• Narasi
  • (Ujung-ujungnya Tetap Saja) Majestic!

(Ujung-ujungnya Tetap Saja) Majestic!

Gedung Majestic sepantasnya kembali menjadi gedung pertunjukan yang berwibawa di jantung Kota Bandung. Semacam pusat kebudayaan untuk budaya populer khas Bandung.

Anton Solihin

Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor

Seorang pengamen beraksi di seberang Gedung De Majestic, dulunya Asia Africa Cultural Center (AACC) yang kerap digunakan untuk aktivitas seni dan budaya, di Jalan Braga, Kota Bandung, Rabu (9/2/2022). Pada 9 Februari 2008 lalu di gedung ini terjadi insiden yang dikenal sebagai Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

13 Februari 2024


BandungBergerak.id – Braga –di ujung selatan jalan itu (tertera alamatnya: Jalan Braga No. 1) dahulu ada Bioscoop Concordia, terkesan menempel,  bagian dari Societet Concordia (sekarang Gedung Merdeka). Bioskop ini lebih terkenal dengan nama Majestic. atau Majestic Theatre sejak 1937. Lalu berubah menjadi bioskop Dewi di era 1960-an,  dan balik lagi menjadi Bioskop Majestic selama 3 dekade berikutnya.

Memasuki abad ke-21 atau awal 2000-an bioskop ini ditutup, berubah nama menjadi AACC (Asian African Cultural Centre) dan difungsikan menjadi gedung kesenian yang dapat menampung berbagai ragam kegiatan.

Sejak 2010, setelah direnovasi, gedung diberi nama baru, yaitu New Majestic. Lalu PD Jasa dan Pariwisata mengambil alih pengelolaan dan kembali berganti nama menjadi De Majestic pada tahun 2017 dengan peruntukkan sebagai café, lalu tempat karaoke, lokakarya, acara pernikahan, hingga terakhir sebagai tempat pertunjukkan kesenian daerah.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #46: Braga Jantung Parijs van Java
NGULIK BANDUNG: Bioskop Majestic, dari Loetoeng Kasaroeng hingga Anugerah AFJB 2023
Mencurigai Naskah Akademik Hari Lahir Persib, Menengok Skripsi Fajar Salam

Kepala Kala sebagai Penanda Gedung

CP Wolff Schoemaker, arsitek terkemuka di masa Hindia Belanda pada tahun 1922 merancang Toko Buku Van Dorp (sekarang Landmark) pada sisi utara Jalan Braga, suatu bangunan dengan sisi kiri dan kanan bagian depan gedung dihiasi semacam ornamen kepala Batara Kala.

Berbeda dengan yang ada di Gedung Landmark, ornamen Batara Kala yang terletak di bagian atas depan gedung Concordia (atau Majestic), rancangan Schoemaker berikutnya, yang berada di sisi selatan Braga  ini (dibangun 1925) - Kala di sini memiliki rahang. Kepala Kala semacam itu uniknya tidak kita lihat pada bangunan kuno di Jawa Barat, tetapi  umum terlihat pada sejumlah pintu masuk candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Perhatikan bahwa di masa orang sibuk berfoto ke sana kemari sekarang –saat kawasan Braga kini hidup kembali, kepala (Batara) Kala Gedung Majestic adalah bagian ikonik yang tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh pengunjung kawasan tersebut, khususnya untuk ber-selfie-ria.

Kala (atau raksasa) ini populer karena dikaitkan dengan simbolisasi pertanda buruk, dihubungkan juga  dengan gerhana matahari atau gerhana bulan. Mengenai mengapa hanya kepala Kala, rupanya ada mitos yang menyertainya. Mitos ratusan tahun tersebut sampai sekarang setidaknya masih diingat masyarakat Jawa, sebagaimana dicatat dalam dua kitab Jawa Kuno.

Nama raksasa yang minum air amerta di dalam Kitab Adiparwa (Jawa Kuno) dari zaman pemerintahan Dharmawangsa  (991-1016 M) dan Kitab Tantu Panggelaran (1635 M) itu bernama Rahu (Kala Rahu). Dikisahkan tubuh Kala Rahu jatuh ke bumi dan berubah menjadi lesung kayu. Pada waktu gerhana matahari atau bulan, penduduk memukul-mukul lesung (simbolisasi Tubuh si Rahu) supaya merasa kesakitan, pula dengan harapan agar matahari (atau bulan) yang dimakannya dimuntahkan kembali. Tetapi apabila tetap ditelannya, maka matahari (atau bulan) itu akan keluar juga karena Raksasa Rahu hanya berupa kepala dan tanpa tubuh. Cerita semacam itulah yang menginspirasi Schoemaker merancang sosok Kepala Kala pada Gedung Landmark & Gedung Majestic.

Leo Kristi di depan Gedung Majestic (booklet acara). (Foto: Anton Solihin)
Leo Kristi di depan Gedung Majestic (booklet acara). (Foto: Koleksi Anton Solihin)

Bioskop Majestic Tinggal Kenangan (?)

Memasuki milenium baru terdengar kabar tentang akan dikembangkannya fungsi Gedung Majestic yang semula terbatas pada pemutaran film, diubah menjadi gedung kesenian yang dapat menampung berbagai ragam kegiatan kesenian.

Memang seiring meredupnya pamor Jalan Braga pada kisaran tahun 1980-1990-an, pengalaman menonton di Bioskop Majestic pada masa-masa tersebut adalah ingatan tentang film-film nasional yang “panas” atau berbau seks,  selain tentu saja  film-film kelas dua Hollywood. Masih hangat dalam ingatan  saya menonton film-film  seperti  The Fly dan Motel Hell. Film-film seperti itu bisa dideretkan untuk meramalkan dan menggambarkan apa yang bisa ditunjukkan Bioskop Majestic menjelang kematiannya.

