• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (10): Gunung Puncak Besar, yang Tertinggi di Pegunungan Malabar

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (10): Gunung Puncak Besar, yang Tertinggi di Pegunungan Malabar

Di Kampung Cinyiruan, yang menjadi jalur pendakian ke Gunung Puncak Besar Malabar, pengunjung dan pendaki bisa menikmati keindahan alam dan kekayaan sejarahnya.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Sisi selatan Gunung Puncak Besar Malabar tampak menjulang dilihat dari perkebunan teh Kertamanah, Pangalengan, Agustus 2020 . (Foto : Gan-gan Jatnika)

13 November 2021


BandungBergerak.idPegunungan Malabar bisa disebut sebagai pegunungan terbesar di Bandung Raya. Pegunungan ini memiliki banyak puncakan serta gunung-gunung di dalam kawasannya sehingga tidak salah jika gunung tertingginya disebut sebagai Puncak Besar Malabar.

Gunung Puncak Besar Malabar merupakan bagian dari Pegunungan Malabar. Selain gunung ini, di Pegunungan Malabar terdapat pula gunung-gunung lainnya. Ada Gunung Puntang, Gunung Haruman, Gunung Sangar, dan Gunung Ipis. Bahkan Gunung Wayang, Gunung Windu, Gunung Bedil, dan Gunung Gambung Sedaningsih pun dikategorikan sebagai bagian dari Pegunungan Malabar.

Toponimi Pegunungan Malabar dan Gunung Puncak Besar

Toponimi atau asal nama Pegunungan Malabar sangat menarik ditelusuri karena cukup beragam versinya. Ada yang menyebut nama Malabar diambil dari bentuk gunungnya yang besar dan melebar. Dari kata ‘melebar’ inilah muncul kata Malabar.

Versi yang lain berkaitan dengan mitos Prabu Siliwangi. Konon Prabu Siliwangi dilahirkan di sini. Kata lahir dalam bahasa Sunda adalah “babar”, sehingga tempat melahirkannya atau “ngababarkeun” menjadi asal nama Malabar.

Masih terkait dengan mitos itu, ada tempat mengasuh Prabu Siliwangi yang kemudian menjadi Gunung Haruman. Harum dalam bahasa Sunda adalah wangi. Ada juga air terjun yang diberi nama Curug Siliwangi, yang diyakini konon berasal dari air pipis sang raja sewaktu bayi.

Versi lain menyebut nama Malabar diadopsi dari sebuah gunung dengan nama yang sama di India. Disebutkan, nama Malabar adalah pemberian orang Belanda saat memulai penanaman teh di sana. Nama Malabar dipakai karena kawasan tersebut mempunyai kondisi alam dan tanah yang mirip sebuah gunung di negara India yang juga bernama Malabar.

Tentu saja versi ini bisa dibantah karena jauh sebelum orang Belanda datang, nama Gunung Malabar sudah disebutkan dalam catatan Bujangga Manik tahun 1500-an. Dalam catatannya, sang pangeran menulis sebagai berikut :

nyanglandeuh ka Tigal Luar,
ka tukang Bukit Malabar,
kagedeng Bukit Bajoge

Entahlah jika ada yang menyebutkan bahwa nama Malabar memang adopsi dari Gunung Malabar di India, tetapi yang memberi namanya adalah para pendahulu dari India yang menyebarkan agama Buddha atau Hindu.

Sementara itu, penamaan Gunung Puncak Besar, selain terkait dengan besar kawasan gunungnya, terkait juga dengan istilah dalam bahasa Belanda, yaitu “groote” atau besar. Saat itu beberapa nama tempat diberi istilah ini, misalnya jalan raya yang dibangun Daendels diberi nama “De Groote Postweg” atau Jalan Raya Pos Besar.

Pegunungan Malabar beserta sebagian gunung-gunungnya dilihat dari sisi utara, Juni 2010. Gunung Puncak Besar merupakan yang tertinggi dari semuanya. (Foto:Gan Gan Jatnika)
Pegunungan Malabar beserta sebagian gunung-gunungnya dilihat dari sisi utara, Juni 2010. Gunung Puncak Besar merupakan yang tertinggi dari semuanya. (Foto:Gan Gan Jatnika)

Lokasi dan Akses Pendakian

Pegunungan Malabar terletak di selatan Bandung Raya, tepatnya di kawasan Pangalengan. Gunung Puncak Besar, sebagai puncak tertingginya, berada di wilayah administratif Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Ketinggian Gunung Puncak Besar Malabar, berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) lembar peta 1208-632 edisi I-1999 judul peta: Lebaksari, adalah 2.341 Mdpl (meter di atas permukaan laut), sedangkan yang populer di kalangan pendaki ketinggiannya adalah 2.343 Mdpl.

Uniknya, dalam peta lama yang dikeluarkan Belanda pada akhir abad ke-19, ketinggian Gunung Puncak Besar Malabar malah tercatat 2.342,6 Mdpl.

Untuk menuju Gunung Puncak Besar Malabar, tersedia beberapa jalur. Bahkan, boleh dibilang sangat banyak. Di antaranya adalah jalur Curug Panganten dan jalur Kampung Cinyiruan.

Yang paling populer dilalui adalah jalur Kampung Cinyiruan. Selain lebih bersahabat dengan pendaki, jalur ini menyediakan basecamp sehingga kegiatan pendakian lebih terkoordinasi dan terawasi. Demikian juga kendaraan para pendaki bisa lebih aman karena bisa dititipkan.

Kampung Cinyiruan tidak sulit diakses dari Kota Bandung. Tinggal mengikuti jalan provinsi menuju Pangalengan, kemudian di pertigaan Kertamanah, dekat toko oleh-oleh khas Pangalengan, Toko Pia Kawitan, kita mengambil arah belokan ke kiri. Selanjutnya kita menyusuri jalan yang sudah dibeton sampai ke gapura Kampung Cinyiruan, dengan sebuah lapangan sepakbola di sisi kiri jalan.

Dari Kampung Cinyiruan, jalur pendakian terbentang cukup jelas. Menyusuri perkebunan, kita akan tiba di sebuah area datar yang cukup luas, yang sering disebut sebagai “Datar Peda”. Di Datar Peda, pendaki bisa beristirahat atau memasang tenda jika ingin menginap.

Dari Datar Peda, pendakian ke Gunung Puncak Besar membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam. Puncak gunungnya berupa lahan lapang kecil yang masih rimbun, bukan area terbuka dengan pemandangan luas terbentang. Tipe puncak seperti ini sangat cocok untuk beristirahat dan mencari ketenangan. Udara segar dan keteduhannya memberi rasa nyaman yang menyenangkan.

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (9): Gunung Burangrang, Saksi Bisu Sejarah Gunung Sunda Purba dan Kerajaan Saung Agung
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (8): Gunung Pangparang, Gunung Tertinggi di Bandung Timur
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (7): Gunung Sangar Arjasari, Si Mungil nan Cantik di Kaki Pegunungan Malabar

Pegunungan Pangalengan bisa dinikmati dari kawasan wisata terpadu Kampung Cinyiruan, Pangalengan, Kabupaten Bandung, September 2021. (Foto: Gan Gan Jatnika)
Pegunungan Pangalengan bisa dinikmati dari kawasan wisata terpadu Kampung Cinyiruan, Pangalengan, Kabupaten Bandung, September 2021. (Foto: Gan Gan Jatnika)

Potensi Sejarah Kampung Cinyiruan

Kampung Cinyiruan yang terletak di kaki Gunung Puncak Besar Malabar, selain menjadi tempat mengawali pendakian, memiliki banyak potensi. Kampung yang secara administratif berada di wilayah Desa Pangalengan, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung ini, mempunyai catatan sejarah yang panjang, selain potensi ekonomi serta sumber daya masyarakat yang sangat baik.

