• Buku
  • BUKU BANDUNG #45: Si Kabayan versi Utuy Tatang Sontani

BUKU BANDUNG #45: Si Kabayan versi Utuy Tatang Sontani

Ajip Rosidi melihat lakon Si Kabayan versi Utuy Tatang Sontani masih aktual dengan hari ini, ketika korupsi justru kian merajalela meski sudah ada UU KPK.

Buku Si Kabayan Komedi Satu Babak, karya Utuy Tatang Sontani, Pustaka Jaya, tahun 2014 dengan pengantar Ajip Rosidi. (Foto: Iman Herdiana)

Penulis Iman Herdiana7 Agustus 2022


BandungBergerak.idTokoh si Kabayan tidak asing bagi warga Priangan. Dia dikenal humoris, lugu, pemalas. Kemiskinan sangat akrab dengan kehidupannya. Tapi tidak jelas siapa dan dari mana ia berasal. Kalau ada yang bertanya, Si Kabayan akan menjawab bahwa ia berasal dari Gusti Allah.

Jawaban tersebut muncul dalam suatu adegan pada lakon Si Kabayan yang ditulis sastrawan Utuy Tatang Sontani (Cianjur 1920 – Moskwa 1979), bahwa semua orang asalnya dari Gusti Allah.

Lakon ini pertama kali diterbitkan oleh Lekra pada 1959 atau tujuh tahun sebelum meledaknya peristiwa 1965, lalu dicetak kembali oleh Pustaka Jaya tahun 2014 dengan pengantar Ajip Rosidi.

Ajip Rosidi mengenal dekat Utuy Tatang Sontani. Ajip juga menjelaskan mengapa lakon Si Kabayan yang absur bisa diterbitkan Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat [organ PKI] yang lebih mengutamakan sastra realisme revolusioner.

Si Kabayan Mengaku Beguru pada Nabi Hidir

Ajip Rosidi menjelaskan banyak pengarang yang membuat cerita si Kabayan sesuai dengan versinya masing-masing. Di antarnaya Daeng Kanduruan Ardiwinata (1866-1947) yang pernah membuat cerita si Kabayan yang rangkanya kemudian dipakai Utuy dalam lakon ini. Utuy juga membaca lakon Si Kabayan jadi dukun yang mengilhaminya untuk menulis Si Kabayan versinya sendiri.

Pada versi Utuy Tatang Sontani, karakter Si Kabayan tidak banyak berubah dari folkornya. Yang baru, kata Ajip, adalah latar kemasyarakatannya. Orang-orang yang berkunjung kepada si Kabayan untuk meminta tolong adalah orang yang hidup pada waktu Utuy menulis lakon ini.

Dalam cerita rakyat, Si Kabayan merupakan sosok yang sederhana, luntang-lantung, miskin, lugu, pemalas, dan kocak. Versi Utuy, karakter tersebut memang kentara, tetapi yang paling menonjol adalah sifat jahil, pemalas, dan keabsurannya.

“Si Kabayan adalah orang yang biasa merasa kenyang mempermainkan kegoblokan manusia,” tulis Ajip Rosidi.

Perawakan si Kabayan digambarkan Utuy sebagai sosok yang, “Gemuk dia tidak, kurus pun tidak. Disebut tinggi tidak benar, disebut pendek salah. Berapa umurnya bisa membingungkan yang menerka, sebab disebut tua, dia kelihatan segar bugar, disebut masih muda dia sering menunjukkan perangai sudah tua.”

Adegan dimulai dengan Si Kabayan yang sedang tidur siang di saat orang lain sibuk bekerja di ladang, seperti mertuanya. Kebiasaan ini membuat mertuanya jengkel. Puncaknya, Ijem, istri si Kabayan, memintanya bercerai. Si Kabayan tenang-tenang saja dan malah menyuruh Ijem datang langsung ke Mang Lebe untuk minta dicerai secara resmi. Setelah itu, ia mendengkur kembali.

Selama tidur, si Kabayan sering beralasan sedang mengaji. Suatu waktu, ia pura-pura kesurupan karuhun yang biasa diziarahi mertuanya. Ijem percaya bahwa suaminya kerasukan. Kabayan mengatakan juga bahwa dirinya berguru ke Nabi Hidir yang diam di dasar air.

“Kalau dia [Nabi Hidir] sekarang mengguri suamimu, itu berarti suamimu itu bukan sembarang orang,” kata Mang Lebe, saat berbincang dengan Ijem soal keanehan si Kabayan.

“Tapi suami saya tidak mau hal itu diketahui orang,” kata Ijem.

“Itu tandanya suamimu betul-betul hampir wali. Tapi ada dalil dalam Kur’an, Ijem. Bahwa ilmu yang baik mesti disebarkan kepada umum, jangan dipendam dalam diri sendiri.”

Kabar si Kabayan punya kesaktian dari Nabi Hidir pun disebarkan mertua, mang Lebe, dan Ijem. Dari situ meluas ke seluruh kampung, dan melebar ke kampung tetangga, ke luar daerah, hingga luar kota. Singkat cerita—meminjam istilah zaman sekarang—Kabayan telah viral sebagai dukun sakti.

“Berita diberitakan lagi, akhirnya diketahui orang di mana-mana,” kata salah seorang tamu yang menceritakan betapa sohornya si Kabayan.

Utuy tidak menyebutkan lokasi kampung si Kabayan. Namun yang jelas dia bukan dari Bandung. Satu-satunya petunjuk bahwa si Kabayan versi Utuy berlokasi di dekat Garut, datang dari obrolan para tamu, meski tidak disebutkan secara pasti. Hal ini bisa disimak dari adegan berikut:

Ada empat tamu yang sedang menunggu si Kabayan di rumahnya. Kedatangan mereka tidak lain untuk meminta berkah. Sementara si Kabayan sendiri masih sibuk mendengkur.

“Jadi saudara datang sekarang untuk keduakalinya?” tanya tamu laki-laki berpakaian tentara.

“Ya.”

“Saudara dari mana?”

“Dari Garut.”

“Untung masih dekat. Saya dan nyonya ini dari Bandung. Kalau sekarang tidak ketemu [Kabayan], berabe juga.”

“Kalau begitu yang paling berabe ialah saya,” kata tamu laki-laki yang berjas dan berdasi, yang sejak tadi belum buka suara.

“Mengapa?” tanya laki-laki berpakaian tentara.

“Sebab saya lebih jauh lagi. Saya dari Bogor.”

Mereka datang ke rumah Si Kabayan dengan berbagai latar belakang dan persoalan pribadi. Mulai dari pegawai negeri yang ingin naik pangkat, tentara yang tidak mau ditempatkan di garda depan karena takut mati meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil.

Ada juga istri pejabat yang ditinggal kawin lagi oleh suaminya. Si istri merasa sakit hati, apalagi mengetahui istri muda suaminya lebih cantik. Padahal sewaktu masih susah dan belum jadi pejabat, istri tua sangat membantu perjuangan suaminya agar bisa mendapat jabatan.

“Sama halnya seperti saya ini memungut anak anjing; sejak kecil dipelihara dikasih makan, setelah besar dia menggigit,” keluh istri pejabat, kepada si Kabayan.

Jika si Kabayan hanya memberikan air keramat untuk diminum pasien-pasiennya, lain lagi saat ia menghadapi seorang koruptor. Menurut si Kabayan, untuk menolong koruptor tak cukup hanya meminum air keramat.

“Saudara tidak cukup dengan hanya minum air ini. Dosa saudara terlampau berat...,” kata Kabayan, kepada petugas negara yang memakan duit negara.

Mengenai kasus korupsi ini, Ajip Rosidi memberikan catatan tersendiri. Pada zaman Orde Lama – ketika naskah Si Kabayan lahir – korupsi sudah ada.

“Lakon si kabayan ditulis pada tahun 1959, ketika korupsi di Indonesia belum meruyak seperti empat atau lima puluh tahun sesudahnya (walaupun sudah ada juga) dan belum ada Undang Undang Antikorupsi, sehingga tamu si kabayan pun hanya takut dipenjara dua bulan saja,” demikian kata Ajip Rosidi.

Ajip Rosidi melihat lakon Si Kabayan versi Utuy Tatang Sontani masih aktual dengan hari ini, ketika korupsi justru kian merajalela. Padahal sekarang sudah ada UU KPK, yang kemudian direvisi yang menjadikan KPK tidak lagi bertaji.

Dahulu, korupsi bisa jadi dilakukan karena kebutuhan hidup pada zaman yang melarat. Revolusi yang terjadi ternyata tidak mudah seperti yang diharapkan. Kemiskinan terjadi di mana-mana, kesusahan dialami rakyat maupun pejabat.

Namun apa pun alasannya, memakan uang rakyat tak dapat dibenarkan. Korupsi adalah dosa yang sangat besar, seperti yang diyakini si Kabayan.

Menurut Ajip Rosidi, rupiah di tahun 50-an masih memiliki nilai tinggi. Selama menjadi dukun gadungan, si Kabayan mampu mengumpulkan uang 200 rupiah. Uang sebesar ini bagi Ijem sangatlah besar.

“Waktu itu harga beras 2 rupiah satu kilogramnya,” tulis Ajip Rosidi.

Relevansi lain pada lakon Si Kabayan dengan zaman sekarang, adalah masih kentalnya kepercayaan akan hal-hal instan, ilmu gaib yang bisa menyelesaikan segala persoalan kehidupan.

“Sementara itu kepercayaan orang pada orang pinter tidak berkurang,” kata Ajip Rosidi.

Kita bisa melihat sekarang, tidak sedikit kasus penipuan yang dilatarbelakangi ilmu gaib. Atau dalam versi modernnya, banyak masyarakat biasa hingga kalangan terdidik yang menjadi korban penipuan praktik investasi dengan bunga selangit.

“Meskipun dengan latar belakang kesejahteraan masyarakat berubah, lakon ini masih terasa aktual melukiskan keadaan masyarakat Indonesia,” kata Ajip Rosidi.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #42: Komik Katumbiri Regenboog (Jilid I)
BUKU BANDUNG #43: Kebangkitan Kembali Orang Sunda
BUKU BANDUNG #44: Menolak Melupakan Kisah Sjafei Soemardja

Utuy dan Lekra

Di atas telah disinggung mengapa lakon Si Kabayan bisa diterbitkan Lekra. Ini dilatarbelakangi karena kehidupan Utuy sendiri yang tidka berkecukupan secara ekonomi. Pada zaman itu, seniman atau penulis, nasibnya sengsara. Tidak banyak kanal yang bisa menampung atau membayar karya-karya mereka.

Lekra sudah beberapa kali melakukan pendekatan agar Utuy mau bergabung. Namun beberapa kali pula Utuy menolak. Suatu waktu, Utuy perlu biaya untuk memperbaiki rumah. Menurut Ajip, dari sinilah Utuy akhirnya menerima tawaran Lekra, dengan menerbitkan naskah lakon Si Kabayan.

Padahal menurut Ajip, secara umum lakon-lakon yang ditulis Utuy melukiskan keadaan masyarakat kita setelah revolusi yang tdak berhasil memberikan kemakmuran buat rakyat. Tema utama yang ditulis Utuy adalah aku dan engkau, pendeknya bersifat individualistik. Puncaknya aku dalam lakon Utuy tidak lagi mengakui adanya orang lain, seperti dalam lakon Sang Kuriang. Sang Kuriang dikisahkan Utuy sebagai tokoh yang tidak mengakui Dayang Sumbi sebagai ibunya karena dia mengetahui hal itu dari orang lain. Sementara pada lakon Si Kabayan, Utuy mempermainkan orang lain yang dianggapnya bodoh.

“Karena itu sangatlah aneh bahwa Utuy terbujuk menjadi anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang organ PKI. Dan setelah menjadi anggota Lekra dia aktif bukan saja memberikan ceramah tentang revolusi dan Manipol Usdek, melainkan juga menulis lakon Si Kampeng yang tidak bermutu karena hanya hendak menampaikan pesan politik saja,” tulis Ajip Rosidi.

Mengherankan pula, lanjut Ajip, bahwa lakon Si Kabayan yang nama tokohnya diambil dari nama cerita rakyat Sunda yang isinya melukikan orang-orang kebingunan menghadapi keadaan hidup lantas meminta tolong Si Kabayan yang mengaku sebagai embah yang dapat mengobati segala penyakit dan memenuhi segala keinginan, padahal ia sebenarnya tahu bahwa ia tidak mempunyai kemampuan demikian, diterbitkan penerbit Lekra.

“Tokoh seperti si Kabayan yang menipu orang banyak niscaya tidak cocok dengan paham sastra realisme sosialis yang diusung oleh kaum komunis. Tapi dalam rangka membujuk Utuy supaya mau menjadi anggota pengurus Lekra, agaknya kenyataan itu tidak dipersoalkan sehingga buku itu diterbitkan oleh penerbit Lekra,” kata Ajip Rosidi.

Setelah Utuy menjadi anggota Lekra 1959-an, Ajip jadi jarang berkunjung ke rumah Utuy. Dan sejak 1963, Ajip mengaku tidak pernah lagi bertemu dengannya di Indonesia.

“Saya bertemu lagi dengan Utuy baru pada tahun 1975 waktu saya berkunjung ke Moskwa sebagai undangan menteri kebudayaan Uni Soviet,” cerita Ajip.

Utuy merupakan seorang dari sekian banyak tokoh yang hidup sebagai eksil di negeri orang, karena tanahair menolaknya pulang.

“Ketika terjadi G 30 S, Utuy sedang berada di Beijing untuk berobat, dan tidak bisa pulang ke tanahair, dia kemudian pindah ke Rusia sampai meninggal,” kata Ajip.

Informasi Buku

Judul: Si Kabayan Komedi Satu Babak

Penulis: Utuy Tatang Sontani

Pengantar: Ajip Rosidi

Penerbit: Pustaka Jaya, 2014

Jumlah Halaman: 56 halaman.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//