitar 400-500 meter di sebelah tenggara Puncak Jayagiri. Konon, ada yang ‘menunggui’ makam Eyang Jaya dan Eyang Giri, yaitu seekor ular putih bermahkota. Tentu saja mitos seperti ini boleh dipercaya atau tidak.

T. Bachtiar dalam beberapa tulisannya menyebut nama lain Gunung Jayagiri, yaitu gunung Pra Gunung Sunda, sebuah gunung yang sangat purba sebagai cikal bakal lahirnya Gunung Sunda Purba. Gunung Sunda Purba kemudian meletus dan mengawali proses pembentukan Gunung Tangkuban Parahu. Dengan demikian, Gunung Jayagiri yang disebut T. Bachtiar boleh dikatakan sebagai kakek dari Gunung Tangkuban Parahu.

Dalam sejarahnya, kawasan Puncak Jayagiri beberapa kali menjadi kawasan yang terkena imbas letusan Gunung Sunda Purba dan Gunung Tangkuban Parahu. Guguran lava dan taburan piroklastik berupa debu, lavili, bahkan batuan kecil hasil letusan kedua gunung tersebut berulang kali menutupi lapisan tanah sekitar Jayagiri.

Dampak positifnya, kawasan Jayagiri memiliki tanah yang subur dan cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Hal ini disadari dan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan membangun banyak onderniming (perkebunan modern untuk saat itu). Onderniming Jayagiri, yang ditengarai sebagai salah satu onderniming tertua di kawasan Bandung Raya, salah satunya.

Sejarah lain yang masih belum terungkap adalah tentang hilangnya sebuah kampung secara misterius. Kampung yang diyakini berada di tengah kerimbunan hutan Jayagiri ini bernama Kampung Cilameta. Penulis pernah berdialog langsung dengan seorang warga sekitar yang berusia 60-70 tahun. Dia bercerita bahwa semasa kecil sering diajak ayahnya ke kampung tersebut untuk membawakan persediaan makanan bagi warga kampungnya. Tidak jelas apakah membawa persediaan makanan ini dalam arti berjualan atau mengantarkan saja.

Keterangan lain didapat dari Pak Aca, pegawai Perhutani berusia hampir 60 tahun yang sehari-hari bertugas merawat hutan di petak Jayagiri. Dia menjelaskan banyak hal tentang Jayagiri masa lalu, termasuk tentang keberadaan Kampung Cilameta Jayagiri. Pak Aca bahkan bisa menerangkan di mana letak kampung tersebut. Disebutkan, Kampung CIlameta dulunya merupakan tempat persinggahan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan melintas dari Subang atau dari Cikole ke arah Lembang.

Dari warga lain diperoleh keterangan bahwa konon warga Kampung Cilameta meninggal semuanya karena weureu supa atau keracunan jamur, yakni jamur hutan yang dikonsumsi bersama-sama.

Terlepas dari kisah dan sejarahnya, Puncak Jayagiri tetap merupakan tempat yang indah dan menyenangkan untuk melakukan kegiatan hiking. Keamanan dan kenyamanannya terjaga. Nyaris tak ada cerita aneh-aneh dari para wisatawan yang berkunjung ke sini.

Bahkan, pemandangan dan kesegaran udaranya seringkali menjadi inspirasi para seniman menciptakan karya seni. Misalnya, lagu legendaris gubahan Abah Iwan Abdurachman yang berjudul Melati dari Jayagiri, atau lagu berbahasa Sunda dengan irama yang sangat enak didengar berjudul Jayagiri yang diciptakan dan dinyanyikan oleh seniman Sunda terkenal lainnya, Doel Soembang.

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (18): Gunung Bukittunggul Lembang, Yang Tertinggi di Bandung Utara
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (17): Gunung Wayang Pangalengan dengan Pesona Situ Cisanti dan Kawah Wayang di Kedua Lerengnya
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (16): Gunung Patuha, Pesona Gunung Api Tua di Bandung Selatan

Akses dan Lokasi

Puncak Jayagiri secara administratif berada di Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang. Ketinggiannya 1.676 meter di atas permukaan laut (mdpl), berdasar peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), Skala 1:25.000.000 yang dikeluarkan oleh BIG (Badan Informasi Geospasial), judul lembar peta: Cimahi, edisi I-2001. Sedangkan di kalangan pendaki, gunung ini lebih dikenal dengan ketinggian 1.666 mdpl.

Jika ingin berkunjung ke Puncak Jayagiri, ada beberapa pilihan rute yang bisa ditempuh. Di antaranya, dari arah barat yaitu dari jalur Sukawana, dari jalur timur yaitu melalui jalur Cikole, dan dari jalur selatan melalui jalur gerbang Jayagiri Lembang.

Jalur yang paling sering dipilih pengunjung adalah dari jalur selatan yang melalui gerbang Jayagiri Lembang atau sekarang dinamai Gerbang Lintas Hutan Indah (LHI) Jayagiri. Tiket masuknya untuk hiking pulang pergi sebesar 8 ribu rupiah per orang, dengan tarif parkir motor 6-7 ribu rupiah per unit, sudah termasuk penitipan helm. Untuk berkemah, harga tiket masuk dan parkir jadi berbeda. Tiket masuk berkemah sebesar 15 ribu dan parkir motor termasuk penitipan helm menjadi 15 ribu per motor.

Pengelolaan tiket masuk, parkir, warung, serta toilet di gerbang masuk sudah dikerjakan dengan cukup baik oleh warga sekitar. Di area parkir, tampak spanduk dan beberapa stiker bertuliskan KAJI 1983, merujuk komunitas Kulawarga Jayagiri yang terbentuk sejak tahun 1983.

Menuju gerbang Jayagiri dari pusat Kota Bandung, kita bisa mengambil jalur melewati Jalan Setiabudi, melintasi kampus UPI dan Terminal Ledeng, selanjutnya tinggal mengikuti jalur jalan yang menuju Lembang sampai melewati kantor Polsek Lembang dan menemukan belokan 90 derajat ke arah kanan. Dari belokan tersebut, letak Jalan Jayagiri hanya sekitar 50 meter saja. Dari sana, akses jalan sepanjang sekitar 1 kilometer menuju gerbang sudah sangat bagus untuk dilalui motor dan mobil.

Untuk memudahkan perjalanan menuju gerbang Jayagiri, bisa juga kita menggunakan bantuan Googlemaps dengan memasukkan kata kunci: “Wana wisata Jayagiri”.

Sambil bersantai, pendaki menikmati pemandangan deretan gunung-gunung dari Puncak Jayagiri, September 2019. (Foto: Gan Gan Jatnika)
Sambil bersantai, pendaki menikmati pemandangan deretan gunung-gunung dari Puncak Jayagiri, September 2019. (Foto: Gan Gan Jatnika)

Pendakian Menuju Puncak Jayagiri

Perjalanan dari gerbang menuju Puncak Jayagiri menempuh jarak 2,5-3 kilometer. Jalannya berupa setapak cukup lebar dengan tanah merah khas pegunungan. Arahnya cenderung lurus, tidak banyak belokan atau simpangan yang membingungkan, sedangkan tanjakannya memang panjang-panjang tapi terbilang landai dan tidak curam.

Di sepanjang perjalanan, kita akan disuguhi beragam tumbuhan yang menarik dan jarang dijumpai di perkotaan. Ada pohon puspa, mahoni Uganda, pinus merkusii, ki munding, konyal atau markisa hutan, saliara, kaliandra, kayu manis, dan yang lainnya. Selain itu, kita juga akan menjumpai pohon-pohon kopi berjenis arabika.

Perjalanan menyusuri hutan Jayagiri berarti juga perjalanan menyusuri jejak heritage sistem penyaluran air bersih yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1930-an. Pipa-pipa besi berdiameter sekitar 12-15 sentimeter sesekali muncul di permukaan tanah yang kita lewati.

Di sisi sebelah kiri, sekitar 400 meter dari gerbang, kita akan menemukan bangunan mungil berupa tabung tertutup bertuliskan “Bak pengurangan tenaga – 1936”, yang berfungsi untuk menurunkan kecepatan dan tekanan derasnya aliran air menuju bak penampungan besar di bawah. Angka 1936 merujuk pada tahun pembangunanannya.

Saat ini di atas bak tersebut dipasang toren yang membantu mengontrol aliran dan kebersihan airnya. Tampaknya penambahan toren ini terbilang masih belum lama, karena saat penulis datang ke tempat ini sekitar satu tahun sebelumnya, ia belum ada.

Sebelum mencapai Puncak Jayagiri, kita akan menemui persimpangan Sukawana. Persimpangan ini berupa jalan berbatu yang melintang dari barat ke timur, dari Sukawana menuju Cikole dan Gunung Putri. Di akhir pekan, persimpangan ini sering diramaikan oleh para pengendara motor trail yang beristirahat. Salah satu tempat beristirahatnya berupa warung yang menyediakan banyak makanan dan minuman, yang dikenal dengan nama warung Abah Jengkol Jayagiri atau warung Abah Jengkol Gunung Putri.

Dari persimpangan ini, kita bisa mencapai Puncak Jayagiri dengan berjalan santai sekitar 10 menit. Sebelum sampai puncak, kita akan menjumpai sebuah warung yang sangat legendaris di kalangan pecinta hiking. Namanya warung Abah Emen atau warung Ma Idah. Abah Emen adalah suami Ma Idah yang sudah meninggal dunia. Sekarang warung sekaligus tempat tinggal itu dihuni oleh Ma Idah.

Warung ini terbuka bagi siapa saja untuk berkunjung bahkan ikut menginap. Sampai-sampai ada anekdot kalo banyak pecinta alam yang menjadi anggota “Anwarpala”, alias Anak Warung Pecinta Alam, karena menginapnya di tempat Ma Idah, bukan di tenda.

Ma Idah atau dikenal juga dengan sebutan Mbi atau Embi Gunung sudah menetap di sini sejak tahun 1970-an. Menurut pengakuan beliau, tepatnya sejak tahun 1973.

Tepat di depan warung Ma Idah, ada sebuah bangunan yang berupa bak penampungan air. Di bagian sampingnya tertulis: “BAK-PEMISAH DALAM SARINGAN MAPMEK, C0+C,CO+U2O=C,|UCO”. Bak pemisah ini diyakini sama usianya dengan bak pengurang tenaga yang disebut sebelumnya.

Warung dan tempat tinggal Ma Idah saat ini terlihat sudah mengalami renovasi. Dari penuturannya, renovasi itu dibantu oleh pihak perusahaan daerah air minum (PDAM).

Puncak Jayagiri berada di seberang atas warung Ma Idah. Sedikit berjalan, sampailah kita. Areanya berupa lapangan rumput yang cukup luas dengan kerimbunan pohon pinus di sekelilingnya. Di bagian ujung utara lapangan, tampak pagar kayu yang memisahkan area Puncak Jayagiri dengan area ranch atau kandang kuda dan area wisata Jungle Milk. Kawasan ini merupakan area wisata baru.

Di Puncak Jayagiri, kita bisa bersantai menggelar alas duduk dan makan bersama sambil menikmati jajaran pegunungan yang terhampar di depan mata. Jajaran pegunungan itu nama-namanya masih terkait dengan legenda Sangkuriang, seperti Gunung Bukittunggul, Gunung Pangparang, Gunung Manglayang, dan Gunung Palasari.

Berkemah di Puncak Jayagiri juga sangat menyenangkan. Kita bisa menikmati suasana menawan saat matahari terbit. Untuk mencukupi kebutuhan air, tidak perlu khawatir karena sumber air bersih cukup berlimpah di dekat area ini.

Tugu Makam Junghuhn di Jalan Jayagiri 3, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Januari 2022. (Foto: Gan Gan Jatnika)
Tugu Makam Junghuhn di Jalan Jayagiri 3, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Januari 2022. (Foto: Gan Gan Jatnika)

Sejarah Kampung Jayagiri, Makam Junghuhn, dan Makam Jansz

Jika kita berkunjung ke Jayagiri melalui gerbang LHI Jayagiri Lembang, sepanjang jalan dari jalan raya Lembang menuju gerbang kita akan melewati rangkaian tempat bersejarah. Di antaranya adalah Puskesmas Jayagiri yang dahulunya merupakan rumah sakit sederhana untuk pasien yang terpapar malaria. Tempat tidurnya dahulu masih berupa bivouac. Karena kesulitan menyebutnya, warga sekitar menyebutnya sebagai rumah sakit bewak.

Tempat bersejarah lainnya adalah Taman Junghuhn atau Monumen Junghuhn. Di Taman Junghuhn, kita akan ditemani oleh petugas BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam) Jawa Barat, yaitu Kang Hari, atau lebih dikenal dengan nama Kang Hari Junghuhn. Kang Hari dengan senang hati akan menyambut dan memandu pengunjung yang berminat dengan sejarah tentang tokoh besar yang sangat mencintai alam pegunungan, khususnya pegunungan di tatar Parahyangan ini. Junghuhn, yang pernah pulang ke kampung halamannya di Eropa, bahkan memilih kembali dan membawa istrinya untuk bermukim sampai akhir hayat di Jayagiri, Lembang.

Di Taman Junghuhn, selain makam Junghuhn, ada juga makam sahabatnya, yaitu Dr. Johan Eliza de Vrij. Letak makamnya di belakang atau di sebelah timur Tugu Makam Junghuhn.

Di Jayagiri, kita juga bisa menemukan makam pelopor pengusaha perkebunan, khususnya ondeniming kina di Jayagiri, yaitu Ernestine Florentine Jansz.  Sampai sekarang makamnya masih ada di salah satu gang di Jayagiri. Bahkan keturunannya masih ada yang tinggal di sana. Warga memanggilnya Oppa Billy Jansz.

Perkembangan terbaru, saat ini di samping wisata Lintas hutan Indah (LHI) Jayagiri, ada juga Wisata Jayagiri Pajajaran. Lokasinya di dekat gerbang masuk LHI Jayagiri. Jadi yang berniat hiking ke Puncak Jayagiri, jangan salah masuk. Sebaiknya dipastikan arah perjalanannya dengan bertanya ke petugas Perhutani yang berjaga di gerbang.

Merencanakan hiking ke Jayagiri, apalagi saat musim hujan, kita jangan lupa membawa jas hujan atau payung, selain mengenakan alas kaki yang tidak licin. Persiapkan pula senter untuk berjaga-jaga kalau pulangnya terlalu gelap karena ingin menjelajah banyak tempat menarik di sana.

Selain pemandangan memikat di puncak, ada Lorong Lumut yang sangat unik dan menarik. Lorong ini lebarnya kurang dari satu meter, dengan sisi kiri dan kanannya ditumbuhi lumut yang indah. Dahulunya disebut gupitan, lorong buatan ini digunakan untuk memasang saluran pipa air.

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//