GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (15): Gunung Guhapawon, Jejak Hunian Manusia Prasejarah Gua Pawon dan Taman Batu
Gua Pawon menjadi salah satu daya tarik yang dimiliki kawasan karst Padalarang. Akses ke kawasan ini cukup mudah, dengan fasilitas wisata sejarah yang cukup lengkap.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
26 Desember 2021
BandungBergerak.id - Padalarang, selain dikenal sebagai kawasan karst (batu gamping), dikenal pula sebagai daerah yang banyak memiliki gua. Hal ini bukanlah suatu yang aneh, karena secara geologis kawasan karst yang terdiri dari batuan gamping relatif mudah terbentuk rongga. Rongga ini kemudian membesar sehingga menjadi gua.
“Gua adalah lubang atau rongga yang terbentuk di dalam tanah dan di luar permukaan tanah, terdapat pada lereng bukit dan gunung atau pada tebing-tebing yang curam dan terjal di tepi sungai, danau dan laut,” terang Renault (1970).
Salah satu gunung di kawasan karst Padalarang yang memiliki gua adalah Gunung Guhapawon, gunung ini dikenal pula dengan nama Gunung Pawon atau Pasir Pawon. Gua yang ada di sana pun dikenal dengan nama Gua Pawon. Gua ini memiliki arti penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang arkeologi dan geologi, karena di gua ini ditemukan bukti-bukti berupa kerangka manusia prasejarah yang tinggal di sana, sekitar 12 sampai 6 ribu tahun yang lalu.
Selain terdapat gua, di bagian puncak gunung terdapat taman batu yang dikenal dengan nama Stone Garden, yaitu sebuah area cukup luas dengan formasi batuan berbagai bentuk dan ukuran yang terhampar, menyajikan pemandangan menawan dan banyak dikunjungi wisatawan.
Lokasi dan Akses
Gua Pawon secara administratif berada di Kampung Cibukur, Desa Gunungmasigit , Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Terletak kurang lebih 25 kilometer dari pusat Kota Bandung ke arah barat .
Untuk bisa menuju ke sana, dari Kota Bandung bisa memilih jalur menuju Cianjur, melewati jalan layang Cimindi, Kota Baru Parahyangan dan Situ Ciburuy. Dari Situ Ciburuy perjalanan masih harus berlanjut sekitar 1 kilometer lagi, kemudian berbelok di sisi kanan jalan menuju arah utara. Papan penunjuk lokasi dapat ditemukan saat memasuki jalan menuju Gua Pawon. Untuk memudahkan akses ke sana bisa juga mengetik kata kunci “Guha Pawon” di mesin pencarian internet, kemudian kita akan mendapat informasi rute menuju lokasi.
Gunung Guhapawon memiliki ketinggian 708 meter di atas permukaan laut (mdpl), menurut peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diterbitkan Badan Informasi Geospasial (BIG), lembar peta 1209-224, judul peta Padalarang, edisi I-2000, skala 1:25.000.
Gunung Guhapawon bertetangga dengan Gunung Masigit yang berada sekitar 500 meter di sebelah barat laut. Selain itu, berdekatan pula dengan Gunung Pasirbancana, Gunung Leuit, Gunung Bende, Gunung Bakung, dan lain-lain. Beberapa sungai pun mengalir di dekatnya, seperti Ci Rawa, Ci Talahab, Ci Bodas.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (12): Gunung Mandalawangi, Gunung di Perbatasan Bandung dan Garut yang Berselimut Mitos
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (13): Gunung Batu dan Potensi Wisata Edukasi Bencana Sesar Lembang
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (14): Gunung Pabeasan dan Karanghawu, Upaya Pelestarian Jejak Laut Purba di Padalarang
Toponimi terkait Cerita Sangkuriang
Toponimi Gunung Guhapawon dan gunung sekitarnya masih berkaitan erat dengan cerita Sangkuriang. Terutama dengan bagian persiapan pernikahan dengan sang pujaan hati yang tak lain dan tak bukan ternyata ibu kandungnya sendiri.
Ada Gunung Karangpanganten alias Pasir Panganten yang merupakan tempat untuk mereka memadu kasih, ada Gunung Manik sebagai tempat menyimpan perhiasan (manik dalam bahasa Sunda berarti juga perhiasan). Tak begitu jauh dari Gunung Guhapawon ada juga Gunung Bende, artinya adalah peralatan tetabuhan untuk meramaikan pesta. Di seberang gunung-gunung tersebut terdapat juga Gunung Pabeasan sebagai tempat menyimpan beras, dan Gunung Hawu sebagai tempat menanak nasi.
