NGULIK BANDUNG: Gedung PGN Braga, Bukti Bandoeng Pernah Punya Jaringan Gas Dalam Kota di Zaman Kolonial
Saat ini pemerintah gencar membangun jaringan gas dalam kota. Di zaman kolonial, mayoritas kota besar di nusantara sudah menikmatinya. Bandung salah satunya.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
11 Agustus 2022
BandungBergerak.id—Ketika gas di dapur tiba-tiba habis, sementara makanan belum tuntas dimasak, maka serangan panik menyerang. Angkat tabung dan tunggang-langgang ke warung. Makin panik saat empunya warung berteriak, “gasnya kosong Bu!” Problem khas ibu-ibu rumah tangga di Indonesia yang tidak memiliki cadangan tabung gas. Maka, membayangkan memiliki gas rumah tangga yang dapat digunakan kapan pun menjadi impian.
Sangat berbeda ketika menonton film-film besutan Holywood misalnya. Terbayang adegan memasak yang begitu indahnya diselingi musik klasik mengalun syahdu. Tiba-tiba adegan berubah kacau saat pelakon utama yang sedang memasak harus terhenti karena si mbak bule berparas cantik jelita itu harus lari dulu ke warung karena gas di dapurnya habis. Sungguh kocak rasanya.
Memang selain menggunakan listrik sebagai sumber energi rumah tangga, gas adalah sumber energi alternatif yang digunakan di negara-negara maju. Namun tentu saja, bukan gas dalam tabung seperti yang digunakan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jaringan gas (jargas) dalam kota yang disalurkan menggunakan pipa-pipa yang diinstal ke setiap rumah tangga di negara maju merupakan hal lumrah sebagai fasilitas publik di negara-negara tersebut.
Sebuah kabar gembira disampaikan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dikutip dari laman resmi Kementrian ESDM, untuk menekan dan memanfaatkan sebaik-baiknya APBN, mulai tahun 2022 Kementrian ESDM, telah membangun jargas sebagai pengganti liquefied Petroleum Gas (LPG). Dalam pelaksanaannya PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) ditunjuk untuk memulai pembangunan instalasi jargas di Surabaya.
Surabaya, ditetapkan sebagai kota percontohan dengan pertimbangan dekat dengan sumber gas dan telah memiliki sambungan pipa gas yang cukup baik. Pembangunan jargas ini akan dilakukan dalam beberapa tahap. Setelah Surabaya akan diikuti oleh beberapa kota dari berbagai pulau yang memang dekat dengan sumber gas.
Berbeda dengan kota-kota tersebut, Bandung memang jauh dari sumber gas alam. Perlu ada metode khusus untuk membuat jaringan gas dalam kota. Jauh sebelum niatan Kementrian ESDM ini dicanangkan, ternyata saat negara ini masih menjadi koloni Kerajaan Belanda, Indonesia termasuk Bandung ternyata sudah pernah memiliki jaringan gas dalam kota.
Gas sebagai Energi Alternatif di Zaman Kolonial
Hindia Belanda hingga pertengahan abad ke-19 masih menggunakan minyak bumi, spirtus, dan bensin sebagai sumber energi dalam kehidupan sehari-hari warganya, termasuk penerangan. Tidak hanya fasilitas publik seperti jalanan, bahkan rumah-rumah tangga pun harus puas dengan menggunakan penerangan minim dengan minyak tanah ataupun spirtus.
Masalah penerangan di tempat-tempat publik, seperti jalan inilah yang menjadi masalah krusial saat itu. Masalah-masalah besar dari mulai kejahatan yang dapat terjadi karena penerangan yang minim, hingga hal-hal unik seperti para tamu hotel yang bahkan sulit menemukan mulut mereka sendiri di meja makan seperti yang diberitakan kemudian di harian Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12 Agustus 1896.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu sangat menyadari akan masalah energi ini, dan mereka mulai memikirkan sebuah energi alternatif yang selama ini sudah digunakan di Eropa. Sejak lama negara-negara Eropa menggunakan penerangan dengan menggunakan cawan-cawan bermahkota (obor) dengan bahan bakar berupa gas, yang dinilai jauh lebih efektif dibandingkan bahan bakar lainnya.
Pemerintah Kolonial Membangun Jaringan Gas di Nusantara
Adalah sebuah perusahaan yang berasal dari Den Haag, Kerajaan Belanda, menawarkan jasa pada pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan akan energi alternatif ini. Bersama pemerintah, perusahaan berbadan hukum firma L.J.N. Eindhoven & Co. Gravenhage, ini mulai membangun jaringan gas pertamanya di Pasuruan, Jawa Timur (De Oostpost, 2 Juli 1857).
Setelah Pasuruan, L.J.N. Eindhoven & Co. Gravenhage diberikan wewenang oleh pemerintah Hindia Belanda untuk melanjutkan membangun jaringan gas di Batavia, Semarang, dan kota-kota lainnya. Maka pada tahun 1859, Ministerie van Koloniën (Menteri Urusan Tanah Jajahan) Belanda, menerbitkan hak konsesi selama 20 tahun bagi firma tersebut. Sejak saat itu, maka tanggung jawab terkait jaringan gas dalam kota di Hindia Belanda, menjadi tanggung jawab mereka (De Oospost, 13 Februari 1860).
Hak konsesi tersebut memberikan keleluasaan bagi firma tersebut untuk meluaskan pembangunan jaringan gas dalam kota, di wilayah Hindia Belanda. Dengan kepemimpinan insinyur G. W. Goossens, Gasfabriek pertama didirikan di Surabaya, pada tahun 1860. Seperti yang diberitakan dalam Obituari kematiannya pada harian Soerabaijasch handelsblad 28 Desember 1885. Diikuti kemudian dengan pendirian Gasfabriek yang kedua di Batavia.
Menjadi pertanyaan bagaimana energi gas didapat pada abad ke-19, saat sumber energi gas alam masih belum ditemukan. Mengadopsi apa yang sejak lama dikembangkan di Eropa, Firma L.J.N Eindhoven & Co. Gravehage, memproduksi gas sendiri dengan menggunakan batubara sebagai bahan bakunya.
Batu bara menjalani proses gastifikasi atau menjadi bahan cair dan disimpan pada tanki dengan suhu minus 163 derajat Celcius. Setelah itu dilanjutkan dengan proses regasification yaitu, gas cair yang disebut LNG (liquid natural gas) diubah kembali menjadi gas di pabrik terpisah. Gas itulah yang kemudian disalurkan melalui pipa-pipa sebagai energi alternatif untuk penerangan jalan.
Pemerintah Meluaskan Jaringan Usaha ke Energi Listrik
Firma L.J.N Eindhoven & Co. Gravehage, adalah satu-satunya perusahaan yang diberikan konsesi khusus oleh Kementrian Urusan Tanah Jajahan Belanda. Karenanya urusan energi alternatif bisa dikatakan dimonopoli oleh mereka. Pada pertengahan abad-19 industrialisasi di Hindia sudah mulai berkembang, maka persoalan energi tidak lagi sebatas untuk urusan penerangan fasilitas umum.
Dikutip dari arsip Inventaris Perusahaan Gas Negara Tbk. yang diterbitkan oleh ANRI, perusahaan-perusahaan kecil mulai bertumbuh dan keberadaan mereka diakui negara. Maka firma L.J.N Eindhoven & Co. Gravehage, mengubah status badan hukumnya menjadi Naamloze Venootschap (NV). Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, firma L.J.N. Eindhoven, berubah nama menjadi, NV Nederlandsch Indische Gas Maatschappij (NIGM).
Sehubungan dengan semakin berkembangnya industrialisasi, kebutuhan sumber energi tidak hanya sebatas pada instalasi lampu untuk penerangan saja. Maka NV NIGM berupaya untuk mengembangkan sayap bisnisnya pada sektor listrik. Maka mulailah dibangun beberapa pembangkit tenaga listrik, selain di Batavia yaitu di Semarang, serta Surabaya pada akhir 1896.
Bandung Membutuhkan Gas
Berbeda dengan kota-kota lain yang telah dibangun instalasi jaringan gas sebagai energi alternatif untuk penerangan fasilitas publik, Bandung masih belum memilikinya. Bahkan listrik saat itu terbatas sebagai sebagai fasilitas yang hanya dimiliki pemerintah untuk menunjang jaringan telekomunikasi seperti telepon dan telegraf.
Perdebatan di kalangan masyarakat kerap terjadi, terutama yang mempermasalahkan berapa biaya yang harus dikeluarkan apabila instalasi gas terpasang. Namun sisi lain mereka membutuhkan penerangan di jalan raya dan juga beberapa fasilitas publik yang masih hidup pada malam hari. Pro dan kontra terus terjadi, terutama antara warga yang memiliki usaha dan warga yang hanya sekedar rumah tangga biasa.
Hingga ketika NV. NIGM mengumumkan akan didirikan sebuah pabrik gas di Bandung, masyarakat menanggapinya setengah hati. Maka ketika NV. NIGM mengadakan petisi kepada Wali Kota Bandung untuk mendirikan pabrik gas yang akan menguntungkan kota ke depannya, sebagian besar warga menolak (De Prenger Bode, 19 Desember 1918).
Bagi warga Bandung, gas dibutuhkan oleh pemerintah sebagai penerang jalan, sebagai energi alternatif lain selain listrik yang masih sangat terbatas. Namun mereka khawatir hal tersebut akan berpengaruh dengan nilai pajak yang harus mereka bayar dan masyarakat sekedar di eksploitasi oleh perusahaan gas tersebut, untuk keuntungan mereka saja.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Penemuan Situ Lembang
NGULIK BANDUNG: Taman-Taman di Bandung
NGULIK BANDUNG: Kisah Badak di Gunung-gunung Bandung
Pabrik Gas Berdiri di Bandung
Dikutip dari, De Preanger-bode, 25 Maret 1919 pengajuan untuk mendirikan pabrik gas di Bandung sudah dilakukan sejak tahun 1911. Kendala baik internal maupun eksternal seperti masalah keuangan hingga penolakan warga yang khawatir akan dampak negatif yang ditimbulkannya. Maka tugas berat bagi NV. NIGM untuk meyakinkan masyarakat bahwa mendirikan pabrik gas, akan memiliki dampak positif yang yang jauh lebih besar.
Posisi NV. NIGM semakin berat dengan kenyataan bahwa perusahaan swasta pembangkit tenaga listrik di Bandung, Gemeenschpplijk Electriciteit Bedrif Voor Bandoeng (GEBEO), mulai melebarkan sayapnya. GEBEO tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah, namun juga menjangkau masyarakat luas. Hingga masyarakat menganggap pembangunan pabrik gas bukanlah hal yang harus didahulukan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 10 April 1919).
Setelah melalui berbagai kendala, NV. NIGM pada akhirnya dapat meyakinkan masyarakat, bahwa keberadaan gas akan sangat bermanfaat bagi kehidupan warga. Karena selain penerangan, ada hal-hal lain yang tidak dapat dilakukan oleh listrik. Bagaimana warga dapat menghidupkan tungku dan pemanas di rumah dengan biaya yang dapat ditekan, selain menggunakan gas.
Setelah bangunan didirikan, instalasi saluran pipa telah dipasang Gasfabriek siap dioperasikan. Maka fabriek yang terletak dekat dengan rel kereta di Kiaratjondong tersebut, akhirnya diresmikan dan mulai beroperasi pada 17 Februari 1921 (De Preanger-bode, 25 Juli 1922).
Kantor Pelayanan NV. NIGM di Jalan Braga Berdiri
Setelah melalui berbagai rintangan, akhirnya pendirian Gasfabriek di Bandung tidak pernah sia-sia. Ketika beberapa kali mengajukan petisi dan selalu ditolak oleh masyarakat Bandung, bukan sekadar fasilitas publik seperti jalan raya, kini gas pun sudah dapat dinikmati oleh ibu-ibu rumah tangga. Mereka dapat terenyum lebar saat dengan mudah dapat mengolah penganan di dapur dengan bahan bakar gas.
Sejak didirikannya pada tanggal 17 Februari 1921, pabrik gas ini telah melayani instansi pemerintah, rumah tangga, bahkan beberapa perusahaan dan fasilitas publik yang sangat tergantung pada bahan bakar gas. Sebut saja, rumah sakit, hotel, toko-toko roti, restoran, seakan tidak bisa lepas pada ketergantungan mereka akan gas.
Karena permintaan yang terus meningkat, maka NV. NIGM merasa perlu untuk mendirikan kantor pelayanan, yang berfungsi untuk pencatatan distribusi serta menerima pembayaran dari warga. Maka sebuah gedung yang sangat indah dengan jendela-jendela lebar di Jalan Braga berhasil menjadi milik mereka.
Herr Heutermann, pemimpin NV. NIGM, berpidato menyampaikan ucapan terima kasih kepada para warga, serta mengumumkan pencapaian mereka selama ini. Gelas-gelas pun diangkat, musikpun mengalun, gedung tersebut telah diresmikan pada malam tanggal 4 September 1928 (De koerier, 5-9-1928).
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman