• Buku
  • BUKU BANDUNG #46: Braga Jantung Parijs van Java

BUKU BANDUNG #46: Braga Jantung Parijs van Java

Menulis Braga, seperti juga menulis tentang sejarah masa kolonial, bukan untuk mencontoh gaya hidup Eropa, apalagi memuliakan periode penjajahan.

Buku Braga Jantung Parijs van Java, penulis Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha, diterbitkan Penerbit Ka Bandung (Oktober 2008). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman14 Agustus 2022


BandungBergerak.id – Apabila para pelancong datang ke Kota Bandung, kawasan Braga wajib masuk ke dalam daftar tempat yang akan mereka kunjungi. Sebab ikon Kota Kembang ini sudah lama menjadi salah satu destinasi wisata dengan daya tariknya yang khas.

Bagaimana tidak, saat ini Jalan Braga sudah seperti kawasan serba ada. Berbagai toko kuliner dari yang legendaris sampai yang kekinian dapat ditemukan di sisi kanan dan kirinya. Bukan hanya sebatas kuliner, di sepanjang kota tua ini berdiri berbagai toko yang menjual pakaian, perhiasan, elektronik, lukisan, hingga penyedia penginapan.

Membicarakan seluk beluk Jalan Braga, kita tidak akan bisa terlepas dari kisah masa lalu kawasan di jangung kota tersebut. Sebab, jalan yang membentang ke utara sepanjang satu kilometer dari Bank OCBC (ex-De Vries) sampai persimpangan Jalan Braga-Wastukencana, menyimpan segunung narasi sejarah penting.

Apabila kita tarik pada periode awal abad ke-19, lintasan Jalan Braga hanyalah jalan tanah yang dipakai sebagai jalur pendistribusian kopi dari Gudang Kopi (sekarang Balai Kota Bandung) milik Andries de Wilde menuju Jalan Raya Pos.

“Mulanya jalan ini merupakan sebuah jalan setapak yang konon sudah ada sejak lama. Namun, seiring semakin berkembangnya wilayah, jalan tersebut semakin ramai dan sering dilalui. Alat angkut pedati merupakan sarana transportasi yang paling banyak digunakan saat itu. Oleh karena itu, banyak pedati yang melintas lalu-lalang pada jalan baru tersebut. Orang pun menyebutnya sebagai Jalan Pedati atau dengan istilah Belandanya, Karrenweg,” dikutip dari buku yang bertajuk "Braga Jantung Parijs van Java" (halaman 24).

Beranjak pada dekade 1910-an, suasana di Jalan Braga masih asri. Rimbunnya pepohonan di sisi kanan dan kiri jalanan masih dapat dinikmati para pejalan kaki. Pada waktu itu, posisi bangunan rumah dan toko banyak terletak agak menjorok ke dalam dan memiliki pekarangan yang rimbun. Selain itu, jalan utama mulai diberi aspal dan juga mulai dibangun trotoar selebar dua setengah meter dengan diberi pilar dan vloer tembok yang lebih tinggi sebagai tempat duduk.

Baru kemudian ketika memasuki dekade 1920-an, seketika suasana Braga beranjak berubah. Pepohonan sedang dan besar yang menghiasi jalanan semakin berkurang karena digantikan oleh bangunan-bangunan baru yang banyak berdiri persis di tepi jalan, tidak memiliki pekarangan.

Wajah baru Jalan Braga tersebut kemudian mengantarkan Braga sedikit demi sedikit menjadi pusat keramaian di Kota Bandung. Bahkan ruas jalan ini pada akhirnya menjadi dikenal orang sebagai kompleks pertokoan modern yang paling bergaya Eropa di seantero Hindia Belanda.

Buku bertajuk “Braga Jantung Parijs van Java” yang disusun oleh Ridwan Hutagalung bersama Taufanny Nugraha, menjadi sebuah buku panduan bagi siapa pun yang ingin menapaki Jalanan Braga sambil menyelami kisah masa lalu yang pernah terjadi di sana.

Braga Pendek dan Braga Panjang

Jalanan Braga sebetulnya dapat dibagi menjadi dua kawasan, di antaranya Braga pendek dan Braga panjang. Braga pendek dimulai dari sisi paling selatan Jalan Braga sampai persimpangan Braga-Naripan. Baru kemudian sehabis persimpangan tersebut hingga persimpangan Braga-Wastukencana, itu merupakan bagian dari Braga panjang.

Baik Braga pendek maupun Braga Panjang, masing-masing memiliki segunung kisah masa lalu yang dapat diceritakan. Setiap bangunan di Braga seakan dapat bercerita tentang kisah masa lalunya.

