GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (16): Gunung Patuha, Pesona Gunung Api Tua di Bandung Selatan
Pesona Gunung Patuha di Ciwidey, Kabupaten Bandung, tiada habisnya. Ada dua jalur untuk pendakian ke puncaknya: Kampung Cipanganten atau Kawah Putih.
Deden Ali Yusuf
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb: Deden Aliyusuf atau Instagram: @deden_aliyusuf
3 Januari 2022
BandungBergerak.id - Gunung Patuha, menjulang di Ciwidey, kawasan Bandung selatan, merupakan gunung tertinggi ke-2 di Bandung raya. Gunung ini mempunyai empat kawah. Yang terkenal adalah Kawah Putih yang berada di bawah puncak dengan ketinggian sekitar 2.100 mdpl dan Kawah Saat yang berada tepat di puncaknya. Dua kawah lainnya yaitu Kawah Cibodas dan Kawah Tiis atau Legoktiis.
Menurut peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diterbitkan Badan Informasi Geospasial (BIG), lembar peta 1208-542, judul peta Barutunggul, edisi I-2000, skala 1:25.000, Gunung Patuha memiliki ketinggian 2.440 meter di atas permukaan laut (mdpl). Namun, ketinggian yang populer di kalangan pendaki adalah 2.434 mdpl.
Lokasi dan Akses
Gunung Patuha termasuk gunung bertubuh besar. Lereng dan kakinya menjalar ke tiga desa, yaitu Desa Patengan dan Desa Sugihmukti di Kecamatan Pasirjambu, serta Desa Alam Endah di Kecamatan Rancabali. Semuanya berada di wilayah administratif Kabupaten Bandung. Walaupun demikian, masyarakat lebih mengenal keberadaan Gunung Patuha dengan menyebutnya berada di kawasan Ciwidey saja.
Akses menuju Gunung Patuha sangat mudah. Dari Kota Bandung, kita tinggal memilih jalan ke arah Soreang. Bisa melalui Jalan Kopo, atau melalui Jalan Banjaran, bisa juga melalui Jalan Tol Soroja, keluar di gerbang Tol Soreang. Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan provinsi menuju Ciwidey, dan nantinya berhenti tepat di depan gerbang wisata Kawah Putih.
Atau jika ingin mengunjungi Gunung Patuha dari Kampung Cipanganten, perjalanan berlanjut sampai menemukan belokan di dekat gerbang Perkebunan Teh Rancabali. Jika jalan ini terus disusuri, kita akan sampai di Kota Cianjur .
Di dekat Gunung Patuha terdapat beberapa gunung lainnya. Di sebelah utaranya terdapat Gunung Batukorsi, di sebelah timur ada Pasir Tanjakanbima dan Gunung Urug, di sebelah barat terdapat kembarannya, yaitu Gunung Patuha 2, yang oleh masyarakat dikenal juga dengan nama Gunung Mayit.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (15): Gunung Guhapawon, Jejak Hunian Manusia Prasejarah Gua Pawon dan Taman Batu
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (14): Gunung Pabeasan dan Karanghawu, Upaya Pelestarian Jejak Laut Purba di Padalarang
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (13): Gunung Batu dan Potensi Wisata Edukasi Bencana Sesar Lembang
Toponimi, Mitos, dan Sejarah
Nama Patuha berasal dari kata sepuh. Dalam bahasa Indonesia sepuh bisa berarti pak tua yang lambat laun nama ini berubah menjadi Patuha. Gunung Patuha meletus pada abad X dan XII hingga akhirnya membentuk kawah yang sering disebut sebagai Kawah Putih, kawah dengan bebatuan atau pasir dan air kawah yang berwarna putih kehijauan dikelilingi tebing bekas letusan yang di sebagian tempatnya sudah ditumbuhi lumut dan tanaman liar lainnya.
T. Bachtiar, dalam bukunya Bandung Purba, Panduan Wisata Bumi (2004), menulis beberapa tambahan untuk toponimi gunung ini. Bisa saja nama Patuha berasal dari kata patuka yang berarti lereng curam, putha yang berarti matahari atau api, atau pathuwa yang artinya suara gemuruh yang memanggil.
Dahulu, kawasan gunung ini dianggap sangat angker dan mistis oleh masyarakat sekitar. Bahkan segerombolan burung yang terbang enggan melewati puncak ini, dan kalau pun ada, maka akan mati.
Menurut kepercayaan masyarakat, di lahan puncak Gunung Patuha terdapat 7 makam leluhur yang namanya diawali dengan kata "Eyang" (Eyang Jaga Satru, Eyang Rangsa Sadana, Eyang Camat, Eyang Ngabai, Eyang Barabak, Eyang Baskom, dan Eyang Jambrong). Salah satu puncak Gunung Patuha, yaitu Puncak Kapuk, dipercayai sebagai tempat berkumpulnya para leluhur tersebut, dengan Eyang Jaga Satru sebagai pimpinannya.
Di puncak keramat tersebut, jika kawenehan atau kebetulan, kita bisa melihat segerombolan domba atau kambing berbulu putih yang ditumbuhi lumut. Menurut mitos, domba ini dikenal dengan nama Domba Lukutan yang dipercayai sebagai jelmaan para leluhur.
Kepercayaan mengenai keangkeran kawah Gunung Patuha lambat laun terpecahkan. Pada tahun 1837, seorang warga negara Belanda keturunan Jerman bernama Dr. Franz Wilhelm Junghuhn berkunjung ke kawasan Ciwidey. Saat itu, ia memandangi sebuah kawasan gunung yang terlihat sunyi. Tidak ada satu ekor burung pun yang terbang di atasnya, dan hal ini membuatnya penasaran.
Junghuhn pun mencari informasi melalui masyarakat setempat mengenai keanehan tersebut. Hampir semua orang yang dia temui menceritakan hal yang sama, yakni bahwa Gunung Patuha merupakan kawasan yang sangat angker karena menjadi tempatnya arwah para leluhur serta merupakan pusat kerajaan mahluk halus.
Junghuhn adalah seorang ilmuwan dengan pemikiran dan pemahaman berdasar pada pengetahuan dan logika. Baginya, keadaan dan kondisi puncak Gunung Patuha ini merupakan sesuatu yang kurang masuk akal sehingga membuatnya lebih penasaran.
Singkat cerita, dengan segala keberaniannya Junghuhn menembus hutan yang mengelilingi kawasan puncak Gunung Patuha. Setelah berada di puncak, ia terkesima menyaksikan sebuah danau yang begitu indah dengan air berwarna putih yang sedikit hijau dan semburan lava di permukaannya. Selain itu, di beberapa lokasi tertentu tercium bau belerang yang sangat menyengat. Bau belerang inilah yang menjadi alasan mengapa burung-burung enggan untuk terbang melintas di atas puncak Gunung Patuha.
Atas informasi dari Franz Wilhelm Junghuhn, pemerintah Belanda kala itu mengembangkan penelitian dan pengembangan pabrik belerang dengan nama Zwavel Ontgining Kawah Putih. Namun, setelah kekuasaan atas Nusantara diambil alih oleh Jepang, nama pabrik ini pun berubah menjadi Kawah Putih kenzanka Yokoya Ciwidey.
Gua-gua bekas penambangan belerang masih bisa ditemukan di tempat ini. Dan menariknya lagi, bangunan gudang tempat menyimpan belerang yang siap diangkut oleh kereta api menuju Kota Bandung masih bisa kita temui di kompleks bekas Stasiun Kereta Ciwidey.
Sejak tahun 1991 sampai sekarang, Perum Perhutani mengembangkan area Kawah Putih sebagai objek wisata. Franz Wilhem Junghuhn kini sudah lama tiada, namun penemuannya itu masih tetap anggun mempesona sampai saat ini.
Kisah Kampung Cipanganten
Pendakian menuju puncak Gunung Patuha ini bisa ditempuh dari beberapa arah. Namun umumnya perjalanan dilakukan dari dua arah saja, yaitu jalur Cipanganten dan jalur Kawah Putih.
Kampung Cipanganten merupakan kampung yang berada di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. Kampung Cipanganten terdiri 2 rukun tetangga, RT 01 dan RT 02, yang tergabung dalam satu rukun warga, yaitu RW 11. Kampung Cipanganten dilengkapi fasilitas sekolah dasar, masjid, dan mandi cuci kakus (MCK) yang bisa digunakan oleh masyarakat serta tamu yang berkunjung.
Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah pegawai perkebunan PTPN Rancabali dan petani. Warga Kampung Cipanganten sendiri aktif dalam kegiatan keagamaan terutama di pengajian rutin, mingguan, dan kegiatan mengaji untuk anak-anak.
Nama Kampung Cipanganten diambil dari nama sungai kecil yang melintas di kampung tersebut, yaitu Sungai Ci Panganten. Konon berdasarkan cerita, dulu ada sepasang pengantin yang tidak direstui oleh orang tua kedua belah pihak, kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di sungai tersebut. Akhirnya kedua keluarga saling berseteru, dan berdasarkan cerita salah seorang sesepuh yang pernah menjabat sebagai ketua RW di kampung itu, sampai hari ini Kampung Cipanganten terbagi dua dengan pembatasnya berupa jalan.
Berdasarkan penuturan si tokoh itu pula, diketahui bahwa air tanah yang berada di RT 01 sebelah jalan, bersih dan bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi dan mencuci. Sebaliknya di RT 02, jika ada warga yang membuat sumur maka airnya asam dan tidak bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Dua Jalur Pendakian
Jalur pendakian menuju puncak Gunung Patuha dari Kampung Cipanganten bisa ditempuh 3-4 jam dengan medan yang cukup bersahabat, dalam arti tidak banyak menemui tanjakan terjal. Namun, jika tidak teliti, kita bisa salah arah karena jalur ini melintasi perkebunan sayur dan perkebunan teh yang tentunya memiliki banyak persimpangan.
Setelah melalui perkebunan teh, para pendaki akan memasuki kawasan Sunan Ibu. Kawasan ini merupakan salah satu puncakan di Gunung Patuha yang berada di antara puncak Gunung Patuha, Kawah Putih, dan sebuah kolam buatan menyerupai danau kecil. Danau kecil ini sering disebut dengan nama danau atau Kolam Sunan Ibu.
Sunan Ibu adalah sebuah bukit yang di puncaknya dipercaya oleh warga setempat terdapat makam dari sang Sunan Ibu. Sosok Sunan Ibu digambarkan sebagai wanita yang suka memakai kebaya berwarna putih dan dihiasi mahkota dari bunga. Sifatnya bijaksana dan penuh kasih sayang. Biasanya kedatangan Sunan Ibu selalu dicirikan dengan munculnya bau wewangian yang tidak ada sumbernya menyebar masuk ke hidung kita.
Dari puncak Sunan Ibu, kita dapat melihat jelas kawasan Kawah Putih. Di sini juga kita dapat menyaksikan matahari yang terbit dengan sangat mempesona. Terdapat sebuah bangunan kecil berbentuk panggung di tempat ini . Bangunan ini relatif masih baru, menggantikan bangunan lama yang rusak akibat kebakaran hutan pada bulan Oktober 2019 lalu. Oleh pihak pengelola wisata Kawah Putih, puncakan ini dikelola sebagai titik pengamatan matahari terbit (sunrise point).
Dari puncak Sunan Ibu, kita bisa melihat puncak Gunung Patuha yang gagah berada di depan mata kita, Dari sini juga kita bisa melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Patuha melalui hutan yang memiliki banyak pohon pakis raksasa. Para pendaki menyebut kawasan ini sebagai “Lembah Jurasic Park”, karena kondisinya mengingatkan orang pada sebuah film Hollywood yang mengisahkan zaman dinosaurus.
Setelah melewati Lembah Jurasic Park, perjalanan berlanjut memasuki hutan lumut yang lembab dan jalur setapak mendaki mengarah ke puncak gunung.
Apabila ingin mendaki melalui jalur Kampung Cipanganten disarankan untuk didampingi dengan orang yang sudah berpengalaman atau yang bisa memakai alat navigasi. Tidak ada sumber air bersih di sepanjang perjalanan, kkecuali masuk kawasan wisata Kawah Putih. Bawalah air dan perbekalan secukupnya. Juga siapkan pakaian cadangan dan pakaian hangat karena udaranya dingin dan lembab.
Jalur pendakian yang kedua melalui lahan wisata Kawah Putih. Melalui jalur ini, perjalanan bisa lebih cepat.
Titik awal pendakian ada di kawasan wisata Kawah Putih. Dari tempat parkir di gerbang bawah dekat Jalan Raya Ciwidey, kita bisa memilih menggunakan kendaraan pribadi, atau menggunakan angkutan khusus. Pihak pengelola sudah menyediakan alat transportasi mobil yang akan membawa wisatawan dari gerbang wisata sampai pintu masuk atas Kawah Putih. Khusus pengguna motor, dengan pertimbangan keselamatan, tidak diperbolehkan untuk memggunakan motornya naik ke gerbang atas. Kendaraan roda dua ini harus diparkir di kawasan gerbang bawah.
Memasuki kawasan wisata Kawah Putih, kita dapat memilih lagi jalur mana yang akan dilalui: jalur Sunan Ibu atau jalur langsung menuju puncak tanpa melewati Sunan Ibu. Rekomendasinya, lebih baik mengambil jalur mendaki lewat Sunan Ibu dan turun lewat jalur langsung ke Kawah Putih. Jalur Sunan Ibu berada di sebelah kiri, ada pun jalur setapak langsung di sebelah kanan.
Jalur setapak ini mengantar wisatawan menuju puncak Gunung Patuha dan Kawah Saat dengan menempuh medan hutan tropis yang jalurnya cukup lebar dan bersahabat. Namun, kita harus tetap berhati-hati karena ada beberapa percabangan jalan. Juga harus dicermati, suhu di kawasan puncak yang sangat dingin. Di sore hari, suhu bisa mendekatii 0 derajat Celcius, dan di malam menuju pagi hari, suhu bisa jatuh ke angka minus.
Dari puncak Gunung Patuha, pengunjung bisa turun dan melihat Kawah Saat yang tak kalah mempesonanya dengan Kawah Putih. Kawah Saat dahulunya disebut dengan nama Kawah Tamansaat. Saat ini kondisinya memang sudah saat alias surut. Tak terlihat bekas aktivitas lava, seperti di Kawah Putih.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)