BUKU BANDUNG #44: Menolak Melupakan Kisah Sjafei Soemardja
Sjafei Soemardja, anak petani kelahiran Bandung. Ia sempat tidak lulus ujian masuk sekolah, sebelum menjadi tokoh seni rupa berpengaruh di Indonesia.
Penulis Reza Khoerul Iman3 Juli 2022
BandungBergerak.id – Peresmian sekolah teknik warisan kolonial Belanda De Tehniche Hoogeschool te Bandung menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB), 2 Maret 1959, menjadi momen bersejarah bagi dunia pendidikan di Kota Bandung. Peristiwan ini digadang-gadang dapat membawa Indonesia menuju ke suatu negara modern yang maju di bidang industri, kelak.
Sebelum menjadi kampus teknik, ITB adalah bagian dari Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia. Peresmian kampus ITB dilakukan Presiden Republik Indonesia Ir. Sukarno.
Namun dari momen tersebut mungkin tidak banyak orang yang ingat bahwa terbentuknya ITB tidak terlepas dari peran sang arsitek pendidikan tinggi seni rupa modern Indonesia, Sjafei Soemardja.
Kisah dan karya Pak Mardja, panggilan akrab Sjafei Soemardja oleh koleganya di kampus, memang pada kenyataannya masih diketahui secara amat terbatas. Nama Sjafei Soemardja pada saat ini hanya diketahui oleh sejumlah orang saja. Atau nama ini lebih dikenal sebagai nama galeri seni di pojok ITB, yaitu Galeri Soemardja, itu pun belum tentu semua orang tahu bahwa nama galeri diambil dari Sjafei Soemardja.
Melihat fenomena khilaf sejarah dan terbatasnya buku tentang Sjafei Soemardja di pasaran, mendorong Galeri Soemardja untuk menerbitkan ulang buku karya Samsudi yang bertajuk Kisah Sjafe’i Soemardja. Pihak Galeri Soemardja berharap penerbitan ulang buku ini dapat mengangkat kembali kisah hidup Sjafei Soemardja ke permukaan dan tersiar lebih luas di hadapan khalayak banyak, terutama di dunia seni rupa Indonesia.
“Anda boleh mengatakan bahwa langkah penerbitan ulang ini sebagai romantisme. Itu benar. Bagi kami, barangkali, itu merupakan bentuk romantisme yang belum terlambat. Bagaimanapun, sosok Pak Mardja berhak untuk disiarkan secara lebih luas,” tulis Direktur Galeri Soemardja, Aminudin TH Siregar, dalam kata pengantar buku Kisah Sjafe’i Soemardja.
Kisah yang Hampir Terlupakan
“Aku dimasukkan ke Sekolah Dasar di desa Andir, Kota Bandung. Di sekolah itu aku tidak termasuk anak yang pandai, tapi bukan pula anak yang bodoh, sebab tiap-tiap tahun aku naik kelas. Dalam pelajaran menggambar aku boleh juga disebut anak yang terpandai,” tutur Sjafe’i Soemardja [Kisah Sjafe’i Soemardja, halaman 19].
Sebelum namanya mencuat tinggi dan terpahat dalam sejarah ITB, Sjafei Soemardja tidak lebih hanya seorang anak biasa yang dilahirkan di Bandung selatan pada tanggal 14 Mei 1907. Bapaknya, Abdulwahab, tidak lebih dari seorang petani kecil yang mempunyai sebidang sawah dengan luas kira-kira setengah hektar dan kebun salak seluas 80 tombak persegi.
Namun, satu hal yang diyakini dapat membuat namanya kemudian tercatat dalam sejarah seni rupa ITB yakni Pak Mardja itu merupakan seorang yang tekun, berkemauan keras dalam mencapai cita-citanya, dan mampu menjejaki liku-liku kehidupan yang keras. Hal itu dikuatkan dari perjuangan kisah hidupnya yang hanya seorang yang terlahir biasa saja kemudian menjadi seorang guru Bantu Sekolah Rakyat biasa di SD Kedawung Karawang, hingga pada akhirnya dapat memangku jabatan sebagai guru besar di ITB.
Satu kisah lagi yang menunjukkan bahwa Pak Mardja memiliki kegigihan yang kuat sejak dini yaitu ketika ia berusaha segigih mungkin untuk persiapannya menempuh ujian masuk ke sekolah guru di Noormaalschool di Purwakarta. Ia yang menyadari dirinya tidak pandai berhitung, seketika meminta gurunya untuk memberinya pelajaran lebih di luar jam sekolah.
“Guruku menyanggupinya, tiap-tiap malam aku akan diberi beberapa hitungan atau soalan, akan tetapi dengan syarat atau perjanjian, bahwa tiap-tiap hari aku harus mengirim sepikul kayu bakar ke rumah Pak Guru, dan aku harus pula membantu menggiling kacang kedelai untuk dijadikan tahu; dan setelah itu aku harus memikul ampas tahu ke Ciroyom, yaitu tempat pemeliharaan babi, untuk dijual kepada Cina yang memelihara babi,” kata Soemardja.
Namun nasib buruk menimpa Soemardja. Waktu itu ia tidak lulus menempuh ujian masuk di Noormaalschool yang ada di Purwakarta. Selepas mengenyam kenyataan pahit ia tidak kuasa untuk pulang ke Bandung, pada akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Tanggerang ke rumah kakaknya.
Perjalanan hidupnya selama menempuh pendidikan Sekolah Guru di sanalah yang kemudian akan membawanya mengenal sosok Prof. Dr. Nieuwenhuis yang memberikan dorongan dan bantuan kepada Soemardja untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan negeri di negeri kincir angin.
Perjalanannya dari mulai Kota Bandung, Amsterdam, Belgia, Wiena, hingga kembali lagi ke tanah air, semua itu yang mempermantap kepribadian Soemardja. Dari seluruh pengalaman hidupnya tersebut, telah disimpulkan pegangan yang mendasari setiap tindakannya sehingga dapat dijadikan teladan oleh setiap orang.
“Di tanah air banyak pemuda pemudi yang berbakat seni. Hanya sayang sekali di zaman penjajahan itu tidak ada usaha untuk penyalurannya atau tidak ada perhatian untuk memajukan segala kesenian itu. Oleh karena itu terbitlah keinginn yang kuat di dalam hatiku, yaitu jika nanti aku telah lulus dan mendapatkan ijasah dari sekolah guru gambar, aku akan menjadi guru gambar di salah satu perguruan tinggi di Indonesia untuk mendidik dan memajukan pemuda pemudi yang berbakat seni itu,” harap Sjafei Soemardja, ketika ia masuk ke Rijksinstituut tot Opleiding Voor Teenkenleraren di Amsterdam.
Baca Juga: BUKU BANDUNG #41: Bandoeng Waktoe Itoe
BUKU BANDUNG #42: Komik Katumbiri Regenboog (Jilid I)
BUKU BANDUNG #43: Kebangkitan Kembali Orang Sunda
Upaya Merawat Ingatan tentang Sjafei Soemardja
Di tengah fenomena khilaf sejarah ini, masih ada sejumlah orang yang berupaya untuk tetap merawat ingatan tentang Sjafei Soemardja, di antaranya melalui gelaran pameran buku Soemardja Book Fair yang diadakan di Galeri Soemardja. Gagasan gelaran buku tersebut bermula dari obrolan Deni Rachman, Indra Prayana, dan Kang Ucok, panggilan akrab Aminuddin TH Siregar.
“Kang Ucok mengajak para pelapak buku berpameran dan berbursa buku di Galeri Soemardja. Saya dan Indra tentu menyambut baik ajakan ini dan menyampaikannya di lain hari kepada Sarekat Buku. Di tahun itu, ia sedang sibuk menyiapkan keberangkatannya ke negeri kincir angin untuk melanjutkan studi pascasarjana. Pertemuan di toko pun menjadi jarang. Ia kemudian mengundang kami bertemu di ruangan kantor galeri dan memperkenalkan kami kepada Kang Zusfa yang nantinya mewakili pihak galeri,” tulis Deni Rachman, dikutip dari tulisannya yang bertajuk MEMORABILIA BUKU (22): Soemardja Book Fair, Gelaran Buku Kolektif di ITB 2017-2019.
Pameran buku yang pertama kali digelar pada 2017 dan terhenti pada 2020 karena pagebluk melanda Indonesia, cukup membuat nama Sjafei Soemardja yang hampir luput terlupakkan kembali sedikit terangkat ke permukaan.
Besar harapannya, sebagaimana yang diharapkan pada saat pencetakan ulang buku Kisah Sjafei Soemardja, kisah hidup dan perjuangan Pak Mardja beserta liku-liku kehidupannya hingga mampu berperan penting dalam dunia pendidikan seni rupa di Indonesia, dapat diketahui oleh semua khalayak umum dan dapat menjadi suri teladan yang baik.
Informasi Buku
Judul: Kisah Sjafei Soemardja
Penulis: Samsudi
Penerbit: Galeri Soemardja.