• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (14): Gunung Pabeasan dan Karanghawu, Upaya Pelestarian Jejak Laut Purba di Padalarang

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (14): Gunung Pabeasan dan Karanghawu, Upaya Pelestarian Jejak Laut Purba di Padalarang

Karst yang membentang di Padalarang menjadi bukti bahwa kawasan ini dahulunya laut. Berbagai upaya dilakukan warga untuk menyelamatkan karst dari pertambangan.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Gunung Karanghawu dari sisi sebelah selatan tampak seperti sebuah jembatan batu yang menyerupai hawu atau tungku (tempat memasak tradisional), November 2021 (Foto: Gan-gan Jatnika)

17 Desember 2021


BandungBergerak.idBatu karang nan kokoh terlihat menawan, tampak seperti bridgestone atau jembatan batu dengan lubang menganga di bawahnya, letaknya di sebelah timur Gunung Pabeasan, Padalarang. Bagian tengah batu karang ini memiliki rongga atau bolong, demikian juga di bagian atasnya terdapat lubang yang bersambung dengan rongga tadi.

Kalau diperhatikan, jembatan batu tersebut bentuknya menyerupai sebuah hawu atau tungku, yaitu tempat memasak zaman dahulu. Oleh sebab itu formasi batu karang ini dikenal dengan nama Karanghawu, masyarakat sekitarnya lebih mengenal dengan nama Gunung Hawu Padalarang.

Mengenal Kawasan Karst Padalarang

Kawasan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, dikenal sebagai daerah yang memiliki sebaran pegunungan batu, tebing, dan karang yang menjulang. Kawasan ini juga identik dengan penambangan kapur dan batu.

Bila kita melintas dari Situ Ciburuy sampai perbatasan Cianjur, sepanjang jalan yang berkelok dan turun naik, akan terlihat deretan bukit karang berwarna putih kekuningan, beberapa pabrik dan tempat pengolahan batu serta kapur terlihat juga. Kepulan asap dari pabrik-pabrik ini tertiup angin ke arah jalan raya, dan menghasilkan pemandangan berasap putih keabu-abuan.

Sebelum adanya jalan tol Cikampek dan tol Padaleunyi, jalur Padalarang adalah pilihan utama jika ingin berangkat dari Bandung menuju Jakarta dan Bogor, demikian juga arah sebaliknya ketika menuju Bandung. Saat itu, truk-truk pengangkut bongkah batu dan kapur menjadi pemandangan yang sering ditemui. Terkadang beberapa kendaraan yang sedang diburu waktu menuju tujuan harus menahan sabar, penyebabnya karena terhalang oleh truk-truk yang melaju lambat.

Banyaknya bukit karang dan kapur di kawasan ini menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Apa yang jadi penyebabnya? Rupanya hal ini sudah lama diteliti oleh para ahli, bahkan sejak zaman negara kita belum merdeka. Siapa saja ahli geologi yang tercatat pernah melakukan penelitian di kawasan ini?

Beberapa nama itu di antaranya Marks (ahli stratrigafi Belanda), Stehn & Umbgrove, GHR von Koenigswald, Harting, dan lain-lain. Bahkan pada tahun 1929, kawasan karst Citatah, Padalarang, dijadikan tujuan kunjungan peserta Kongres Sains Pasifik yang ke-4, kongres yang dihadiri para ilmuwan dari kawasan lingkar Pasifik dan Eropa yang dilangsungkan di Kota Bandung.

Suasana senja di puncak Gunung Karanghawu, Kabupaten Bandung Barat, Juli 2018. (Foto: Dok Komunitas Pendaki Gunung Bandung)
Suasana senja di puncak Gunung Karanghawu, Kabupaten Bandung Barat, Juli 2018. (Foto: Dok Komunitas Pendaki Gunung Bandung)

Daerah Padalarang, khususnya Cipatat dan Citatah, memiliki warisan karst (selanjutnya ditulis kars) tertua yang masih cukup luas di Pulau Jawa. Kawasan kars Padalarang diyakini terbentuk 30-20 juta tahun yang lalu. Kawasan karsnya terbentang antara Tagogapu hingga Rajamandala, kurang lebih enam kilometer panjangnya.

Apa yang dimaksud dengan karst ini? Sederhananya, kawasan karst adalah kawasan yang dipenuhi oleh batuan dan cenderung gersang. Batuannya berupa endapan yang dihasilkan akibat pelarutan oleh air, disebut dengan nama batu gamping. Definisi ini sesuai dengan pengertian menurut ESDM (2012), karst adalah bagian daripada bentang alam yang terbentuk karena adanya sistem pelarutan dalam bentuk batu gamping maupun dolomite.

Menurut peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Rahmadi, karst berasal dari bahasa Slovenia dan Slavia (dua negara pecahan Yugoslavia), yaitu krst atau karst yang merupakan nama sebuah kawasan bebatuan di perbatasan Slavia dengan Italia bagian utara, tepatnya di dekat Kota Trieste. Kemudian tahun 1774 para pembuat peta dari Austria menandai wilayah kawasan yang didominasi hamparan batu gamping dengan nama karst.

Selanjutnya istilah kars digunakan untuk penyebutan kawasan yang memiliki karakter bebatuan yang sama di seluruh dunia. Sebelum menjadi kata krst atau karst, dikenal pula dalam bahasa Slovenia dengan nama garra atau karra.

Kata karst kemudian diserap oleh bahasa Jerman dan Inggris. Sedangkan dalam bahasa Italia digunakan istilah carso, dalam bahasa Jepang karusuto, dan dalam bahasa Indonesia adalah kras atau karst atau curing (Kamus Kebumian Purbo-Hadiwidjojo, 1994).

Secara lebih khusus, kawasan karst Padalarang adalah wilayah batu gamping atau batuan endapan yang terbentuk dari berbagai fosil cangkang binatang laut dalam kurun waktu puluhan juta tahun. Hal ini menjadi bukti bahwa di masa silam kawasan Padalarang merupakan dasar laut. Bisa kita bayangkan keadaan Padalarang dahulunya merupakan kawasan laut dangkal, seperti di Bunaken, Wakatobi, Banda, Teluk Cendrawasih, dan lain-lain, yang terkenal dengan keindahannya, tempat di mana ikan-ikan berenang lincah di antara terumbu karang berwarna-warni yang menawan tersinari cahaya matahari.

Laut dangkal ini menyusut, dan endapan batu gampingnya kemudian terangkat ke permukaan, menjelma menjadi kawasan dengan sebaran gunung-gunung batu seperti sekarang. Sungguh merupakan warisan alam yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan dan pariwisata. Salah satu bagian kars yang menarik untuk dikunjungi adalah Gunung Pabeasan dan Karanghawu.

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (11): Gunung Buleud Situwangi, Pernah Disinggahi Ilmuwan Dunia dari Tim Ekspedisi Novara Tahun 1858
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (12): Gunung Mandalawangi, Gunung di Perbatasan Bandung dan Garut yang Berselimut Mitos
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (13): Gunung Batu dan Potensi Wisata Edukasi Bencana Sesar Lembang

Suasana puncak Karanghawu dengan latar belakang Gunung Pabeasan. Sekelompok pendaki sedang bersiap melakukan latihan. Januari 2017 (Foto: Gan-gan Jatnika)
Suasana puncak Karanghawu dengan latar belakang Gunung Pabeasan. Sekelompok pendaki sedang bersiap melakukan latihan. Januari 2017 (Foto: Gan-gan Jatnika)

Lokasi dan Akses

Gunung Pabeasan dan Karanghawu (Gunung Hawu) secara administratif terletak di Kampung Cidadap, Desa Padalarang, Kecamatan Padalarang. Akses untuk menuju ke sana salah satunya adalah melalui jalur yang terlebih dahulu melewati Situ Ciburuy. Kemudian berbelok kiri dan melewati pabrik pengolahan batu. Kita bisa meminta izin kepada penjaga pabrik atau bagian keamanannya sebelum menuju ke lokasi. Jika memilih jalur ini, sesampainya di kaki gunung kita bisa memilih untuk menuju puncaknya terlebih dahulu, atau langsung turun ke bagian bawah Karanghawu.

Selain itu, bisa juga memilih jalur melalui Kampung Cidadap. Kampung ini bisa ditempuh dari Kota Bandung dengan menyusuri jalan raya Padalarang, kemudian berbelok ke arah kiri di sebuah jalan yang dikenal dengan nama Prapatan Arab, belum jelas alasan mengapa belokan ini dinamakan demikian, keterangan yang didapat bahwa dahulu di sini banyak orang Arab atau keturunan Arab. Nama jalannya tempat berbelok adalah Jalan Andir Kepuh.

Dari Kampung Cidadap ke Gunung Pabeasan dan Karanghawu bisa ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak sekitar 30-45 menit. Dari kedua jalur ini, rekomendasi yang paling menarik adalah melalui Kampung Cidadap. Kendaraan bisa dititipkan di sebuah tempat yang diberi nama Teater (Taman Edukasi Terpadu) Kampung Berseri Astra (KBA) Cidadap.

Teater KBA Cidadap merupakan basecamp dari saudara-saudara kita yang berjuang untuk mempertahankan kelestarian kawasan kars Citatah, yang tergabung dalam Forum Pemuda Peduli Karst Citatah (FP2KC). Perjalanan dari tempat ini menuju Gunung Pabeasan dan Karanghawu sangat menyenangkan, melewati perumahan warga kemudian memasuki areal perkebunan, taman buah-buah langka nusantara dan jalan setapak di tengah persawahan. Lebih istimewanya lagi, kita akan tiba di sebuah lapang kecil dengan nama Geotheater Pabeasan-Hawu. Dari sini pemandangan ke arah Gunung Pabeasan dan Karanghawu terlihat sangat jelas.

Geotheater ini juga sudah dilengkapi papan informasi yang menjelaskan secara singkat tentang kawasan kars dan kekayaan alam lainnya.

Dari papan informasi Geotheater dapat dikutip keterangan berikut: “Teras Hawu Pabeasan merupakan hamparan perbukitan dan lembah hijau yang berada di Cibakung, Kampung Cidadap, Desa Padalarang dengan berlatarkan tebing Hawu Pabeasan. Perpaduan yang indah antara pemandangan keanekaragaman hayati dan perbukitan batuan, membuat kawasan ini menjadi Pemandangan Kebumian (Geotheater) yang unik di kawasan Karst Citatah Padalarang.”

Peserta pelatihan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI) berfoto bersama di Geotheater dengan latar belakang Gunung Pabeasan dan Karanghawu (Gunung Hawu Padalarang), November 2021. (Foto: Gan-gan Jatnika)
Peserta pelatihan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI) berfoto bersama di Geotheater dengan latar belakang Gunung Pabeasan dan Karanghawu (Gunung Hawu Padalarang), November 2021. (Foto: Gan-gan Jatnika)

Jejak Sangkuriang

Nama Gunung Pabeasan dan Karanghawu dikaitkan dengan cerita Sangkuriang. Dikisahkan, Karanghawu adalah tempat pasukan Sangkuriang memasak untuk persiapan pesta pernikahannya dengan Dayang Sumbi, sedangkan Gunung Pabeasan merupakan tempat mereka menyimpan beras.

Hawu atau tungku merupakan sejenis alat masak tradisional, berfungsi seperti kompor. Bahan bakarnya adalah kayu bakar yang dimasukkan dari bagian depan yang berlobang, kemudian apinya menyala ke atas, menembus lubang tempat menyimpan peralatan memasak, biasanya berupa langseng atau dandang. Karena bentuk tebingnya menyerupai tungku, jadilah penamaannya tebing Karanghawu.

Sedangkan Kampung Cidadap tempat Karanghawu berada, toponiminya berhubungan dengan banyaknya pohon dadap di sana. Pohon dadap atau nama ilmiahnya Erythrina variegata, merupakan jenis pohon peneduh yang bisa mencapai tinggi 15-20 meter. Ciri khasnya memiliki daun lebar membulat dengan ujung lancip segitiga, terdapat duri-duri kecil berwarna hitam di batang daun, dan biasanya memiliki bunga bertandan dengan kelopak berwarna merah.

Mempertahankan Karst dari Pertambangan

Gunung Pabeasan dan Karanghawu dengan segala keragaman kekayaan dan sejarah alamnya, jelas memiliki banyak potensi. Sangat cocok dipilih sebagai tempat wisata dan edukasi. Dengan sarana yang sudah tersedia saat ini, pengunjung bisa menikmati keindahan dan nilai-nilai pengetahuan yang terdapat di sana. Cocok untuk wisata hiking ringan atau juga berkemah menikmati matahari terbit.

Terdapat juga sarana wisata ekstrem menguji nyali, seperti panjat tebing dengan beberapa jalur yang tersedia, berikut tingkat kesulitan pemanjatan yang beragam. Di sana juga acap kali diselenggarakan kegiatan slackline, yaitu berjalan di atas seutas tali yang dibentangkan di antara dua titik ketinggian tebing Karanghawu, dibutuhkan kemampuan konsentrasi tinggi untuk menjaga keseimbangan badan saat berjalan melewati bentangan talinya. Ada juga pemasangan hammock dengan ketinggian yang mampu memacu adrenaline di antara dua menara tebing Karanghawu.

Tentu saja keragaman wisata ekstrim tadi harus dibekali kemampuan dan peralatan yang memenuhi syarat keselamatan, serta memerlukan pendampingan dari instruktur yang memiliki kemampuan dan kecakapan memadai.

Gunung Pabeasan memiliki ketinggian 901 meter di atas permukaan laut (mdpl), sedangkan puncak Karanghawu berada di ketinggian 827 mdpl, menurut peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diterbitkan Badan Informasi Geospasial (BIG), lembar peta 1209-224, judul peta Padalarang, edisi I-2000, skala 1:25.000.

Piala Kalpataru yang diraih FP2KC sebagai apresiasi pemerintah akan kegiatan penyelamatan dan pelindungan kars Citatah, November 2021. (Foto : Gan-gan Jatnika).
Piala Kalpataru yang diraih FP2KC sebagai apresiasi pemerintah akan kegiatan penyelamatan dan pelindungan kars Citatah, November 2021. (Foto : Gan-gan Jatnika).

Saat ini kondisi kawasan Karanghawu relatif dalam kondisi yang terperhatikan. Tetapi tidak demikian dengan beberapa gunung batu di sekitarnya. Penambangan batu dan kapur telah merusak dan menghilangkan kekayaan alam yang sangat berharga ini.

Saudara-saudara kita dari Forum Pemuda Peduli Karst Citatah terus mengupayakan kelestarian kawasannya. Beragam kegiatan dan aksi nyata telah dilakukan sejak FP2KC dirintis tahun 2009. Sosialisasi akan pentingnya gunung-gunung batu dipertahankan terkadang mendapat tantangan dan pertanyaan dari warga sekitar. Tetapi lambat laun, kesadaran warga semakin tercipta dan semakin banyak yang mendukung kegiatan FP2KC.

Bukti dari keseriusan FP2KC adalah perhatian dari pemerintah yang menganugrahkan Piala Kalpataru kepada forum ini. Piala Kalpataru merupakan bentuk apresiasi tertinggi dari pemerintah kepada individu atau kelompok masyarakat yang berjasa dalam melindungi dan menyelamatkan lingkungan hidup. Istilah Kalpataru ini diambil dari bahasa Sansekerta yaitu kalpavriksha yang berarti pohon kehidupan.

Ketua FP2KC, Deden Syarif Hidayat, alam obrolan santai di sela-sela diklat PGWI (Pemandu Geowisata Indonesia) yang diselenggarakan di Teater KBA Cidadap, 27-28 November 2021, menyebut penghargaan yang diraihnya dinilai belum seberapa. Penambangan sampai hari ini masih mengancam kelestarian lingkungan kawasan Karst Citatah.

Semoga apa yang saudara-saudara kita lakukan dalam usaha penyelamatan dan pelindungan alam, khususnya bentang alam karst Citatah, dapat terus menghasilkan yang terbaik bagi kita semua, dan semakin banyak yang terlibat mendukung serta berpartisipasi di dalamnya.

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//