GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (6): Gunung Nagara Padang Ciwidey dan Simbol-simbol Perjalanan Hidup Manusia
Perjalanan ke situs Gunung Nagara Padang Ciwidey adalah perjalanan merenungkan kembali makna perjalanan hidup. Vandalisme dan sampah menjadi ancaman kelestariannya.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
15 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Batu mempunyai makna tersirat “baca-tulis” yang berarti belajar. Itulah salah satu alasan kenapa situs batuan seringkali dijadikan sarana belajar oleh para leluhur.
Situs Gunung Nagara Padang berupa rangkaian batu unik yang secara alamiah oleh peristiwa vulkanologi ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Situs-situs batu ini kemudian diberi makna dan arti secara berurutan, dengan tema perjalanan hidup seorang manusia dari lahir sampai persiapan menghadapi kehidupan selanjutnya.
Tidak begitu jelas sejak kapan situs ini mulai digunakan sebagai sarana pembelajaran dan kegiatan spiritual. Namun, jika dihubungkan dengan sejarah awal berdirinya Kampung Tutugan di kaki Gunung Padang, bisa jadi kegiatan spiritual di situs ini dimulai sejak tahun 1877, bersamaan dengan hadirnya kampung tersebut.
Lokasi dan Akses
Situs Gunung Nagara Padang terdapat di lereng Gunung Padang. Secara administratif, lokasi ini berada di perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.
Kaki gunung bagian selatannya berada di wilayah Legokkiara, Kampung Tutugan, Desa Rawabogo, Kecamatan Ciwidey. Sementara itu, lereng gunung bagian timur termasuk Desa Buninagara, dan lereng bagian baratnya termasuk Desa Wangunsari, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat.
Lokasi situs Gunung Nagara Padang diapit oleh beberapa gunung kecil, yaitu Pasir Pamipiran dan Pasir Naringgul di arah timur, serta Pasir Badak di arah barat lautnya.
Perjalanan mencapai gerbang bisa dimulai dari Kampung Tutugan, Desa Rawabogo. Bisa juga dari warung Amlong atau dari Kampung Cisalada, Desa Buninagara. Pengunjung tidak disarankan memggunakan kendaraan roda empat karena kondisi jalan masih berupa tanah merah dengan tanjakan lumayan terjal. Jika hujan turun, jalur ini menjadi terlalu licin.
Para pengendara sepeda motor juga harus melakukan persiapan matang terlebih dahulu. Sebelum memulai perjalanan, pastikan kondisi rem dan ban bekerja secara baik sebelum.
Berjalan kaki menuju gerbang adalah pilihan yang lebih cocok. Jarak tempuh sekitar 1,5 kilometer menyusuri perkebunan dan kerimbunan hutan pinus rasanya tidak terlalu melelahkan. Apalagi jalannya cukup lebar dan dipayungi kerimbunan pepohonan. Kita akan menjumpai pohon kaliandra yang berbunga putih, pohon pinus dan cemara, serta pohon puspa dengan bunganya yang bertebaran di tanah.
Bagi pengunjung yang hendak menitipkan kendaraan mereka, tersedia lahan di sekitar warung milik warga setempat di Legokkiara, Kampung Tutugan, Rawabogo atau di warung Amlong, Buninagara. Di warung-warung itu juga, kita juga bisa membeli perbekalan yang akan dibawa ke lokasi. Jajanan berupa makanan atau minuman ringan tersedia cukup banyak.
Asal Nama dan Sejarah
Membicarakan Gunung Nagara Padang tentu saja mengingatkan kita pada Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat. Atau teringat akan dua Gunung Padang lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu Gunung Padang yang ada di Cianjur, dan satu lagi Gunung Padang yang ada di Ciamis. Namun, Situs Gunung Nagara Padang di Ciwidey ini tidak ada hubungan khusus dengan nama-nama yang disebutkan di atas.
Nama “Nagara Padang” terdiri dari kata “Nagara” yang berarti wilayah dan kata “Padang” memiliki makna tempat yang luas atau terang. Dengan demikian, secara utuh, Nagara Padang bisa diartikan sebagai suatu tempat atau gunung yang mampu memberikan pencerahan atau cahaya kepada yang mengunjunginya atau masyarakat di sekitarnya.
Di Kampung Tutugan, Desa Rawabogo, terdapat sebuah padepokan, dikenal dengan nama Padepokan Kasepuhan Ajar Padang, yang bergerak secara aktif melestarikan dan merawat lingkungan serta kebudayaan. Padepokan ini dipimpin oleh Abah Undang, yang juga sesepuh masyarakat Kampung Tutugan. Abah merupakan keturunan dari perintis Kampung Tutugan.
Padepokan Kasepuhan Ajar Padang inilah yang juga menjadi penggerak dan pelaksana upacara adat “Miasih Ka Bumi”, yang dlakukan rutin satu tahun sekali di lokasi kaki gunung dan Situs Gunung Nagara Padang.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (5): Gunung Pabeasan Arjasari, dari Kerimbunan Hutan hingga Batu Ampar yang Menawan
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (4): Gunung Pacet Menyingkap Misteri Keberadaan Danau Manglayang
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (3): Gunung Putri Lembang, Mitos Dayang Sumbi dan Sejarah Benteng Belanda
Menyusuri dan Memaknai Rangkaian Situs
Secara garis besar makna dari perjalanan menyusuri rangkaian situs batu di Gunung Nagara Padang adalah mengingat kembali arti dan perjalanan hidup manusia dari awal sampai akhir. Ada 17 situs batu yang terbagi menjadi tiga bagian yang mencerminkan tiga masa kehidupan manusia, yakni anak-anak, remaja atau pencarian jati diri, dan masa kebijaksanaan sebagai persiapan menghadapi kehidupan berikutnya.
Juga ada tujuh lawang atau gerbang kehidupan yang dilewati di Situs Gunung Nagara Padang ini. Jika kita ingin menyusurinya, perjalanan bisa diawali dari mata air Cikahuripan. Inilah simbol bahwa untuk memulai setiap perjalanan hidup, kita harus membersihkan diri terlebih dahulu.
Namun, jika tidak sempat ke mata air tersebut, perjalanan bisa dimulai dari Situs Batu Lawang Masuk. Situs yang berupa dua buah batu besar ini terletak tidak jauh dari gerbang tiket.
Dari sana, kita akan menemukan Situs Batu Kaca-kaca dengan anak tangga di sampingnya. Uniknya di ujung anak tangga ada batu melintang yang mengesankan sebuah lubang pintu yang harus kita lalui. Situs Batu Kaca-kaca melambangkan pentingnya kita berkaca dan menilai diri sendiri sebelum melangkah lebih jauh.
Situs Batu Palawangan Ibu, atau batu lawang kelahiran adalah situs berikutnya. Di situs ini, kita dibawa kembali mengingat proses kelahiran dan kemunculan manusia ke alam dunia. Ada ritual khusus yang biasa dilakukan di sini. Kita memasuki sela-sela batu yang gelap, kemudian mencari jalan keluar melewati celah batu yang sempit. Proses keluar dari celah batu yang sempit ini menjadi simbol proses kelahiran.
Untuk melewati proses ini, pengunjung harus ditemani oleh juru pelihara atau orang lain yang sudah mengetahui. Jika tidak, bisa jadi kita terjebak dan tidak bisa keluar dari kegelapan celah batuan.
Setelah situs Batu Palawangan Ibu, berturut-turut kita akan melewati rangkaian situs lainnya, yakni Batu Panyipuhan, Batu Bedak, Batu Karaton, Batu Kaca Saadeg, Batu Masjid Agung, Batu Kopeah, Batu Korsi Gading, Batu Lawang Tujuh, Batu Pakuwon Siliwangi (Batu Jempol Siliwangi), Batu Geugeusan, Batu Leuit 25 (salawe) Jajar, Batu Kancana, Batu Papanggungan, Batu Kutarungu, Batu Lawang Keluar, dan seterusnya. Setiap situs batu memiliki cerita dan makna yang berbeda, tapi saling berhubungan sebagai simbol-simbol perjalanan hidup manusia.
Puncak Manik adalah tempat tertinggi dari semua situs di Gunung Nagara Padang. Lokasinya berupa lapangan cukup luas yang dibatasi oleh batu-batuan dengan ukuran besar. Di ujung lapangan, terdapat “areuy batas”, atau akar lilit yang menjuntai berbelit-belit. Konon areuy atau akar lilit ini adalah batas dari rangkaian situsnya.
Permasalahan dan Tantangan
Sebagai sebuah rangkaian situs spiritual, tentu saja banyak mitos-mitos yang melengkapi keberadaan Gunung Nagara Padang. Hal ini tampaknya cukup membuat beberapa calon wisatawan berpikir dua kali sebelum berangkat ke sana. Ada kekhawatiran dan ketakutan menemui hal-hal yang tak lazim atau berbau mistis di sana.
Padahal tidaklah begitu. Kegiatan wisata spiritual di tempat ini pada kenyataannya tetap bisa berjalan berdampingan dan selaras dengan kegiatan wisata populer yang dilakukan masyarakat umum. Saling menghormati dan bertegur sapa di antara wisatawan spiritual dan wisatawan biasa, terjadi di sini.
Jadi, tak ada alasan untuk merasa sungkan atau rikuh untuk menikmati keindahan alam Gunung Nagara Padang Ciwidey ini.
Yang justru membuat miris adalah banyaknya vandalisme berupa perusakan batuan dengan mencoret-coret atau menorehkan nama. Juga serakan dan tumpukan sampah di beberapa situs batu. Masalah klasik memang, tapi sudah seharusnya para wisatawan lebih menghargai dan memelihara kelestarian alam yang dikunjunginya.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)