• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (9): Gunung Burangrang, Saksi Bisu Sejarah Gunung Sunda Purba dan Kerajaan Saung Agung

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (9): Gunung Burangrang, Saksi Bisu Sejarah Gunung Sunda Purba dan Kerajaan Saung Agung

Salah satu gunung yang paling dikenal di kawasan Bandung Raya sekaligus favorit bagi para pendaki karena keindahan pemandangan di puncaknya adalah Gunung Burangrang.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Suasana pagi di puncak Gunung Burangrang, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Agustus 2017. (Foto: Gan Gan Jatnika)

5 November 2021


BandungBergerak.idGunung Burangrang secara administratif berada di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Purwakarta. Tingginya yang menjulang membuat gunung ini bisa dilihat dari berbagai penjuru. Bahkan dari Kota Bandung, Gunung Burangrang cukup jelas penampakannya, tentu saja dengan catatan kondisi cuaca sedang mendukung. Letaknya berdekatan dengan Gunung Tangkubanparahu.

Sebagian wilayah Gunung Burangrang, terutama sisi bagian barat yang berada di wilayah Purwakarta, merupakan kawasan cagar alam. Pendakian ke puncak gunung ini sebaiknya dilakukan dengan memilih jalur yang sudah tersedia di luar kawasan cagar alam.

Ketinggian Gunung Burangrang menurut peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar Cimahi, yang diterbitkan olah Badan Informasi Geospasial (BIG) edisi I-2001 skala 1:25.000, adalah 2.064 meter di atas permukaan laut (Mdpl), tetapi di kalangan pendaki lebih dikenal ketinggiannya 2.050 Mdpl.

Asal Nama dan Sejarah

Nama Gunung Burangrang sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum bangsa Eropa datang dan menduduki Nusantara. Namanya bisa ditemukan di dalam naskah Bujangga Manik.

Seperti diketahui, Bujangga Manik adalah bangsawan muda dari Kerajaan Pakuan yang dua kali melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa sekitar tahun 1500-an Masehi. Catatan perjalanannya tersimpan dari tahun 1627 sampai sekarang dengan kode naskah MS. Jav.b.3 (R), di perpustakaan Bodleian, Universitas Oxford, Inggris.

Dalam catatannya, Bujangga Manik menulis sebagai berikut:

Itu Tangkuban Parahu,
tanggeran na Gunung Wangi.
Itu ta gunung Marucung, ta(ng)geran na Sri Manggala.
Itu ta bukit Burangrang,
ta(ng)eran na Saung Agung.

Dalam naskah ini disebutkan bahwa di kaki Gunung Burangrang pernah ada tanggeran atau tapal batas sebuah kerajaan, yaitu kerajaan Saung Agung.

Menurut para ahli sejarah, kerajaan Saung Agung berlokasi di daerah Purwakarta bagian timur, dan sebagian wilayahnya berada di lereng Gunung Burangrang, lebih tepatnya di daerah Wanayasa sekarang. Kekalahan Saung Agung dari Kesultanan Cirebon menjadi penyebab runtuhnya kerajaan ini pada akhir tahun 1600-an, sehingga namanya diganti menjadi Wanayasa.

Mengenai asal nama Gunung Burangrang sendiri, terdapat beberapa versi. Ada yang meyakini bahwa nama Burangrang diambil dari kata “jarang” atau “carang”. Ada pun yang dimaksud dengan “jarang” atau “carang” di sini adalah bentuk lembahan atau jurang-jurangnya yang jarang atau carang dalam arti renggang atau tidak rapat satu sama lainnya.

Versi lain yang lebih populer, nama Gunung Burangrang berasal dari kata “rangrang” atau ranting-ranting pohon. Konon, pada saat Sangkuriang membuat perahu dari kayu, ranting-ranting atau "rangrang"-nya menjelma menjadi sebuah gunung di sebelah barat Gunung Tangkubanparahu. Gunung inilah yang kemudian dinamakan Gunung Burangrang.

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (4): Gunung Pacet Menyingkap Misteri Keberadaan Danau Manglayang
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (5): Gunung Pabeasan Arjasari, dari Kerimbunan Hutan hingga Batu Ampar yang Menawan
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (6): Gunung Nagara Padang Ciwidey dan Simbol-simbol Perjalanan Hidup Manusia
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (7): Gunung Sangar Arjasari, Gunung Mungil nan Cantik di Kaki Pegunungan Malabar
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (8): Gunung Pangparang, Gunung Tertinggi di Bandung Timur

Pemandangan dari puncak Gunung Burangrang ke arah timur, tampak Situ Lembang berada di cekungan kaldera Gunung Sunda Purba, Oktober 2021 (Foto Gan Gan Jatnika).
Pemandangan dari puncak Gunung Burangrang ke arah timur, tampak Situ Lembang berada di cekungan kaldera Gunung Sunda Purba, Oktober 2021 (Foto Gan Gan Jatnika).

Jalur Pendakian dan Sejarah Gunung Sunda Purba

Untuk mendaki Gunung Burangrang, ada beberapa pilihan jalur yang tersedia tanpa melintasi kawasan cagar alamnya. Misalnya, Jalur Tanjakan Mentari, Jalur Komando, dan Jalur Legokhaji.

Dari beberapa jalur tersebut, jalur yang paling sering dilalui adalah jalur Legokhaji. Jalur ini bisa diakses dengan cukup mudah dari Kota Bandung. Bisa melalui Jalan Raya Cimahi, kemudian dari Alun-alun Cimahi berbelok ke arah utara dan melanjutkan perjalanan sampai lokasi Sekolah Polisi Negara (SPN) Cisarua.

Begitu pun dari arah Ledeng atau Lembang. Dari kedua arah ini, kita tinggal mengarahkan perjalanan menuju SPN Cisarua tadi. Dari SPN Cisarua, kita melanjutkan perjalanan melewati pasar Barukai, kemudian menuju basecamp pendakian Legokhaji.

Menurut warga sekitar yang berjualan di area basecamp, kawasan ini disebut daerah Legokhaji karena terletak di sebuah “legok” atau lembah yang di masa lalu merupakan sebuah perkampungan, dengan sesepuhnya bernama Eyang Haji Darussalam. Kampung tersebut kemudian diambil alih oleh Perhutani, dan masyarakatnya dipindahkan ke area permukiman yang lebih baik, tidak jauh dari lokasi perkampungan semula.

Jika memilih jalur pendakian Legokhaji, kita bisa menitipkan kendaraan di basecamp-nya. Ttarif parkir sebesar 10 ribu rupiah per motor, dan tiket masuk 10 ribu rupiah per orang.

Perjalanan dari basecamp menuju puncak biasanya ditempuh selama 3-4 jam. Selama perjalanan, kita akan melewati empat pos. Dari pos 1 sampai ke pos 2, jalur masih relatif landai. Sedangkan dari pos 3 sampai 4, jalur sudah terus-terusan menanjak, hampir tak ada bonus berupa jalan landai.

Namun, semua rasa lelah dan letih setelah menempuh tanjakan yang seakan tak berujung, akan hilang berganti rasa senang. Perjuangan para pendaki terbayar tuntas dengan pemandangan indah di depan mata. Jika pandangan dilayangkan ke arah selatan, akan tampak pemandangan Kota Bandung dan Cimahi. Permukiman penduduk perkotaannya dengan jelas bisa kita nikmati dari puncak. Kemudian di arah timur, akan tampak pemandangan kaldera dan dinding yang dihasilkan oleh letusan Gunung Sunda Purba jutaan tahun yang lalu.

Ada pun yang dimaksud dengan kaldera adalah lubang hasil letusan gunung berapi, biasanya berbentuk seperti cawan atau katel besar dengan diameter lebih dari 2 kilometer. Apabila diameter lubang hasil letusannya kurang dari 2 kilometer, maka lubang itu disebut dengan kawah.

Gunung Sunda Purba ketika belum meletus diperkirakan memiliki ketinggian lebih dari 4.000 Mdpl, bisa jadi saat itu gunung ini merupakan yang tertinggi di Pulau Jawa. Setelah meletus, Gunung Sunda Purba menyisakan kaldera dengan dinding terjal di sisi utara sampai barat dayanya, dan dinding yang terbuka di arah timur sampai sisi tenggaranya. Di tengah kaldera, tumbuh sebuah gunung baru yang dikenal dengan nama Gunung Tangkubanparahu.

Gunung Burangrang sendiri terbentuk bersamaan dengan lahirnya Gunung Sunda Purba, sehingga usianya lebih tua dibandingkan Gunung Tangkubanparahu. Dalam bahasa yang lebih ringan, bisa dikatakan bahwa Gunung Burangrang merupakan “paman” dari Gunung Tangkubanparahu.

Bukti lain yang memperkuat bahwa usia Gunung Burangrang lebih tua dari Gunung Tangkubanparahu adalah jumlah lembahan yang banyak, dengan kedalaman lembah yang lebih curam dan dalam. Hal ini dikarenakan aktivitas vulkanologi dan gerakan tanah di bagian lereng dan puncakannya lebih sering terjadi, dan berlangsung dalam waktu yang sudah sangat lama.

Gunung Burangrang dilihat dari pasar Barukai yang tidak jauh lokasi pendaian, Oktober 2021. (Foto: Gan Gan Jatnika)
Gunung Burangrang dilihat dari pasar Barukai yang tidak jauh lokasi pendaian, Oktober 2021. (Foto: Gan Gan Jatnika)

Mitos dan Musibah yang Pernah Terjadi

Sebuah gunung, dengan tinggi yang menjulang bermantel hutan lebat, tentu saja menyimpan banyak cerita mitos. Pengalaman para pendaki dan warga yang pernah berkunjung tentu saja beragam.

Mitos Gunung Burangrang yang cukup terkenal adalah adanya “Segitiga Bermuda” di kawasan pegunungannya. Letaknya di lereng bagian barat atau sekitar Gunung Gedugan, yang kemudian menjadi asal nama sebutannya: “Segitiga Gedugan”.

Mitos lainnya terkait keberadaan Gunung Sunda Purba, yang secara gaib dipercaya masih ada sampai sekarang. Gunung Sunda Purba tak kasat mata ini menjulang di antara Gunung Burangrang dan sisi barat Gunung Tangkubanparahu.

Mitos-mitos ini sering dikaitkan dengan peristiwa hilangnya para pendaki dan jatuhnya pesawat di sekitar Gunung Burangrang.

Dalam catatan, memang pernah ada beberapa pesawat yang jatuh di sini. Pada 11 Maret 1947, pesawat Dakota jatuh. Kemudian tahun 1986, pesawat angkut ringan Dornier jatuh. Februari 2001, sebuah helikopter milik Perhutani jatuh di daerah blok Cihanjawar, dan baru ditemukan setelah 13 hari pencarian. Pada tahun 2011, pesawat Cessna juga jatuh dan butuh beberapa hari sebelum ditemukan.

Tentu saja peristiwa jatuhnya pesawat-pesawat tersebut lebih masuk akal dikaitkan dengan kondisi Gunung Burangrang yang sering berkabut dengan angin yang bertiup cukup kencang.

Potensi dan Kendala Lainnya

Selain potensi wisata alam berupa pendakian menuju puncak Gunung Burangrang, di Legokhaji ini terdapat potensi wisata lainnya, yaitu air terjun yang dikenal dengan nama Curug Cipalasari.

Warga menangkap peluang ini secara kreatif. Salah satunya dengan membuka warung cendera mata atau oleh-oleh di basecamp pendakian, yang menyediakan sticker, gantungan kunci, dan barang barang kerajinan lain sebagai kenang-kenangan setelah melakukan pendakian.

Sektor perkebunan dan peternakan juga menjadi andalan pendapatan warga. Puluhan hektare perkebunan sayur mayur dikelola oleh warga, dan hasilnya diangkut ke beberapa pasar di sekitar daerah terdekat, bahkan sampai merambah ke pasar-pasar lainnya yang cukup jauh.

Demikian juga peternakan sapi banyak dijumpai di sini. Melimpahnya pakan ternak alami, seperti rumput dan lainnya, membuat sapi-sapi yang dimiliki warga mampu menghasilkan susu murni yang segar dan berkualitas sangat baik.

Namun, semua itu bukannya tanpa kendala. Kemungkinan risiko bencana alam harus tetap diwaspadai. Longsor, gempa bumi, dan pergerakan tanah bisa saja terjadi, apalagi di musim hujan.

Mereka yang mendaki Gunung Burangrang saat musim hujan pun pantas waspada karena pasti akan bertemu dengan jalur pendakian yang sangat licin. Oleh karena itu, persiapkan keperluan untuk pendakian dengan cermat dan teliti! Bila mendapat kesulitan, jangan sungkan meminta bantuan kepada warga atau pengelola. Mereka dengan ramah dan siaga akan membantu kita.

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)

Editor: Redaksi

COMMENTS

//