• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (12): Gunung Mandalawangi, Gunung di Perbatasan Bandung dan Garut yang Berselimut Mitos

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (12): Gunung Mandalawangi, Gunung di Perbatasan Bandung dan Garut yang Berselimut Mitos

Gunung Mandalawangi yang tidak terlalu menjulang masih kaya akan bebatuan dan pepohonan berukuran besar. Berpotensi sebagai hutan konservasi dan wisata religi.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Gunung Mandalawangi dilihat dari arah utara, Jalan Raya Nagreg, Kabupaten Bandung, Februari 2021. (Foto : Gan-gan Jatnika).

30 November 2021


BandungBergerak.id -Sebuah gunung dengan ketinggian yang tidak terlalu menjulang bisa kita lihat ketika melintas di Jalan Raya Nagreg. Gunung Mandalawangi, namanya. Posisinya ada di sisi selatan jalan yang menghubungkan Bandung dengan Garut.

Ketinggian gunung di perbatasan Bandung dan Garut ini 1.640 meter di atas permukaan laut (Mdpl), berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), lembar peta 128-643 edisi I – 2001, judul peta Majalaya skala 1 : 25.000. Sedangkan di kalangan pendaki, ketinggian gunung ini lebih dikenal 1.650 Mdpl.

Lokasi dan Akses

Lokasi Gunung Mandalawangi secara administratif berada di perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Lereng dan kaki gunung sebelah utara berada di Desa Mandalawangi dan Desa Bojong, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. Sementara itu, lereng dan kaki sebelah selatan cenderung masuk wilayah Desa Karangtengah, Desa Karangmulya dan Desa Mandalasari, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut.

Untuk menuju lokasi Gunung ini, kita bisa menempuh perjalanan dari tugu lingkaran Cibiru, sebagai batas Kota Bandung, menuju ke arah timur. Di Jalan Raya Nagreg sisi sebelah selatan, kita akan menemukan Jalan Citaman yang berbelok menuju kaki Gunung Mandalawangi, tepatnya di Kampung Cibisoro, Desa Bojong. Patokan berbelok dari jalan raya adalah Markas Batalyon Yonif Linud/Para Raider 333 Cicalengka.

Batalyon Infanteri Para Raider 33/Tri Dharma (disingkat Yonif Para Raider 330/Tri Dharma) merupakan salah satu dari tiga batalyon Para Raider yang berada di bawah naungan Brigade Infanteri Para Raider 17/Kujang 1, Divisi Infanteri 1/Kostrad . Dua batalyon lainnya yaitu Yonif Para Raider 328/Dirgahayu yang berlokasi di Cilodong, Depok , dan Yonif Para Raider 305/Tengkorak yang berlokasi di Karawang.

Mendaki ke salah satu puncak Gunung Mandalawangi, kita akan menemukan sebuah tugu dengan lambang Batalyon Kujang 1. Puncak ini pun dikenal dengan nama Puncak Kujang.

Tugu Batalyon Kujang 1 di salah satu puncak Gunung Mandalawangi, Desember 2020. (Foto: Gan-gan Jatnika)
Tugu Batalyon Kujang 1 di salah satu puncak Gunung Mandalawangi, Desember 2020. (Foto: Gan-gan Jatnika)

Toponimi dan Mitos

Nama Gunung Mandalawangi memang tidak begitu dikenal. Tidak seperti gunung lainnya di Bandung Raya, seperti Gunung Tangkubanparahu, Gunung Burangrang, Gunung Malabar, Gunung Patuha, Gunung Manglayang, dan lainnya. Bahkan, jika menyebut nama Mandalawangi, para pendaki lebih mengenal Mandalawangi sebagai sebuah lembah yang ada di puncak Gunung Pangrango.

Demikian juga dengan toponimi alias asal-usul namanya. Cukup sulit menemukan sumber yang bisa memastikan jawaban dari pertanyaan ini.

Salah satu versi menyebutkan nama Mandalawangi terkait dengan cerita legenda daerah Majalaya yang ada hubungannya juga dengan daerah Rajamandala. Rajamandala yang dimaksud berada di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur.

Konon, dahulu ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Raja Mandala. Raja Mandala mempunyai sembilan orang anak laki-laki. Yang paling besar bernama Mandalawangi, kemudian berturut-turut bernama Mandalagiri, Mandalacipta, Mandalarasa, Mandalajati, Mandalabraja, Mandalaseta, Mandaladenta, Mandalaraga, serta satu-satunya anak perempuan sebagai bungsunya (anak kesepuluh) yang diberi nama Putri Mandalasari.

Saat masih bayi, dengan terpaksa Putri Mandalasari harus dibuang ke tengah hutan agar rakyat di kerajaan yang sedang terkena wabah penyakit bisa sembuh, serta kemarau panjang segera berakhir. Di tengah hutan, Putri Mandalasari kemudian ditemukan oleh Ki Dasta. Karena ditemukan di sela-sela pepohonan, maka Ki Dasta memberinya nama Sela Asih, atau dipanggil dengan sebutan Putri Selasih.

Kelak Putri Selasih yang sudah tumbuh dewasa dan cantik, bertemu dengan pemuda gagah, sakti, dan tampan. Mereka pun berniat melangsungkan pernikahan. Tetapi, nyatanya pemuda tersebut adalah Mandalawangi, yang tak lain merupakan kakak kandungnya.

Singkat cerita, mereka tidak jadi menikah dan berubah menjadi gunung. Putri Selasih menjadi Gunung Selasih, sementara kakaknya menjadi Gunung Mandalawangi. Letak Gunung Selasih tidak terlalu jauh dari Gunung Mandalawangi, tepatnya di arah barat daya yang mengarah ke daerah Majalaya.

Versi lain dari asal-usul nama Gunung Mandalawangi muncul dari keterkaitannya dengan sebuah kerajaan yang berpusat di kawasan Nagreg, yaitu kerajaan Kéndan. Kerajaan yang diperkirakan mengalami masa kejayaan pada abad keenam masehi, atau pada masa senjakala Kerajaan Tarumanagara, merupakan cikal-bakal lahirnya kerajaan Galuh.

Merujuk berbagai sumber sejarah, pada masa itu dikenal adanya dua tempat sebagai bagian dari kehidupan sosial, yaitu kabuyutan dan kamandalaan. Kabuyutan dikenal sebagai tempat untuk kegiatan rohani dan religi, seperti untuk menyepi, melaksanakan ritual ibadah, serta belajar agama atau kepercayaan kebatinan sesuai dengan yang berkembang saat itu. Sedangkan kamandalaan adalah tempat belajar ilmu-ilmu keduniaan, seperti tata negara dan juga ilmu kanuragan.

Baik kabuyutan maupun kamandalaan biasanya berada di kawasan dekat sebuah gunung. Pada masa kerajaan Kéndan, yang menjadi kawasan kabuyutan adalah kawasan Gunung Manglayang. Sedangkan yang menjadi kawasan kamandalaan adalah kawasan yang kemudian dikenal dengan nama Gunung Mandalawangi, yang artinya sebuah tempat kemandalaan yang harum.

ana asal-usul yang lebih tepat dari kedua versi ini, tentu masih harus ditelaah lebih dalam lagi. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ada versi lain, di luar kedua versi tersebut, yang belum banyak diketahui.

Gunung Mandalawangi memang masih menyimpan banyak misteri. Termasuk soal berapa puncakan yang ada di gunung ini. Bila dilihat sekilas dari arah Jalan Raya Nagreg, gunung ini terlihat seperti memiliki lima puncakan, tetapi kalau dilihat dari daerah Kadungora, Garut, akan berbeda lagi jumlah puncaknya. Menurut masyarakat setempat, gunung ini bahkan memiliki 25 puncakan. Sebagian puncakannya dipercaya tidak kasat mata alias hanya bisa dilihat dan ditemukan oleh orang-orang yang mampu saja, dan oleh orang biasa jika kawenehan atau kebetulan.

Selain mitos jumlah puncaknya, ada juga mitos seorang nenek yang terkadang menampakkan diri di hutan Gunung Mandalawangi. Pernah ada kisah tentang masyarakat lokal yang tersesat, kemudian ditunjukkan arah kembali pulang oleh seorang nenek misterius.

Tak kalah menariknya, mitos penunggang kuda tanpa kepala yang ada di gunung ini. Konon penunggang kuda tanpa kepala ini terdapat juga di gunung tetangganya, yaitu Gunung Kaledong. Selain itu, ada juga mitos petilasan Nini Ranteng di mana petilasannya dipercaya ada di dua tempat, yaitu di puncak utama dan di sebelah barat daya Puncak Kujang. 

Mitos lainnya yang beredar di masyarakat mengenai gunung ini adalah jangan keseringan menanyakan arah atau jalan saat berada di hutannya.