Kampung Cibukur sendiri toponiminya dari bukur yang artinya bahan makanan yang dimasukan ke dalam kuah atau ke dalam minuman semisal sirup atau es campur sebagai pelengkap. Bukur bisa juga berarti remah-remah makanan yang tersisa. Tentu saja makanan yang dimaksud adalah makanan persiapan pesta pernikahan Sangkuriang. Sayangnya pernikahan itu tidak pernah terjadi, yang ada malah menjadi sebuah huru-hara berakhir bencana. Sebagai ciri pernah terjadi rangkaian bencana akibat peristiwa ini, maka diberikan juga nama Gunung Bancana kepada salah satu gunung yang ada di sana.
Gunung Guhapawon juga berasal dari legenda bahwa di sinilah tempat pasukan Sangkuriang meracik makanan dan memasaknya, pawon dalam bahasa Sunda berarti dapur. Alasannya karena ada bagian dalam gua ini yang menyerupai pawon atau dapur. Kemudian di tempat itu ditemukan pula artefak dan sisa tulang belulang yang kemungkinan dahulunya merupakan tempat memasak dan makan bersama manusia prasejarah penghuni gua.
Warga setempat menyebut gua ini dengan nama Guha Pawon. Dalam bahasa Sunda, guha artinya adalah gua. Dan gunung di mana gua ini berada dinamai Gunung Guhapawon. Tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang menyebutnya dengan nama Gunung Pawon atau Pasir Pawon saja.
Di kawasan yang sama dan berdekatan, ada juga gua lainnya. Ada Gua Peteng yang artinya gua yang gelap, peteng dalam bahasa Sunda berarti gelap gulita. Kemudian ada gua Ketuk, diberi nama demikian karena terkadang ada suara ketukan berirama di sana, jika dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, gua ini adalah tempat penyimpanan alat musik tetabuhannya, sama dengan Gunung Bende di arah selatan gunung Guhapawon. Ada juga nama lain bagi gua-gua di area Gua Pawon ini, seperti Gua Barong, Gua Kopi, dan sebagainya.
Manusia Prasejarah Gua Pawon
Adalah dosen ITB, Budi Brahmantyo (almarhum), ahli geologi sekaligus peneliti dari Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) yang menjadi pionir dari penemuan rangka manusia prasejarah di gua pawon. Bersama tim ahli lainnya, Budi Brahmantyo melakukan serangkaian penelitian dan ekskavasi di kawasan Gua Pawon. Akhirnya pada 2003, berhasil menemukan rangka manusia prasejarah, kemudian berturut-turut rangka selanjutnya ditemukan pula. Jumlah keseluruhan rangka yang ditemukan sampai tahun 2017 adalah 7 kesatuan rangka dari manusia yang berbeda.
Bulan Mei 2019 masih ditemukan pula bagian gigi dan tulang tengkorak berikutnya, tetapi masih dalam penelitian Balai Arkeologi Jawa Barat.
Kemudian kerangka manusia prasejarah ini dibuat replikanya dan diletakkan kembali di Gua Pawon di tempat ditemukannya. Hal ini agar pengunjung yang datang bisa melihat dan mendapatkan suasana menarik seperti saat kerangka ini ditemukan.
Buku “Manusia dan Budaya Prasejarah di Gunung Pawon” karya Lutfi Yondri (September 2019, penerbit Balai Arkeologi Jawa Barat), menjelaskan bahwa penelitian manusia prasejarah itu dilakukan dengan seksama oleh para ahli berdasar beberapa petunjuk seperti kandungan zat dalam tulang, kedalaman serta kondisi tanah dan batuan saat ditemukan, serta peralatan modern yang digunakan untuk meneliti.
Penelitian tersebut kemudian memperkirakan masa kehidupan manusia prasejarah ini yaitu kisaran 12 sampai 6 ribu tahun yang lalu. Kemungkinan ketujuh manusia prasejarah ini tidak hidup pada periode yang sama. Umurnya juga beragam, tetapi rata-rata di kisaran yang tidak terlalu panjang, mereka meninggal dunia pada umur 30-40 tahun.
Peradaban manusia prasejarah Gua Pawon sudah cukup tertata. Mereka hidup menetap di dalam gua, tidak lagi hidup nomaden atau berpindah-pindah tempat. Makanan yang mereka konsumsi juga beragam, mulai dari tumbuhan sampai daging hewan. Gaya hidupnya juga sudah mengandung style keindahan, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa perhiasan, misal perhiasan dari taring ikan hiu, taring ini dilubangi di salah satu bagiannya agar bisa digantung atau dimasukkan tali. Untuk melubanginya mereka menggunakan mata bor dari batu obsidian (batu berwarna hitam yang kuat dan tajam). Batu obsidian ini diyakini bukan batuan asli daerah kars Padalarang, bisa jadi mereka memperolehnya dari kawasan lain yang lebih jauh. Bahkan dugaan saat ini, batu obsidian yang mereka miliki berasal dari kawasan Nagreg di Bandung timur, tepatnya dari kawasan Kendan.
Rangka yang berhasil ditemukan jenis kelaminnya ada laki-laki dan perempuan. Posisi ditemukan dalam keadaan tergeletak dan terlipat. Posisi ini diperkirakan adalah posisi saat dikubur, dengan demikian kebudayaan yang dimiliki juga sudah cukup beradab, di mana jika ada yang meninggal dikuburkan. Menurut Suhendi, juru pelihara situs cagar budaya Guha Pawon yang menemani tim penulis berkeliling di dalam gua, mengenai posisi dikubur dengan dilipat karena kepercayaan manusia prasejarah bahwa posisi meninggal dan dikubur (terlipat) harus dikembalikan ke posisi seperti saat manusia masih jabang bayi di dalam kandungan, yaitu terlipat.
Di dalam gua ada beberapa ruangan dengan fungsi berbeda, secara garis besar ruangan-ruangan ini terbagi menjadi 4 ruang. Ruang depan di sebelah barat tidak jauh dari pintu masuknya merupakan ruangan yang banyak terdapat kelelawarnya. Tetapi tenang saja, mereka tidak mengganggu dan tidak pula terganggu jika ada manusia masuk ke gua. Kelelawar ini terbang berputar di cerobong cahaya, mengeluarkan suara berfrekuensi tinggi, laksana konser musik kelas ultrasonic yang memukau.
Memasuki ruangan lainnya, tak lagi ada kelelawar. Suasana gua lebih bisa dinikmati, beberapa ornamen gua, seperti di stalaktit dan stalakmit. Tentu saja tempat-tempat tersebut menjadi titik berfoto yang menarik. Di beberapa bagian ruangan, tampak berlubang di atasnya. Lubang ini memungkinkan sinar matahari bisa menembus masuk ke dalam gua, yang menghasilkan penampakan memukau.
Ruang ketiga, berupa ruang yang sebagian besar atapnya terbuka. Di tempat ini terdapat lubang besar laksana jendela alam. Dari sini kita bisa melakukan pengamatan ke dunia luar gua. Mungkin dahulu para pemburu mengamati hutan, cuaca, dan hewan buruan dari sini, sebelum memulai pergerakan ke dunia luar.
Tiket Masuk dan Fasilitas Lainnya
Sebagai cagar budaya yang sudah dikelola cukup baik, Gua Pawon memiliki sarana yang memadai. Tiket masuk sebesar 5 ribu Rupiah, dan parkir kendaraan terjangkau. Sarana toilet, musala, aula terbuka yang disebut bale riung tersedia dan terawat. Warung yang menyediakan makanan cemilan dan makanan penangkal lapar juga ada.
Dari kawasan Gua Pawon, kita juga bisa melakukan perjalanan hiking menuju puncak gunungnya, di mana di puncaknya terdapat taman batu atau stone garden.
Sebagai catatan ketika tim penulis berkunjung ke sana, sebelum masuk gua, Suhendi mengingatkan agar menggunakan masker dan mengusap wajah dengan minyak zaitun. Jika tidak membawa minyak zaitun, bisa meminta ke Pak Suhendi yang selalu siap membawa minyak tersebut di sakunya. Fungsi masker untuk membantu pengunjung agar lebih nyaman bernapas, terutama untuk mengurangi aroma kelelawar, dan fungsi minyak zaitun agar kita terhindar dari serangga kecil yang ada di gua. Bukan serangga berbahaya, tapi cukup terganggu jika serangga ini hinggap di wajah kita.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)