Sepenggal Sosok Achmad Bassach Joehana dan Karnadi Bandar Bangkong
Kehidupan Achmad Bassach yang terkesan serius dan penuh pergerakan, jauh berbeda dengan kisah Karnadi yang ditulisnya, penuh komedi sekaligus tragis.
Penulis Iman Herdiana27 Desember 2021
BandungBergerak.id - Tokoh legenda tidak harus muncul dari mitos atau cerita dahulu kala. Tokoh legenda ini bisa jadi muncul dari cerita fiksi. Di masyarakat Sunda, ada sejumlah tokoh fiksi yang kemudian melegenda. Sebut saja si Kabayan yang ceritanya sudah banyak difilmkan.
Di luar si Kabayan, ada tokoh fiksi lain yang tidak kalah legendarisnya, yaitu Karnadi yang merupakan tokoh utama dalam roman Rasiah Nu Goreng Patut karangan Joehana (kadang ditulis Yoehana). Di masyarkat Sunda, kisah Karnadi beredar lewat cerita rakyat, dimainkan dalam sandiwara rakyat, bahkan difilmkan.
Roman Rasiah Nu Goreng Patut setidaknya memiliki daya tarik ganda. Pertama, roman ini cukup kontroversial di zamannya. Kedua, dari sisi penulisnya, Yoehana, pun tak kalah menariknya. Belakangan nama ini muncul kembali lewat tulisan-tulisan Atep Kurnia yang membeberkan perjalanan hidup Joehana—identias yang sebenarnya nama pena dari aktivis kiri di zaman kolonial Belanda, yaitu Achmad Bassach.
“Achmad Bassach memakai nama Joehana ketika menulis roman Sunda untuk menyembunyian identitas aslinya. Karena tahun 1925 ke belakang, Achmad Bassach dikenal sebagai aktivis gerakan kiri, jadi ketika bikin roman Sunda dia menggunakan nama anak pungututnya, yaitu Joehana,” terang Atep Kurnia, dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) III daring, Minggu (26/12/2021).
Akhir Mei 1923, Achmad Bassach alias Joehana dipecat dari pekerjaannya di perusahaan kereta api Hindia Belanda karena terlibat dalam pemogokan buruh kereta. Ia adalah aktivis Sarekat Islam (SI) Merah yang juga aktif sebagai Ketua Vereeniging voor Spoor - en Tramwegpersoneel (VSTP) Bandung—serikat buruh kereta api zaman Belanda.
Setelah dipecat, Achmad Bassach masih aktif di VSTP Bandung. Pada tahun 1924, terjadi perdepadan internal di tubuh SI Merah. Organisasi pecahan Sarekat Islam sekaligus cikal bakal Partai Komunis Indonesia ini sedang bersiap-siap melebur ke dalam Sarekat Rakyat.
Achmad Bassach kemudian terpilih sebagai Ketua Sarekat Rakyat Bandung. Sambil menggerakan organisasi, Achmad Bassach bekerja di koran Soerapati sebagai redaktur, beberapa tulisannya sering mengkritik Bupati Bandung Wiranatakusumah.
Pada fase tersebut, lanjut Atep Kurnia, Joehana mulai menulis sejumlah roman Sunda. Aktivitas menulis fiksi ini terus ia lakukan sampai dipecat pada 1925 dari organisasi merah yang telah lama ia geluti. Pada tahun ini, terbit roman Eulis Atjih dengan nama pena Joehana. Roman ini dimuat di Soerapati, kemudian dipentaskan dalam pertunjukan tunil atau sandiwara.
Antara 1926-1927, Atep Kurnia mencatat Joehana menerbitkan Rusiah nu Goreng Patut alias Karnadi Bandar Bangkong, juga dengan nama pena Joehana. Mengapa nama ini dipilih Achmad Bassach? Menurut Atep, Achmad Bassach menyukai istilah-istilah asing.
Nama Joehana yang berbau belanda tersemat pada anak pungut Achmad Bassach, lalu ia pakai sebagai nama penanya. “Anak pungutnya dikasih nama berbau Belanda dapat dimengerti karena Achmad Bassach menyukai hal-hal yang bersifat asing, Belanda, Inggris, karena ketika muda ia sering mengambil kursus termasuk bahasa asing,” terang Atep Kurnia.
Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (1): Menemukan Jejak Joehana
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (2): Lahir di Palembang dan Besar di Sekitar Tegallega?
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (3): Belajar di Bandung, Mengajar di Cianjur
Karnadi Bandar Bangkong
Kisah Rusiah nu Goreng Patut barangkali salah satu roman paling sukses yang digarap Joehana Achmad Bassach. Roman ini banyak melahirkan kajian di ranah akademik, salah satunya oleh Arip Hidayat dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kuningan (Unika), Jawa Barat.
Dalam penelitian bertajuk “Representasi Cerita ‘Karnadi Anemer Bangkong’ Sebagai Identitas Masyarakat Sunda”, Arip Hidayat menyebut roman Achmad Bassach sebagai, “Salah satu cerita rakyat fenomenal yang beredar di masyarakat Sunda.”
Ia menjelaskan, cerita Karnadi Bandar Bangkong ditulis oleh Soekria dan Joehana pada 1928 dengan judul asli Rasiah Nu Goreng Patut dalam bentuk Novel. “Soekria menyumbang ide cerita berupa plot, sedangkan Joehana menuliskannya,” terang Arip.
Novel tersebut diterbitkan di Bandung oleh penerbit Dakhlan Bekti. Cetakan kedua diterbitkan oleh penerbit Kiwari, Bandung, tahun 1963, dengan judul Karnadi Anemer Bangkong.
Karnadi Anemer Bangkong, lanjut Arip Hidayat, diyakini oleh orang Cijawura merupakan kisah nyata yang terjadi tahun 1920. Cerita itu menjadi semacam identitas bagi masyarakat Sunda yang melahirkan dongeng, sandiwara/teater, film, sinetron, dan lain-lain.
Arip Hidayat kemudian mengulas film Karnadi Anemer Bangkong garapan G. Kruger pada tahun 1930. Film ini adalah sebuah film komedi sekaligus film suara pertama, meski kualitas suaranya buruk dan sebagian adegan tidak bersuara.
Alur fillm didasarkan pada novel Karnadi Bandar Bangkong, yakni kisah Karnadi yang hidupnya melarat serta memiliki tampang yang sangat buruk. Meski sudah memiliki tiga anak dari seorang istri, Karnadi empunyai hasrat untuk kawin lagi. Suatu hari Karnadi melihat seorang wanita cantik di pasar bernama Eulis Awang anak orang kaya. Terpesona oleh pandangan pertama, Karnadi mengikuti Eulis Awang yang pulang naek delman.
Setelah tahu di mana tempat tinggal Eulis Awang, Karnadi lalu mengatur siasat buruknya agar bisa menikahi Eulis Awang. Karnadi meminta sahabatnya, Marjum, untuk meminjam pakaian lengkap kepada Raden Sumtama. Marjum juga disuruh mengabari istri Karnadi, Nyi Usni, bahwa suaminya tertabrak mobil dan harus dirawat di rumah sakit.
Selain itu, ayam milik Karnadi harus dijual untuk biaya di rumah sakit. Karnadi tahu bahwa istrinya tidak akan berani datang ke rumah sakit. Dengan bekal uang hasil menjual ayam serta baju pinjaman, Karnadi datang ke rumah Eulis Awang. Ia menyamar sebagai Raden Sumtama, seorang anemer (pemborong) yang sangat kaya dan baru beberapa bulan ditinggal istrinya wafat.
Mas Sura, ayah Eulis Awang percaya saja kepada semua bualan Karnadi hingga akhirnya menerima lamarannya. Eulis Awang yang awalnya tidak senang karena melihat fisik Karnadi, akhirnya menerima bujukan orang tuanya demi mendapat kekayaan calon suaminya. Karnadi pun berhasil memperistri Eulis Awang.
Kebusukan Karnadi pada akhirnya terbongkar. Marjum mengabarkan bahwa istri Karnadi sakit parah, sedangkan dua anaknya meninggal dunia. Sementara Eulis Awang marah dan malu setelah mengetahui penipuan itu, ternyata suaminya tak lebih dari orang melarat, bukan Raden Sumtama anemer yang kaya raya itu. Di akhir kisah, Karnadi mati bunuh diri tenggelam di sungai Citarum.
“Film ini mendapat sorotan negatif dari penonton dikarenakan adanya adegan Karnadi memakan kodok (bangkong) yang tidak laku dijualnya. Sorotan itu didasarkan pada agama yang dianut oleh sebagian masyarakat Sunda, yang mengharamkan kodok (bangkong) untuk dikonsumsi. Film itu dianggap konyol, memalukan dan merupakan hinaan buat orang Sunda,” demikian ungkap Arip Hidayat.
Dari kisah Karnadi, Arip Hidayat menggarisbawahi identitas pada masyarakat Sunda, di antaranya:
1. Cerita Karnadi Anemer Bangkong hampir semuanya direpresentasi dalam berbagai macam bentuk, dan semuanya menggunakan bahasa Sunda campur dengan bahasa Indonesia. Artinya, masyarakat Sunda mempunyai kesetiaan terhadap bahasanya, yaitu bahasa Sunda;
2. Identitas masyarakat Sunda yang lain tercermin dari cerita yang cenderung komedis dan satir. Masyarakat Sunda mempunyai selera humor yang tinggi namun pedas;
3. Masyarakat Sunda meyakini bahwa segala bentuk penipuan apa pun, tidak dibenarkan dari kacamata sosial. Artinya kejujuran dijunjung tinggi di dalam masyarakat Sunda. Hal itu terbukti dari berakhirnya tokoh Karnadi;
4. Orang kaya yang sombong tidak disukai masyarakat Sunda. Oleh karena itu, selalu ada hal dikenakan pada tokoh yang sombong. Dalam cerita Karnadi Anemer Bangkong dan berbagai macam representasinya, tokoh orang kaya yang sombong selalu menjadi korban penipuan.