• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Penemuan Situ Lembang

NGULIK BANDUNG: Penemuan Situ Lembang

Situ Lembang, danau yang dulu tersembunyi di antara Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu. Danau yang kemudian terkuak karena jaringan irigasi.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Air Terjun di Cimahi dekat Bandung sekitar tahun 1900. Koleksi KITLV 82571 (sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

4 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Batavus menuliskan pengalamannya mengunjungi Bandung yang terbit di koran Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie tanggal 4 Desember 1888. Dia menyusuri jejak penjelajahan Pieter Johannes Veth (1814-1895), seorang profesor geografi sekaligus etnolog Belanda di sana.

“Bandung begitu kaya akan pemandangan alam yang indah dan membuat penasaran sehingga orang bingung harus ke mana dulu,” tulis Batavus di koran tersebut mengutip Veth.

Batavus mendatangi sejumlah tempat yang disebutkan Veth dalam bukunya Java, geographisch, ethnologisch, historisch yang ada di seputaran Bandung. Dia mengunjungi Tji Tarum, air terjun atau tjoeroeg Tji Kapoendoeng yang memiliki tinggi 40 kaki, hingga kota tua Dajuh Kollot.

Namun satu tempat yang disebutkan Veth yang berakhir menjadi misteri bagi Batavus, yakni Danau Tji Mahi. Batavus masih ingat, Veth menceritakan bahwa danau tersebut memiliki air yang jernih hingga memantulkan puncak Gunung Burangrang, sering dikunjungi badak dan banteng, serta menjadi persinggahan unggas air.

Dalam salah satu perjalanannya, Batavus menyusuri Tji Mahi, sungai yang berhulu di Gunung Tangkuban Parahu. Dia memulai penelusurannya atas sungai tersebut dari cabang jalan utama yang berada di persimpangan menuju ke Gunung Burangrang dan Tangkuban Parahu. Menembus kebun kopi, menyusuri jalan yang naik dan menurun, memasuki lembah hingga menemukan air terjun di sungai tersebut.

Perjalanannya menyusuri Tji Mahi berakhir di sana. Air terjun yang muncul dari tebing yang curam menghentikan langkahnya.

Batavus masih penasaran. Dia menanyai penduduk sekitar mengenai keberadaan danau yang tersambung di Tji Mahi di lembah di antara Gunung Boerangrang dan Tangkuban Parahu. Penduduk setempat malah bingung.

“Semua penduduk asli, yang saya tanyakan di sini, bersikeras bahwa hanya ada satu tjoeroeg (air terjun); danau, tak seorang pun dari mereka tahu,” tulis Batavus di koran tersebut.

Situ Lembang. Pemandangan Gunung Tangkuban Parahu terlihat di danau yang diperkirakan sebagai Situ Lembang. Foto Koleksi KITLV 1405511 (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Situ Lembang. Pemandangan Gunung Tangkuban Parahu terlihat di danau yang diperkirakan sebagai Situ Lembang. Foto Koleksi KITLV 1405511 (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Danau Lembang Tji Mahi

Pieter Johannes Veth, dalam bukunya yang berjudul Java, geographisch, ethnologisch, historisch yang terbit tahun 1882 menceritakan tentang danau yang berada di aliran Tji Mahi, yang berada di satu lembah di antara Gunung Burangrang dan Tangkuban Parahu. Veth menyebutkan danau tersebut ditemukannya saat dalam perjalanan menjelajahi dataran Bandung bagian barat menuju Tji Mahi, ibukota Tji Lokotot. Veth menamainya danau Lembang Tji mahi.

“Namanya diambil dari sungai kecil Tji Mahi, anak sungai Tji Tarum, yang bermuara di Tankoeban Prahoe dan pada mulanya mengalir melalui lembah tinggi berhutan yang luas di antara gunung berapi itu dan punggungan tajam Boerangrang. Di tengah lembah ini melebar ke Danau Lembang Tji Mahi yang indah, sering dikunjungi oleh badak dan banteng dan diramaikan oleh ratusan unggas air, yang airnya jernih dan tenang mencerminkan puncak Boerangrang. Setelah meninggalkan lembah yang tinggi ini membentuk beberapa air terjun, Tjoeroeg Penganten bukanlah yang tertinggi, tetapi tidak diragukan lagi yang paling indah” (Veth, 1882, halaman 293).   

Hingga dua dekade pertama abad ke 20, keberadaan danau tersebut tampaknya tetap tersembunyi. Buku Veth menjadi satu-satunya sumber yang paling terang yang menyebutkan keberadaan danau pada lembah yang diapit Gunung Burangrang dan Tangkuban Parahu.

Koran De Preanger-bode tanggal 29 Desember 1921 menerbitkan artikel panjang berjudul Gids Voor Bandoeng en Omstreken (Panduan Ke Bandung dan Sekitarnya). Artikel tersebut menceritakan tentang buklet terbaru yang disusun oleh Reitsma dan Hoogland, menggantikan buklet lama, yang berisi daftar lokasi yang wajib dikunjungi bagi mereka yang ingin menikmati keindahan alam yang ada di sekitar Bandung.

Buklet yang disusun dengan bentuk dan susunan yang praktis agar mudah dibawa dalam perjalanan, mencantumkan sejumlah lokasi yang wajib disambangi jika mengunjungi Bandung. Di antaranya Tjihampelas, Empang Tjipaganti, Dagowaterval, Artjamanik, Tjipanas, Boeah Batoe, Sangkoeriang, Dajeuh Kolot, Tjoeroeg Djompong, Tjimahi dan Tjisaroea, General de Wethoeverang, dan Lembang.

Buklet tersebut juga mencantumkan sejumlah lokasi yang jaraknya relatif jauh, tapi masih bisa dijangkau dari Bandung. Di arah selatan seperti Kawah Kamodjang, Danau Tjiharoes, Pengalengan, Malabar, Papandajan, Kawah Gunung Wayang, Sitoe Tjileuntjah, Danau Tjibitoeng, air terjun Tjibeureum, Kawah Tjiwidej, Kawah Putih, Kawah Patoeha, Kawah Kaler, Kawah Tjibouni , serta Danau Patengan. Di timur ada Telaga Bodas, Danau Leles, air terjun Tjimanirajoen dan Tjitarik, kawah kembar Tangkoeban Praoe, Tjipanas, serta Artjamanik. Di bagian baratnya terdapat Tjoeroeg Halimoen, Tjoekang Rahong, Sanghiang Tikoro, serta gua-gua Goenoeng Pawon.

Di buklet tersebut tidak disebutkan keberadaan danau yang berada di lembah yang diapit Gunung Burangrang dan Tangkuban Parahu.

Jaringan Irigasi yang Membuka Danau Lembang  

Bandung berkembang sangat pesat. Penduduknya terus bertambah. Perkembangan yang membawa konsekuensi serius pada kebutuhan pasokan air. Pemerintah Kota Bandung memulai pengumpulan pasokan air dengan segala upaya sejak tahun 1920-an. Bandung membangun sumur artesis, hingga membuat pipa panjang yang mengalirkan air dari mata air yang bertebaran di pegunungan di sekitaran kota tersebut. Upaya mengamankan pasokan air tak pernah berhenti.

Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 4 Mei 1926 menceritakan upaya pemerintah Kota Bandung untuk mengamankan pasokan air bersih untuk memenuhi kebutuhan warganya. Penggalian sumur artesis sudah lama ditinggalkan. Bandung terus mencari sumber air baru dari mata air yang bertebaran di pegunungan yang berada di sekitar kota tersebut.

Bermula dari kesuksesan mengalirkan sumber air di Lembang menuju Gedong Tjai di Tjibadak , upaya serupa terus dilakukan. Pencarian sumber air mengarah ke sejumlah sumber air yang berada  di daerah yang lebih tinggi. Yang terbaru mengalirkan sejumlah mata air lembah Tjihideung. Tapi itu belum cukup.

Pemerintah Kota Bandung menyusun rencana baru untuk mendapatkan pasokan air lebih banyak. Strategi kali ini bukan lagi membangun jaringan pipa yang panjang, tapi memanfaatkan saluran irigasi karena biayanya jauh lebih murah. Hanya cara ini harus hati-hati, sebab salah sedikit akan mengorbankan sawah warga mengandalkan sumber air untuk bertani.

Tapi tetap saja, cara itu baru bisa dilakukan asalkan menemukan sumber air yang melimpah. Dan untuk menjamin sumber air yang melimpah yang paling mudah dengan membuat tangkapan air yang besar dengan membangun waduk.

Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 4 Mei 1926 menyebutkan danau kecil yang berada di lembah di antara Gunung Burangrang dan Tangkuban Parahu menjadi solusinya. “Danau kecil, yang disebut Sitoe Lembang sangat menguntungkan untuk pembuatan waduk,” tulis koran tersebut.

Tinggal membangun dinding tembok untuk menahan aliran Tjimahi setinggi 3 meter dengan panjang 10 meter untuk membangun waduk dengan memanfaatkan lembah untuk memperluas danau yang sudah ada. Air yang tersimpan di waduk tersebut bisa mencapai 5 juta meter kubik. Airnya tinggal di salurkan memanfaatkan jaringan irigasi yang sudah ada. Yang paling penting, biayanya murah. 

Pemerintah Kota Bandung selanjutnya meminta izin pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu untuk memuluskan rencana tersebut (De koerier, 7 November 1930). Tak butuh waktu lama izin pun diperoleh. Pembangunan langsung dikebut. Setahun waktu yang dibutuhkan untuk membangun waduk yang sekaligus berfungsi mengatur air yang tertampung di Situ Lembang. Awal Desember 1931, waduk Situ Lembang beroperasi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 24 Maret 1932).

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (2)
NGULIK BANDUNG : Buitenzorg, Kota Pertama Pembudidaya Buah Nanas Khas Bandung Barat

Gunung Burangrang (kiri) dan Gunung Tangkuban Parahu dlihat dari Villapark Bandung sekitar tahun 1921. Koleksi KITLV 37297 (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Gunung Burangrang (kiri) dan Gunung Tangkuban Parahu dlihat dari Villapark Bandung sekitar tahun 1921. Koleksi KITLV 37297 (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Situ Lembang Berkembang Menjadi Tempat Wisata

Rencana membangun waduk tersebut pelan-pelan membuka selubung Situ Lembang. Masyarakat banyak yang penasaran menyaksikan langsung danau yang berada di tengah lembah yang di kelilingi hutan purba dihimpit Gunung Burangrang dan Tangkubanparahu. Kelompok Natuur Historische Vereeniging (Masyarakat Sejarah Alam) salah satunya yang paling tertarik.

Koran De koerier tanggal 4 Februari 1929 menceritakan pengalaman perwakilan kelompok tersebut yang mendapat kesempatan untuk ikut terbang di dalam pesawat milik KNILM (Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij), maskapai penerbangan Hindia Belanda. Ada 29 anggota Natuur Historische Vereeniging yang bergantian ikut terbang mengitari Bandung untuk menyaksikan keindahannya dari udara. Pesawat yang ditumpangi hanya terbang pendek saja. Dari lapangan terbang Andir menuju Gunung Tangkuban Parahu,  lalu kembali mendarat.

Pemandangan Situ Lembang dari udara salah satu yang mempesona. Danau tersebut terlihat berada di dataran kecil di tengah-tengah rimbunnya hutan.

Perjalanan udara itu memantik penasaran. Kelompok lain tertarik menyambangi Situ Lembang langsung dengan perjalanan darat. Koran De koerier tanggal 7 Oktober 1929 menceritakan kelompok Bandoengsche Excursie Vereeniging (Asosiasi Wisata Bandung) terhitung yang paling awal menjajalnya.

“Dengan izin yang baik dari otoritas yang berwenang, usaha tersebut di atas dicapai dengan mobil sekitar pukul tujuh melalui Waterleidingweg, di mana pemandangan gunung yang indah dapat dinikmati. Berjalan hampir terus menerus melalui hutan tua, melalui jalan hutan yang semakin sempit, tapi masih bagus, adalah kesenangan sampai akhir, berkat kanopi yang rimbun. Sitoe Lembang, sebuah danau pegunungan yang layak, memberikan pemandangan yang indah, tetapi tidak menawarkan sesuatu yang istimewa,” tulis De koerier,7 Oktober 1929.

Setelah bangunan waduk rampung, makin banyak yang tertarik datang ke Situ Lembang. Kelompok wisata Aquaterra salah satunya yang beramai-ramai mengunjunginya untuk memancing bersama di danau tersebut saat libur di akhir pekan (De koerier, 13 Juni 1932).

Ada juga yang sengaja datang dalam rombongan kecil. Misalnya yang dilakukan oleh keluarga Faatz di Bandung. Faatz bersama dua putrinya yang masih berusia 10 dan 11 tahun, bersama kawannya De Boer penasaran ingin mendaki Gunung Tangkuban Parahu dengan melewati Situ Lembang dari Tjisarua. Karena perjalanan yang terlalu panjang, hari pun sudah terlalu sore. Mereka urung melanjutkan perjalanan menuju Gunung Tangkuban Parahu dan memilih kembali. Niatnya memangkas waktu dengan menembus hutan, mereka malah tersesat.

Keluarganya yang khawatir akhirnya mencari pertolongan untuk menemukan kelompok Faatz yang tak kunjung pulang. Esok pagi regu pencari dikerahkan. Beruntung empat orang itu akhirnya ditemukan. Faatz bersama dua putri, dan kawannya tersebut ternyata terpaksa menginap di hutan (Dagblad van Noord-Brabant, 12 Juni 1934).

Apa pesona Situ LembangKoran De locomotief tanggal 29 Agustus 1935 dalam satu edisi khusus mengulas Preanger, melukiskan:

“Perjalanan yang menyenangkan, yang dapat dilakukan dari atas, adalah ke danau gunung Situ Lembang, yang terletak di tengah hutan purba di ceruk besar antara Tangkoeban Prahoe dan Boerangrang. Karena perubahan level, sebagian besar hutan juga baru-baru ini dibanjiri dan sekarang menyajikan pemandangan aneh dengan batang-batangnya yang mati.” 

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//