Memasuki tahun 2000-an Bioskop Majestic berubah nama dan fungsi menjadi AACC (Asian African Cultural Centre). Peristiwa ini ditandai  dengan penampilan  Leo Kristi yang tampil dalam pertunjukan bertajuk Konser Samping Merdeka pada 17 & 18 Juni 2000. Siapa Leo Kristi? Leo Kristi adalah tokoh terpenting gerakan folk atau disebut “musik rakyat”, genre musik yang mulai mewabah di lingkup industri rekaman musik popular pada kisaran pertengahan hingga akhir 1970-an. Kita bisa menyebut nama-nama lain: Bimbo, Kelompok Kampungan, Gombloh & Lemon Trees, Pahama, Iwan Abdurrahman, Ebiet G. Ade, Ully Sigar, Iwan Fals dst. Kiaracondong adalah lantunan Leo Kristi yang dikenal luas dan menautkan namanya dengan Kota Bandung.

Tidak banyak peristiwa lain bisa dicatat sehubungan dengan keberlangsungan Majestic atau AACC sebagai gedung pertunjukan di masa itu kecuali sebuah tragedi yang memilukan.

Tragedi AACC 2008 atau sering disebut Sabtu Kelabu adalah sebuah kepanikan massal yang menimbulkan kematian 11 orang, terjadi pada tanggal 9 Februari 2008 penampilan live terkait peluncuran album perdana grup musik metal asal Bandung, Beside (ya, mengingatkan kita pada Tragedi Stadion Kanjuruhan di Malang 2022). Setelah peristiwa tragis itu, Gedung AACC ditutup sementara.   Soal peristiwa memilukan ini, sudah banyak tulisan dibuat.

Kalaupun ada peristiwa lain yang pantas dicatat, itu adalah “pesta blues” pada Braga Festival 24 September  2011. Di hari itu hingar-bingar band-band mengharu biru melantunkan lagu-lagu Muddy Waters, the Rolling Stones, John Mayall, atau Stevie Ray Vaughn. Bila yang dimaksud pertunjukan blues cuma itu maka tidak ada sesuatu yang menarik untuk dicatat.

J. Kondoy & the Humans berfoto dengan latar Gedung Majestic. (Foto: Anton Solihin)
J. Kondoy & the Humans berfoto dengan latar Gedung Majestic. (Foto: Koleksi Anton Solihin)

Seakan menyindir balik tulisan pada pintu masuk gedung, semacam aturan rasis: Verbodden voor Honder en  irlander (anjing dan pribumi dilarang masuk), yang dibuat pada masa keemasan Bioskop Majestic di masa Hindia Belanda - torehan sejarah dicatat karena berlangsung live show komedi satir tentang bagaimana sejarah panjang perbudakan memunculkan bentuk musik modern (music industry) yang kita kenal saat ini. Adalah J. Kondoi & the Humans menampilkan pertunjukan drama musikal panjang  (disebut juga history telling concert) bertitel: Bagaimana Perbudakan Bersekongkol atas Musik Manusia dalam 500 Tahun Terakhir dan Membuat Kita-Acuh-Tak-Acuh  serta Nyaman Nyaman Saja. Penampilan yang berkesan dan hebat!

Merunut kisah Gedung Majestic seperti di atas, saya jadi ingat kembali Rua Aperana 52, film yang mengambil  visi, pengembangan gagasan yang berasal dari sejarah dan fotografi. Rua… adalah film Brazil yang disutradarai Julio Bressane, 2012. Sang sutradara mendokumentasikan lanskap suatu sudut Rio de Janeiro. Film terdiri dari rangkaian foto yang diambil dari foto-foto keluarga dan anggota masyarakat sekitar sejak tahun 1909 hingga 1955, lalu ditambah scenes dari beragam film yang mengambil lanskap tempat tersebut antara tahun 1957-2005. Bressane menekankan editing sebagai sebuah bentuk intristik pemikiran yang membuat penonton menjadi saksi baru lanskap yang bagaikan kisah fiksi. Bisakah Anda bayangkan tangkapan kamera semacam itu diterapkan dalam film –untuk Majestic!

Atas dasar anggapan bahwa Bandung selama ini sudah kadung dianggap “ibukota Asia Afrika”, maka melalui gambaran sepintas di atas, dengan arsitektur yang ikonik,  Gedung Majestic ini sepantasnya dikembalikan pada kedudukannya sebagai  gedung pertunjukan yang berwibawa di jantung Kota Bandung, apalagi dengan kembali hidupnya kawasan Braga dan sekitarnya. Semacam pusat kebudayaan –untuk budaya populer, sesuatu yang khas Bandung, ala Fillmore East-nya New York atau Fillmore West-nya San Fransisco, bisa saja disematkan untuk tempat itu. Tempat yang patut dan seharusnya untuk pemutaran film-film arthouse, dengan kekhususan Asia Afrika (+ Amerika Selatan). Atau pertunjukan teater dan musik skala kecil dan menengah (klasik-musik kamar, jazz, musik tradisi, world music dan seterusnya). Tentu dengan kurasi yang ketat & bisa dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, “Asia-Afrika” di kota Bandung ini tidak cuma ditatah pada batu bulat!

Menarik bahwa sebagaimana nama gedung atau jalan yang punya ciri dan khas kota Bandung: Gedung Sate, Gedung Saparua, Jalan Dago, Jalan Suci, Jembatan Pasupati, dst., mau diubah seperti apa pun namanya –tetap saja nama itulah yang sekarang diingat dan dipakai masyarakat pada umumnya

Apa pun sekarang namanya, tempat itu  tetap saja kita kenal sebagai Majestic.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//