NGULIK BANDUNG: Dua Legenda Gunung Tangkuban Parahu
Pada masanya ada dua legenda Gunung Tangkuban Parahu. Kisah tersebut berpijak dari bentuk gunung yang unik, serta kengerian kawahnya.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
2 Juni 2022
BandungBergerak.id - Melihat Gunung Tangkuban Parahu dari arah Bandung memang memiliki bentuk yang mencolok. Tubuh gunung terlihat mirip perahu terbalik. Mitos dan legenda pun muncul bersandar dari bentuk gunung yang memang unik.
Legenda Sangkuriang yang paling melekat dengan Gunung Tangkuban Parahu. Tapi kisah Sangkuriang bukan satu-satunya yang beredar melingkupi gunung tersebut.
Adalah Ny. Klausine Klobben salah satu yang mencatat kisah legenda Gunung Tangkuban Parahu yang mungkin jarang diketahui. Penulis Dé-Lilah menuliskan kisah perjalanan perempuan Belanda tersebut mengelilingi Pulau Jawa dalam buku Mevrouw Klausine Klobben op Java, terbitan Utrecht: H.Honig, tahun 1899.
Ny. Klobben memulai perjalanannya dari Batavia di Pulau Jawa. Bandung merupakan salah satu persinggahannya. Di sana dia menyempatkan diri mendaki Gunung Tangkuban Parahu.
Gunung Tangkukban Parahu diketahuinya dari buku-buku yang mengisahkan perjalanan Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis sekaligus ahli botani dan geolog di Hindia Belanda. Junghuhn meninggal pada 24 April 1864 dan dimakamkan di Lembang.
Ny Klobben menyempatkan diri menyambangi makam Junghuhn di kaki gunung tersebut sebelum melakukan pendakian. Dia mendaki dengan menumpang tandu yang diangkut oleh warga sekitar yang disewanya. Petugas polisi menemaninya.
Dalam catatan perjalanannya, dia menuliskan legenda Gunung Tangkuban Parahu yang didengarnya dari penduduk setempat. Legenda ini mengisahkan seorang putri Banten yang dipercayai menghuni Kawah Ratoe, salah satu kawah utama Gunung Tangkuban Parahu.
Kisah Putri Banten
Alkisah sebelum Belanda menghuni Jawa, seorang sultan yang memerintah di Banten memiliki seorang putri yang cantik. Putri tersebut terpikat dengan seorang pemuda tampan dari Lampung yang berkelana di Banten.
Keduanya saling tertarik. Keduanya kemudian memohon pada Sultan Banten agar diperbolehkan menikah. Sang Sultan murka. Dia mengusir sang pemuda dari kerajaannya.
Sang Putri dan pemuda Lampung itu saling bersumpah setia, lalu nekat melarikan diri. Sang pemuda berencana membawa perempuan idamannya itu kembali ke Lampung.
Dikisahkan saat itu, Bandung berada hampir di tepi laut. Kedua pasangan itu nekat menaiki perahu kecil menyeberangi lautan menuju Lampung di Pulau Sumatera yang berada di arah utara.
Perjalanan keduanya dihadang badai. Perahu kecil tersebut terseret hingga ke arah timur ke Laut Jawa. Perahu terbalik hingga terdampar di ketinggian Bandung. Sang putri dan pemuda Lampung itu hilang.
Perahu terbalik yang ditumpangi kedua pasangan tersebut perlahan-lahan tumbuh semakin besar hingga membentuk gunung. Di dalamnya kedua pasangan ini dipercayai terus bersembunyi di dalamnya.
Penduduk setempat yang bercerita pada Ny. Klobben menuturkan putri Banten masih berdiam di “Kawah Ratoe”. “Penduduk asli memuja kawah ini, dan dari waktu ke waktu mereka juga berkorban untuk itu,” tuturnya (Mevrouw Klausine Klobben op Java, 1899).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Engelbert van Bevervoorde
NGULIK BANDUNG: Masjid Cipaganti
NGULIK BANDUNG: Bandara Sukamiskin (Bagian 1)
Legenda Sangkuriang
Legenda yang paling melekat tentu saja Kisah Sangkuriang (dari kata sang dan kuriang). Penyair Belanda Roorda van Eysinga menuliskannya dalam bentuk sajak untuk mengisahkan legenda tanah Sunda tersebut. Koran De Preanger-bode pada tanggal 17 April 1910 menerbitkan sajak yang ditulis Roorda seperempat abad sebelumnya.
Legenda Sangkuriang tidak melulu bercerita mengenai Gunung Tangkuban Parahu. Kisah legenda ini juga menyebutkan sejumlah gunung yang mengeliling Bandung di antaranya Bukit Tunggoel, Koekoesan, serta Boerangrang.
Alkisah di Kerajaan Galuh tinggal seorang putri bernama Daiang Sumbi. Putri yang disebutkan telah menikah dan memiliki seorang anak bernama Sangkuriang.
Sangkuriang tumbuh menjadi pria yang tampan dan pemberani. Kesukaannya berburu. Dia mengejar rusa, harimau, dan badak dengan berbekal golok, tombak, dan keris.
Tapi Dayang Sumbi tidak suka keliaran Sangkuriang dalam perburuannya. Hingga satu ketika Dayang Sumbi marah besar hingga memukul kepala Sangkuriang dengan centong hingga membekaskan luka di kepalanya.
Sangkuriang yang makin beranjak besar akhirnya meminta izin pada ibunya untuk berkelana. Dalam perjalanannya dia mengunjungi banyak negeri.
Sementara Dayang Sumbi sepeninggal anaknya tersebut memilih untuk menyepi di Gunung Panganten. Usianya yang bertambah tidak menggerus kecantikan Dayang Sumbi.
Dalam satu perjalanannya Sangkuriang tiba di Gunung Panganten. Tak sengaja dia bertemu seorang perempuan di sana. Perempuan cantik yang memikatnya. Perempuan itu Dayang Sumbi.
Keduanya pangling, tidak saling mengenal. Hingga terbit keinginan Sangkuriang untuk menikahi perempuan itu. Dayang Sumbi yang tidak mengira laki-laki itu adalah putranya, setuju.
Adat saat itu bagi pria yang hendak menikah adalah dengan membersihkan kepalanya. Dan Dayang Sumbi terkejut melihat bekas luka di kepala laki-laki itu. Dayang Sumbi yakin laki-laki itu anaknya. Tapi Dayang Sumbi khawatir dengan kekuasaan laki-laki tersebut, hingga terpikirlah tipu muslihat agar pernikahan tersebut urung berlangsung.
Dayang Sumbi meminta sejumlah syarat. Dia meminta agar Sangkuriang membuat danau dengan membendung Sungai Citarum, dan sebuah perahu besar untuk menikmati danau tersebut. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatnya dalam satu malam.
Sangkuriang dibantu pasukannya membabat hutan, menumpuk kayu-kayu yang jatuh menjadi bendungan, lalu mengolah sebagian lagi kayunya menjadi perahu. Di tengah malam pekerjaan Sangkuriang hampir selesai.
Dayang Sumbi panik. Dia membuat tipu muslihat. Dikumpulkannya kapas, dipotongnya kecil-kecil untuk ditaburkannya ke timur. Kapas tersebut terlihat seperti sinar matahari yang muncul di timur.
Sangkuriang kecewa. Semua anak buahnya melemparkan pekerjaannya. Bendungan dan perahu besar belum selesai. Sangkuriang yang bersedih mendaki satu gunung di tanah Bandung dan dia menyebutnya Gunung Bohong. Dia menunggu pagi di sana hingga menghilang di gunung tersebut.
Semua pekerjaan yang ditinggalkannya berubah menjadi deretan gunung. Sisa tunggul batang pohon untuk membuat perahu menjadi Bukit Tunggul. Cabang pohon yang menumpuk menjadi Gunung Boerangrang. Di tempat penyimpanan kayu untuk tongkang tumbuh puncak gunung yang disebut Boekit-tjagak.
Manisan wangi yang ditumpuk untuk pesta pernikahannya menjadi Goenoeng Wangi, keranjang untuk menanak nasi berubah menjadi Goenoeng Koekoesan. Dan perahu yang belum selesai tersebut berubah menjadi Gunung Tangkubanparahu dengan bagian lunas yang belum di isi kayu menyisakan lubang menganga yang menjadi kawah gunung.
Mitos yang Berkembang
Menarik mendapati dua kisah legenda mengenai mitos terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu hadir dalam rentang waktu yang nyaris bersamaan. Ny. Klobben dan Roorda sama-sama menuliskan ulang dari kisah penuturan warga setempat yang ditemui keduanya di paruh akhir abad ke-19.
Namun, kisah Sangkuriang yang saat ini lebih sering diceritakan menjadi lebih kompleks. Ada tokoh Si Tumang, yang disebut sebagai seekor binatang (anjing) perwujudan dari ayah Sangkuriang, tokoh utama mitos ini. Kisah tersebut seakan berkembang hingga mendapat bentuk yang dikenal luas saat ini.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman