NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung #2
Charlie Chaplin kembali menyambangi Bandung dalam lawatan keduanya di Hindia Belanda. Dia berkeliling kota bersama Paulette Goddard dengan delman.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
21 Juli 2022
BandungBergerak.id— Sir Charles Spencer Chaplin (16 April 1889 – 25 Desember 1977), aktor, komedian, komposer film, serta sutradara film dengan nama panggung Charlie Chaplin sempat mengunjungi Bandung, Selasa, 29 Maret 1932, di tengah lawatannya yang pertama ke Hindia Belanda di zaman kolonial. Lawatan perdananya ini dilakukan dalam senyap.
Chaplin yang kala itu datang bersama adiknya, Sydney, serta seorang pelayan keturunan Jepang mampir ke Kota Bandung di sela perjalanannya melintasi Jawa menuju Bali. Chaplin menginap semalam di Hotel Preanger. Kemunculannya saat makan malam di hotel tersebut menggemparkan khalayak.
Pada koran De locomotief tanggal 1 April 1932, Chaplin mengaku terkesan dengan Bandung, dengan bangunan-bangunan modern di sana. Andai tidak terburu-buru, dia pasti akan menyempatkan diri berkeliling. “Aku akan kembali,” kata dia pada koran itu.
Dan Chaplin membuktikan janjinya empat tahun kemudian.
Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 23 Maret 1936 memberitakan kedatangan Charlie Chaplin yang kedua kalinya di Hindia Belanda. Koran tersebut menceritakan, Chaplin tiba di Lapangan Udara Tjililitan di Batavia menumpang pesawat Qantas yang terbang dari Singapura.
Chaplin datang bersama Nona Paulette Goddard dan ibunya Ny. Goddard, serta seorang pramugari Jepang. Hanya merekalah yang menjadi penumpang pesawat tersebut.
Berbeda dengan lawatan pertamanya yang datang nyaris diam-diam, kehadiran Chaplin sudah ditunggu-tunggu. Lawatannya yang dilakukan sambil berlibur tersebut, selalu disertai peliputan media secara luas sejak keberangkatannya dari Hollywood, Amerika.
Nona Paulette Goddard adalah lawan mainnya dalam film Modern Times, film terbaru Chaplin kala itu yang diputar perdana pada 5 Februari 1936. Film Modern Times tidak sepenuhnya bisu. Musik, efek suara, dan kalimat bersuara mengisi film ini, kendati tidak ada percakapan di sana. Chaplin yang memerankan pekerja pabrik dalam film berisi kritik sosial di zaman Great Depression yang melanda Amerika dan sebagian besar dunia kala itu. Di film Modern Times, tokoh Tramp yang diperankan Charlie akhirnya bersuara, kendati hanya menyanyikan lagu dengan bahasa yang tak jelas.
Khalayak di Hindia Belanda hanya bisa membaca ulasan film Modern Times yang tak kunjung diputar di sana. Koran De koerier tanggal 26 Maret 1936 memberitakan film tersebut baru diputar di Belanda pada 27 maret 1936, yang dilakukan serentak di tiga bioskop di Amsterdam dan tiga di Rotterdam.
Berkunjung ke Bandung
Chaplin bersama Nona Paulette dan Ny. Goddard tiba di lapangan udara Tjililitan pukul setengah sepuluh pagi. Paullette yang terlihat keluar pertama kali dari pintu pesawat, lalu Ny. Goddard, dan disusul Chaplin. Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 23 Maret 1936 menggambarkan sosok Chaplin dengan kulit wajah sedikit kecoklatan, dan rambut yang mulai beruban.
Chaplin sempat melayani pertanyaan wartawan yang menunggunya. Sama seperti kunjungannya ke Hindia Belanda untuk yang pertama kali empat tahun lalu, Chaplin berencana mengunjungi sejumlah tempat di Jawa dan Bali. Namun, lawatannya kali ini tidak lama. Pada 6 April nanti, dia harus kembali ke Batavia untuk terbang kembali ke Singapura. Dari sana dia berencana menumpang kapal menuju Kyoto, Jepang.
Chaplin mengaku masih mengingat tempat-tempat yang pernah dikunjunginya dalam perjalanan pertamanya di Hindia Belanda bersama Sydney, saudaranya. Yang paling diingatnya dari Hindia Belanda adalah iklimnya, serta orang-orangnya yang menyenangkan.
Hari itu juga, pukul sebelas siang Chaplin bersama Nona Paulette, Ny. Goddard, dan seorang pelayan langsung melanjutkan perjalanan menggunakan mobil menuju Bandung dengan melewati Puncak. Dia berencana kembali menginap di hotel, lalu menghabiskan waktu seharian di Bandung. Perjalanannya akan dilanjutkan dengan kunjungan singkat ke Garut. Di Garut dia berencana menginap di Hotel Ngamplang.
Koran De koerier tanggal 24 Maret 1936 menceritakan tentang kunjungan Chaplin di Bandung. Kali ini kunjungan Chaplin tidak dilakukan dengan diam-diam. Kendaraan yang membawa Chaplin dan rombongannya tiba di Bandung pukul 6 sore. Khalayak luas sudah menunggunya.
Suasana hingar-bingar saat rombongan Chaplin tiba. Warga kota memadati jalanan kendati hujan deras mengguyur Bandung kala itu demi melihat sekilas saja bintang film asal Amerika tersebut.
Keinginan tersebut terbayar saat Chaplin dan Paulette menyengaja berkeliling menggunakan delman. Pasangan itu menyusuri sejumlah jalan di Bandung. Dari hotel Preanger, delman yang ditumpangi keduanya menyusuri Postweg Grooten, Pasar Baroeweg, Soeniaradjaweg, Kebon Djati, Gardoedjatiweg, menyusuri lagi Postweg Grooten, lalu kembali ke hotel.
Warga tumpah ruah di jalan mengikuti perjalanan Chaplin dan Paulette. Mereka berjejalan di jalan dengan berjalan kaki, serta bersepeda. “Bunyi klakson yang memekakkan telinga dan denting lonceng sudah terdengar di sepanjang jalan,” tulis koran De koerier tanggal 24 Maret 1936 menggambarkan suasana kala itu.
Koran De Limburger tanggal 3 April 1936 menceritakan sejumlah tempat sempat disambangi Chaplin saat kunjungan singkatnya di Bandung. Setelah menginap semalam di hotel, esoknya, Chaplin sempat mengunjungi kawah Gunung Tangkuban Parahu.
Pada Selasa, 24 Maret 1936 sore, Chaplin melanjutkan perjalanan menuju Garut. Di sana dia sempat mengunjungi Danau Leles dan Bagendit, selanjutnya menuju Wonosobo, serta ke Jogjakarta setelah singgah sejenak melihat kembali keindahan Candi Borobudur.
Chaplin lalu melanjutkan perjalanan, masih menggunakan mobil, menuju Surabaya, menyeberang ke Bali sebelum kembali ke Batavia pada 6 April. Saat perjalanan berakhir, Chaplin baru menginap di Batavia, di Hotel Des Indes.
Terkesan dengan Garut
Harian De Indische courant tanggal 30 Maret 1936 memberitakan tentang kunjungan Chaplin bersama Paullette dan Ny. Goddard di Garut. Mengendarai mobil mereka tiba di Garut di pada Selasa, 24 Maret 1936 pukul empat sore. Chaplin dan rombongannya menginap di Hotel Ngamplang di Garut.
Chaplin terkesan dengan kunjungannya di Garut. Di kota kecil tersebut dia akhirnya menikmati ketenangan.
“Di Garut Charlie bisa menikmati ketenangan yang sangat ia dambakan. Di sini tidak ada keramaian di depan hotel, tidak ada pewawancara yang penasaran dan lain-lain. Hanya suara tonggeret dan jangkrik yang terdengar,” tulis koran De Indische courant tanggal 30 Maret 1936.