“Peninggalan-peninggalan sejarah di lintasan Braga, seperti bangunan, plakat, ornamen, dan properti yang mengisi bangunan tua adalah artefak-artefak pengingat sejarah. Keberadaannya tersebut sangat membantu kita agar sepenuhnya terus sadar bahwa Bandung telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Situasi kekinian sebuah kota sebaiknya memang tidak lepas dari kisah panjang yang dilaluinya. Dengan demikian, sebuah kota akan tetap memiliki identitasnya yang khas dan tidak mudah disamakan dengan kota-kota lain,” dikutip dari buku Braga Jantung Parijs van Java (halaman 151).

Di antara berbagai bangunan yang terdapat di Braga pendek, terdapat beberapa bangunan yang cukup populer, seperti bangunan yang kini ditempati Apotek Kimia Farma dan Starbucks. Bangunan yang menempati hook antara Jalan Braga dan Jalan Asia-Afrika tersebut merupakan salah satu bangunan yang usianya sudah cukup tua, yaitu sejak sekitar awal tahun 1900-an.

Bangunan tua yang masih mempertahankan bentuk arsitektur lamanya tersebut, dulu dikenal sebagai apotek Rathkamp. Bahkan masih ada para orang tua yang menyebut blok bangunan ini sebagai Rathkamp. Namun sejak awal pendiriannya, bangunan ini sering ditempati secara bersamaan oleh beberapa toko sekaligus.

“Bangunan ini digunakan secara bersamaan, seperti N.I. Escompto Bank, Toko Dunlop, serta toko rokok dan tembakau. Pada masa yang sama gedung ini pernah juga ditempati oleh Rumah Obat Volharding, bagian dari Rathkamp & Co yang dibuka oleh apoteker Verschoof,” [Braga Jantung Parijs van Java, halaman 60].

Begitupun di Braga panjang, banyak sekali bangunan-bangunan yang memiliki kisah tentang masa lalunya seperti Toko Hellerman yang menjadi toko pertama di Jalan Braga, kemudian Gedung Gas yang berjasa menerangi Kota Bandung dengan energi gas sebelum pemakaian listrik massal dilakukan, atau Maison Bogerijen [Braga Permai] yang merupakan restoran elite di Kota Bandung.

Demikian jalan yang pendek ini menjadi tempat berpusatnya berbagai pertokoan di Kota Bandung sejak zaman kolonial. Singkatnya, Jalan Braga merupakan pusat perbelanjaan di Kota Bandung pada masa keemasannya. Meskipun rentang antartoko kadang sangat berjauhan. Di Bandung, semuanya tersedia dan terkumpul dalam sebuah ruas jalan pendek saja.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #43: Kebangkitan Kembali Orang Sunda
BUKU BANDUNG #44: Menolak Melupakan Kisah Sjafei Soemardja
BUKU BANDUNG #45: Si Kabayan versi Utuy Tatang Sontani

Bragaweg, Citra Sebuah Kota

“Menulis tentang Braga, seperti juga menulis tentang sejarah masa kolonial Belanda di negeri ini, tentunya bukan untuk mencontoh gaya hidup Eropa atau Belanda, apalagi memuliakan periode penjajahan itu. Namun sejauh yang bisa ditelusuri, ternyata banyak hal yang dapat dipelajari, ditimbang dan mungkin dijadikan teladan, dalam hal ini terutama untuk pengelolaan sebuah kota (khususnya Bandung) di masa mendatang,” [Braga Jantung Parijs van Java, halaman 149].

Kisah-kisah pada masa lalu baik tentang Jalan Braga atau sudut Kota Bandung lainnya, sudah selayaknya menjadi sesuatu yang mesti dipahami konteks pembangunannya melalui kisah dari masa lalu agar dalam pengembangannya tidak melenceng dari rencana awal yang dibangun.

Melalui Jalan Braga, seseorang dapat mempelajari hal-hal sederhana, seperti penamaan jalan dan alamat yang teratur sehingga dapat bercerita tentang sejarah lokalnya. Berbeda keadaannya dengan kondisi yang sekarang, yaitu banyak tempat yang tidak berhubungan langsung dengan wilayahnya sendiri. Begitu juga dengan susunan kompleks pertokoan yang tertata rapi dan fasilitas lingkungan yang memadai untuk meningkatkan sosialisasi.

“Demikian banyak penggalan-penggalan kisah masa lalu yang sangat mungkin menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya. Begitupun kisah Braga. Walau kisah-kisah tersebut jarang dipandang sebagai kisah besar seperti halnya momen kemerdekaan sebuah negeri atau pemberontakan dan perang-perang besar lainnya. Namun, seremeh apa pun kisah-kisahnya, semuanya adalah bagian dari proses sejarah yang rumit dan berserabut. Kisah-kisah remeh di Jalan Braga dulu juga punya peran bagi kelangsungan sejarah, khususnya sejarah Bandung,” [Braga Jantung Parijs van Java, halaman 150].

Informasi Buku

Judul: Braga Jantung Parijs van Java

Penulis: Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha

Penerbit: Ka Bandung

Jumlah Halaman: xvi + 168 Halaman

Cetakan Oktober 2008

ISBN :978-979-18671-1-5

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//