Di Kampung Cinyiruan inilah terdapat perkebunan kina pertama di Nusantara yang dibuka sejak tahun 1855. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya tugu peringatan 100 tahun perkebunan kina Cinyiruan. Tugu yang dibangun bersamaan dengan tahun penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung ini, bertuliskan: “Peringatan 100 tahun berdirinya perkebunan kina P.P.N Cintjiruan, 17 Desember (1855-1955)”. Tugu peringatan ini berdiri di halaman kantor perkebunan Cinyiruan, yang berukuran cukup luas dan sudah ditata menjadi taman bunga yang sangat indah.

Selain tugu itu, terdapat pula patung dada seorang ahli botani Belanda kelahiran Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn. Dia adalah seorang dokter yang banyak menghabiskan waktunya untuk menjelajah pegunungan di Nusantara. Selain itu, Junghuhn juga ahli dalam urusan iklim tropis dan tumbuhan. Jasanya yang besar terhadap pengembangan tumbuhan, terutama kina, membuatnya disebut sebagai Bapak Kina. Kawasan Bandung ketika itu disebut sebagai ibu kota Kina dunia, sekaligus penghasil kina terbesar.

Taman di halaman kantor perkebunan Cinyiruan sudah terkelola dengan rapi. Terdapat bunga-bunga indah yang ditata sedemikian rupa. Ada yang menyerupai bentuk bulan sabit, bola dunia, arah mata angin, dan matahari. Terdapat bunga berwarna kuning yang sangat indah, dengan nama ilmiahnya Coreopsis lanceolate, yang oleh masyarakat disebut bunga koneng.  

Terdapat juga taman bermain anak-anak, lengkap dengan ayunan dan jungkat-jangkit. Di sana, bisa ditemui sebuah perpustakaan mini berbentuk seperti kotak telepon, yang dinamai “Kolecer”, kependekan dari kotak literasi cerdas, dengan sebuah patung berupa buku atau majalah berukuran raksasa di sampingnya. Dengan tiket masuk murah meriah, yakni lima ribur rupiah, taman ini menarik sekali untuk dikunjungi!   

Tugu peringatan 100 tahun (1855-1955) perkebunan kina Cinyiruan dan patung dada Franz Wilhelm Junghuhn di halaman kantor perkebunan, September 2021. (foto : Gan-gan Jatnika)
Tugu peringatan 100 tahun (1855-1955) perkebunan kina Cinyiruan dan patung dada Franz Wilhelm Junghuhn di halaman kantor perkebunan, September 2021. (foto : Gan-gan Jatnika)

Pengelolaan kawasan wisata di Kampung Cinyiruan saat ini dikelola dalam sebuah program yang disebut “Sabda Desa Eduwisata”. Tidak jauh dari taman Sabda Desa, sedikit berjalan ke atas perbukitan, telah dibangun area perkemahan di tengah perkebunan teh. Perkemahan ini dinamakan Chinchona Leisure Camp. Dari area ini, pemandangan kaldera Pangalengan yang dihasilkan dari aktivitas Gunung Pangalengan Purba bisa dinikmati. Bahkan jika cuaca sedang cerah, Situ Cileunca sebagai salah satu ikon wisata Bandung selatan, khususnya Pangalengan, bisa terlihat.

Juga di Kampung Cinyiruan, terdapat rumah peninggalan ahli botani Belanda Gerrald Alfred Cup, yang oleh masyarakat sekitar disebut Tuan Keup. Makamnya juga ada di sana, di atas bukit dengan kerimbunan pohon beringin dan sebatang pohon kina. Rumah dan makam Tuan Keup tidak sulit untuk dikunjungi. Kita bisa meminta bantuan warga untuk mengantar.

Berkunjung ke kawasan kaki Gunung Puncak Besar Malabar untuk menikmati keindahan alam dan sejarah kejayaan perkebunan kina, sangat menyenangkan. Apalagi jaraknya relatif tidak jauh dari Kota Bandung. Benar-benar alternatif tujuan perjalanan yang layak jadi pilihan bagi semua kalangan dan umur.

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)

Editor: Redaksi

COMMENTS

//