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (11): Gunung Buleud Situwangi, Pernah Disinggahi Ilmuwan Dunia dari Tim Ekspedisi Novara Tahun 1858
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (10): Gunung Puncak Besar, yang Tertinggi di Pegunungan Malabar
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (9): Gunung Burangrang, Saksi Bisu Sejarah Gunung Sunda Purba dan Kerajaan Saung Agung

Salah satu pohon berukuran besar di jalur pendakian Gunung Mandalawangi, Desember 2020. (Foto: Gan-gan Jatnika)
Salah satu pohon berukuran besar di jalur pendakian Gunung Mandalawangi, Desember 2020. (Foto: Gan-gan Jatnika)

Petunjuk Pendakian

Untuk mendaki gunung ini, kita sebaiknya ditemani seseorang yang pernah mendakinya, atau bisa minta diantar oleh masyarakat setempat. Waktu yang paling mengesankan adalah saat musim hujan. Memilih pendakian melalui titik awal di Kampung Cibisoro, nantinya kita akan bertemu dengan sungai kecil yang jernih. Sungai-sungai kecil ini membentuk beberapa curug atau air terjun kecil yang menarik. Di musim kemarau, sungai kecil ini hanya tampak seperti alur bebatuan yang berserakan.

Akses menuju Kampung Cibisoro sudah dijelaskan di bagian atas tulisan ini. Kendaraan bisa dititipkan di rumah warga. Jadi tidak perlu khawatir jika mau mendaki seharian pulang-pergi, atau mendaki sambil berkemah. Salah satu warga yang tempatnya biasa dijadikan penitipan kendaraan adalah tempat Kang Iing, tak jauh dari Masjid Nurul Iman di ujung kampung. Sangat penting untuk melapor atau meminta izin kepada masyarakat setempat sebelum memulai pendakian.

Dari ujung Kampung Cibisoro, yang namanya berasal dari sebuah pohon yang bernama Bisoro (Ficus hispida), pendakian dimulai dengan menyusuri perkebunan warga dan rumpun-rumpun bambu yang sangat menawan. Setelah itu kita akan berjalan di tepian sungai kecil nan jernih, yang dapat dinikmati hanya di musim hujan.

Keistimewaan lain dari pendakian jalur ini adalah bebatuan dan pepohonan dengan ukuran besar. Sangat menyenangkan, ternyata gunung mungil dengan ketinggian tidak menjulang, memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Sepanjang perjalanan, penglihatan kita betul-betul disegarkan dengan pemandangan dan suasana yang hijau alami.

Puncak pertama yang biasa dicapai melalui jalur ini adalah puncak bayangan, berupa lahan datar yang cukup luas. Dari lokasi ini, kita bisa memilih langsung ke puncak utama, yang dikenal sebagai Puncak Nini Ranteng, atau memilih menuju Puncak Barat, di mana terdapat tugu Kujang seperti yang diuraikan sebelumnya.

Selain jalur Kampung Cibisoro, sekarang ada jalur Cijapati. Jalur ini sudah tertata lebih baik. Terdapat juga basecamp untuk memulai pendakiannya. Letaknya di Kampung Pabrik, Desa Mandalasari, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut.

Berbeda dengan jalur Kampung Cibisoro, pendakian melalui jalur Cijapati ini lebih menarik bila dilakukan justru bukan pada saat musim penghujan. Karena puncakan yang dilalui lebih terbuka, pemandangan sekitar gunung bisa lebih dinikmati dari jalur ini, dan tanjakannya yang relatif curam lebih mudah dilalui jika kondisi jalur tidak licin atau basah. 

Jalur pendakian lainnya bisa ditempuh melalui jalur Gunung Buleud yang ada di sebelah barat Gunung Mandalawangi.

Suasana pendakian Gunung Mandalawangi saat musim hujan,  menyusuri sungai kecil nan jernih, Maret 2018. (Foto: Gan-gan Jatnika)
Suasana pendakian Gunung Mandalawangi saat musim hujan, menyusuri sungai kecil nan jernih, Maret 2018. (Foto: Gan-gan Jatnika)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Sebagai gunung dengan kondisi hutan yang masih asri dan pohon-pohon besar dengan akar yang kokoh, Gunung Mandalawangi diandalkan sebagai sumber dan resapan air bagi baik warga Kabupaten Bandung maupun Kabupaten Garut. Tercatat ada puluhan mata air di kawasan gunung ini.

Potensi wisata kawasan ini juga sangat besar, bahkan terus berkembang, baik potensi wisata alam maupun religi. Contohnya, potensi air terjun Cimandiracun atau Cibuniracun di Mandalagiri. Namanya memang terkesan seram, tapi mulai banyak yang mengenalnya sebagai tempat wisata, khususnya wisata religi bagi mereka yang meyakininya.

Tanah dan kondisi alam di kaki Gunung Mandalawangi juga sangat cocok untuk ditanami pohon keras yang produktif. Lebih cocok dibandingkan tanaman sayuran. Pihak Perhutani juga telah mempersilakan masyarakat untuk mengelolanya, tentu saja di bawah koordinasi dinas terkait dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang harus dibentuk terlebih dahulu.

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)

Editor: Redaksi

COMMENTS

//