Esoknya Chaplin dan Paullette mengunjungi Kawah Kamojang di temani pemandu. Perjalanan ke kawah tersebut melewati Hotel Radium, penginapan satu-satunya yang berada di pegunungan. Chaplin sedianya tidak akan menyimpang di Hotel Radium. Tapi pohon tumbang yang menghalangi jalan menuju kawah membuat Chaplin dan Paullette menyimpang sejenak di hotel tersebut. Paullette sempat mengisi catatan buku tamu Hotel Radium.
Setelah lima belas menit jalan pun sudah dibersihkan. Chaplin dan Paullette melanjutkan perjalanan menuju Kawah Kamojang. Tengah hari keduanya telah kembali ke Hotel Radium. Setengah jam beristirahat dengan menikmati stroberi dengan krim kocok, perjalanan kemudian dilanjutkan mengunjungi Danau Leles dan Bagendit.
Chaplin sangat terkesan dengan keindahan dan ketenangan yang diperolehnya di Garut. Jika berkesempatan kembali ke Hindia Belanda, Chaplin berniat untuk tinggal selama dua minggu di sana.
Koran De koerier tanggal 24 April 1936 mengulas tentang keindahan Kamojang yang memberikan kesan tersendiri bagi Chaplin. Kawah Kamojang kala itu dapat ditempuh sekitar 20 menit berkendara dari Hotel Radium dengan melintasi jalan yang membelah hutan. Hotel Radium adalah satu-satunya hotel modern di daerah pegunungan tinggi di Garut milik Tuan Hacks. Hotel tersebut berada persis berbatasan dengan hutan rimba, memiliki fasilitas mewah, lapangan tenis, ruang baca yang nyaman, serta pemandian air panas alami.
Jalan di depan Hotel Radium adalah satu-satunya jalan yang bisa dilalui kendaraan menuju Kawah Kamojang. Kawah yang berada di satu lembah yang dijuluki lembah neraka karena berisi masa lumpur yang menggelegak yang berada persis di tengah-tengah vegetasi hutan yang lebat. Di sana terdapat saluran geyser yang dibangun Dinas Vulkanologi untuk keperluan pembangkit listrik dengan memanfaatkan uap yang dihasilkan. Geyser tersebut menghasilkan suara yang memekakkan telinga menandakan kuatnya tekanan. Saking kuatnya, semburan uapnya bisa melontarkan kaleng mentega kosong hingga puluhan meter ke udara.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung #1
NGULIK BANDUNG: Kesenangan Berkendara Mobil di Bandoeng Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Dua Legenda Gunung Tangkuban Parahu
Wawancara dengan Koran De Locomotief
Wartawan koran De Locomotief mendapat kesempatan mewawancarai Charlie Chaplin saat sang aktor menginap di Hotel Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah. De Locomotief menayangkan hasil wawancaranya dalam terbitannya tanggal 28 Maret 1936. Sejumlah hal yang pribadi tentang sosok Chaplin terungkap di sana.
Chaplin digambarkan sosok yang tampil dengan pakaian modis, wajah yang selalu tersenyum, dengan rambut di bagian pelipis yang ditumbuhi uban. Chaplin justru banyak bertanya tentang aktivitas surat De Locomotief yang berkantor pusat di Semarang. Koran yang sudah lebih dari 75 tahun menggunakan nama Locomotief bersamaan dengan kehadiran kereta pertama di Jawa.
Chaplin mengaku sangat menikmati hotel-hotel yang disinggahinya di Jawa. Makanannya, dan juga “Hotel Anda adalah yang terbaik di Timur Jauh, dan jalan Anda sangat bagus. Masakan Belandanya luar biasa dan betapa saya suka manggis Anda, betapa menyenangkannya mereka,” kata dia, dikutip dari De Locomotief, 28 Maret 1936.
Chaplin sempat ditanya pendapatnya tentang dialog, atau percakapan dalam film. Chaplin mengaku tidak menyukainya. “Menurut pendapat saya, seni yang jauh lebih besar untuk mengekspresikan perasaan tanpa berbicara. Selain itu, saya telah memperhatikan bahwa karakteristik tipe orang pendiam yang malang sangat sesuai dengan selera publik. Lalu mengapa saya mengubahnya?” kata dia.
Chaplin ternyata pembaca yang sangat buruk tanpa kacamata. Dia nyaris tidak bisa membaca jika tidak mengenakannya. “Dia memegang koran (tanpa kacamata) kurang dari satu inci di depan matanya dan itu membutuhkan usaha yang nyata (dia menyipitkan matanya sangat keras) ketika di akhir wawancara, membungkuk, dia menulis salam di saya buku catatan untuk para pembaca ‘The Locomotive’,” tulis koran tersebut.
Paullette menyimak wawancara tersebut sambil merajut. Ia mengenakan celana flanel, jaket flanel putih berkerah besar, dan hanya mengenakan sandal kulit. Paullette sangat menyukai sandal kulit tersebut yang dibelinya dengan harga 1 Gulden saat berkunjung ke Garut.
Paullette bercerita, dirinya sempat mencoba mengangkat pikulan yang dibawa seorang anak pribumi yang ditemuinya di tengah perjalanan dari Garut menuju Wonosobo. Paullette menganggap anak tersebut luar biasa, karena dia yang orang dewasa saja tidak sanggup mengangkat pikulan tersebut.
Kisah Penyemir Sepatu Chaplin
Chaplin bersama Paullette dan Ny. Goddard akhirnya kembali ke Singapura dengan menggunakan pesawat Douglas milik KNILM dari bandara Tjililitan pada 6 April 1936. Dari sana mereka melanjutkan perjalanan kembali menuju Amerika melalui Jepang. Chaplin menjanjikan, Hindia Belanda akan mendapat kesempatan menyaksikan Modern Times, film terbarunya (Bataviaasch nieuwsblad, 7 April 1936).
Namun masih saja ada cerita yang tersisa di balik kedatangan Chaplin ke Hindia Belanda. Salah satunya adalah kisah penyemir sepatunya.
Koran De koerier pada 25 Maret 1936 menuliskan berita pendek mengenai keberuntungan seorang penyemir sepatu yang membersihkan sepatu Chaplin saat bintang film itu menginap di Hotel Preanger, Bandung. Chaplin membayar jasanya dengan honor 10 Gulden, honor menyemir sepatu yang terbesar yang diterimanya. Tapi De koerier tidak menyebutkan siapa si penyemir sepatu itu.
Sosok penyemir sepatu yang beruntung tersebut baru terungkap hampir sebulan kemudian. Harian De Indische courant sengaja mengundang sang penyemir sepatu ke kantornya di Surabaya. Kisahnya diceritakan pada terbitan tanggal 29 April 1936.
Namanya adalah Kistoko, pemuda berusia 20 tahun yang mengaku mahir lima bahasa yakni Belanda, Inggris, Jerman, Italia, serta Perancis. Dia juga mengusai sejumlah bahasa daerah yakni Sunda, Jawa, Madura, Melayu, bahkan Minangkabau.
Si pemuda datang menggunakan seragam bellboy biru. Gaya bicaranya terlalu berani dan fasih untuk seorang penyemir sepatu. Dia menjinjing kotak berisi peralatan menyemir sepatu, seperti yang dipergunakan penyemir sepatu di Eropa. Pendidikannya lumayan, dia lulusan sekolah dasar. Sempat bekerja di pabrik sepatu di Centrum, Bandung. Sehari-hari dia melakukan segala macam pekerjaan mulai dari membawa barang dengan pikulan, menjual koran, mencuci mobil serta sepeda, dan juga menyemir sepatu.
Dialah yang menyemir sepatu Charlie Chaplin saat bintang film tersebut mengunjungi Bandung. “Saya yang ada di koran itu,” kata dia, dikutip dari De Indische courant, 29 April 1936.
Kistoko saat itu berada di Surabaya. Dia memutuskan pindah sementara dari Bandung untuk menjalankan pekerjaannya menyemir sepatu di sana.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman