NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung #1
Dua kali Charlie Chaplin melawat ke Hindia Belanda di zaman kolonial. Lawatan pertamanya mengunjungi Batavia, Bandung, Jogja, Surabaya, dan Bali.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
15 Juli 2022
BandungBergerak.id - Harian Deli courant dan De Sumatra post yang terbit di tanggal yang sama, 5 Desember 1929, menuliskan berita pendek tentang rencana kunjungan bintang film Charlie Chaplin, Douglas Fairbanks, dan Mary Pickford yang berencana mampir ke Jawa pada Januari 1930. Kabar tersebut diperoleh media tersebut dari kantor berita Hindia Belanda, Aneta (Algemeen Nieuws- en Telegraaf- Agentschap) yang mengutipnya dari Algemeen Indische Dagblad de Preangerbode (AID), koran berbahasa Belanda yang terbit di Bandung di zaman kolonial.
Kabar cepat menyebar. Antusiasme dapat dilihat dari koran-koran lainnya yang ikut-ikutan menayangkan berita rencana kunjungan Charlie Chaplin. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? yang bermarkas di Batavia dan De locomotief di Semarang ikut menayangkan berita.
Bahkan kabar tersebut menyebar hingga ke negeri Belanda. Koran-koran Belanda yang rajin menayangkan berita-berita tentang Hindia Belanda, ikut-ikutan menayangkan berita rencana kunjungan bintang film Hollywood tersebut ke Jawa. Di antaranya Haagsche courant, Arnhemsche courant, De Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad, serta Nieuwe Apeldoornsche courant; mereka mengutip kabar dari Aneta dan menayangkannya pada 6 Desember 1929.
Selang beberapa hari kemudian, koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? menerbitan kelanjutan kabar rencana kunjungan Charlie Chaplin. Pada terbitannya tanggal 9 Desember 1929 koran tersebut menyebutkan tiga bintang film bisu itu tengah dalam rangkaian lawatan ke sejumlah negara. Charlie Chaplin, serta Douglas Fairbanks, dan istrinya, Mary Pickford, tengah dalam perjalanan menuju Cina, lalu ke Jepang serta Filipina, sebelum kembali ke Amerika.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? meluruskan kabar tersebut. AID sesungguhnya memberitakan tentang permintaan kolektif pengelola bioskop di seluruh Jawa pada perwakilan United Artists Corporation, perusahaan film milik Charlie Chaplin. Mereka meminta agar Charlie Chaplin bersedia mampir ke Jawa, setibanya dari Filipina sebelum kembali ke negaranya.
“Permintaan ini dikirim melalui telegraf dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga kedatangan selebriti film tersebut di atas sudah cukup pasti. Permintaannya adalah tidak hanya atas nama seluruh operator bioskop, tetapi juga atas nama ribuan pengagum di Pulau Jawa,” tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 9 Desember 1929.
Tidak ada kelanjutan kabar tersebut. Charlie Chaplin, serta Douglas Fairbanks, dan istrinya, Mary Pickford, ternyata tetap melanjutkan rencana awalnya. Ketiganya kembali ke Amerika setelah lawatannya ke Filipina.
Bintang Film Bisu
Dunia mengenal Sir Charles Spencer Chaplin (16 April 1889 – 25 Desember 1977) sebagai aktor, komedian, komposer film, serta sutradara kelahiran Inggris lewat kiprahnya dalam film-film bisu. Artis dengan nama panggung Charlie Chaplin tersebut mendunia lewat perannya sebagai “Tramp”, yang menyajikan komedi gelap dan satir.
Bioskop-bioskop di Hindia Belanda di zaman kolonial terhitung rajin menayangkan film-film Charlie Chaplin. Di Bandung misalnya, ada sejumlah bioskop yang menjadi andalan warga di zaman kolonial untuk menikmati film-film bisu aktor komedi Charlie Chaplin.
Warga Bandung mengenal film-film Charlie Chaplin sejak periode awal perkembangannya sebagai aktor film. Charlie memulai debutnya lewat film-film pendek komedi, yang kadang tidak diberi judul.
Koran De Preanger-bode tanggal 15 Mei 1916 memberitakan penayangan film komedi dua babak Charlie Chaplin di Bioskop Elita. Film ini ditayangkan bersama film panjang berjudul The Telephone as Prosecutor, yang dibintangi Desfontaines dan Garbagni.
Bioskop Orion juga terhitung rajin menayangkan film-film pendek Charlie Chaplin. Koran De Preanger-bode tanggal 25 Desember 1921 misalnya memberitakan penayangan film pendek Charlie Chaplin yang menyelang pertunjukan biola, serta film bisu drama sejarah Quo Vadis yang diangkat dari novel Henryk Sienkiewicz (1896).
Bandung juga mendapat kehormatan menjadi tempat perdana pemutaran salah satu film panjang terkenal yang dibintangi Charlie Chaplin, yakni City Lights. Film ini menjadi pembicaraan di masanya karena Chaplin masih berkeras mempertahankan pembuatan film bisu, di saat yang sama film-film sudah dibuat bersuara.
Koran De locomotief tanggal 9 Juli 1931 memberitakan suksesnya pemutaran perdana film terbaru Charlie Chaplin, City Lights, sebelum film itu ditayangkan di berbagai kota di Hindia Belanda. Film City Lights didistribusikan oleh Orientai Distributing Corporation yang berkantor di Weltevreden.
Dua bioskop di Bandung yakni Elita dan Luxor dipilih menjadi bioskop pertama yang menayangkan film City Lights di Hindia Belanda. Dua bioskop tersebut terisi penuh. Koran De koerier memberitakan ulasan pemutaran perdana City Lights di Bioskop Elita dan Luxor.
“Hal pertama yang mengejutkan kami tentang keheningan ini adalah bahwa kami segera menerima ketidakbersuaraan sebagai sesuatu yang biasa, karena Chaplin dan suara adalah dua konsep yang benar-benar bertentangan. Dengan kepulan mulut, gerak bahu, jentikan jari, dia mengungkapkan kegembiraan, kesedihan, atau penghinaan tanpa sepatah kata. Begitulah besar bakat Chaplin, imajinasinya. City Lights adalah kisah seorang gelandangan yang mengembara di kota besar tanpa tujuan, tanpa tujuan, hanya untuk melihat yang tak terjangkau baginya” (De koerier, 9 Juli 1931).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (2)
NGULIK BANDUNG: Maison Bogerijen, Restoran Kerajaan Belanda di Jalan Braga #1
Lawatan Pertama di Hindia Belanda
Charlie Chaplin akhirnya benar-benar menginjakkan kakinya di Hindia Belanda. Koran De locomotief tanggal 1 April 1932 memberitakan kedatangannya Charlie Chaplin bersama saudaranya, Sydney, dan seorang pelayan keturunan Jepang, menumpang kapal menuju Hindia Belanda di penghujung Maret 1932. Dia tiba di Tangjung Priok dan menginap di Java-Hotel, Batavia.
Pada koran tersebut Charlie Chaplin menceritakan tentang pengalamannya pertama kali merasakan tidur dengan kelambu raksasa, dan tentu saja Dutch Wife, julukan untuk guling yang menjadi terkenal di Hindia Belanda. “Kelambu menarik minat terbesarnya, dan dia tidak puas berbaring di tempat tidur selama beberapa saat, mengalami sensasi menjadi bayi lagi,” tulis De locomotief, 1 April 1932.
Chaplin juga bercerita pada koran De locomotief tentang pandangannya atas sistem kolonial yang dipraktikkan Inggris dan Belanda. “Dia merasakan perbedaan bahwa dalam sistem Inggris, orang Inggris dan adat istiadatnya terutama ditujukan untuk membuat orang menjadi orang Inggris mungkin, sementara di koloni Belanda orang dipimpin, tetapi mereka meninggalkan sebanyak mungkin untuk diri mereka sendiri, sehingga hasil yang jauh lebih baik tercapai,” tulis koran itu.
Chaplin selanjutnya mengunjungi Bandung. Dia tiba, Selasa, 29 Maret 1932, pagi hari sekitar pukul delapan. Dan langsung menuju Preanger Hotel. Kehadiran aktor film itu benar-benar mengejutkan karena nyaris tidak ada kabar yang mendului.
Di Bandung, dalam lawatannya pertama ke Hindia Belanda, dia hanya menginap semalam. Chaplin bersama adik dan pelayannya makan malam di Preanger Hotel. Dia menyukai gedung hotel tersebut. Andai tidak mengejar waktu, dia pasti akan menyempatkan diri berkeliling. “Aku akan kembali,” kata dia, dikutip dari De locomotief, 1 April 1932.
Rabu malam, sekitar pukul sebelas, Chaplin dan rombongannya melanjutkan perjalanan berkendara menuju Jogja. Dia menyempatkan lewat Garut.
Tiba di Jogja, pada Kamis sore. Pada Jumat, 1 April 1932, Chaplin mengunjungi Candi Borobudur. Kunjungannya ke candi tersebut dilakukan diam-diam. Nyaris tidak ada yang menyadari aktor film terkenal tersebut sedang menikmati keindahan candi tersebut. Chaplin sempat merekam Borobudur dalam film pita seluloid yang dibawanya.
Kabar kedatangan Chaplin ke Surabaya sudah tercium. Warga banyak yang kecele menunggunya di Stasiun Gubeng. Nyatanya Chaplin yang tiba berkendara mobil langsung menuju Hotel Orion. Di hotel tersebut, Chaplin sempat diminta berbicara untuk Surabayasche Radio Vereeniging, yang ruang siarannya berada di aula hotel tempat menginapnya.
Menghabiskan Waktu di Bali
Lawatan Charlie Chaplin selanjutnya adalah Bali. Dia dan saudaranya, Sydney, tiba di Bali tanggal 3 April 1932. Di sana dia menghabiskan waktu paling lama. Harian Haagsche courant, tanggal 5 April 1932 memberitakan aktivitas Chaplin di sana. Dia mengujungi rumah penduduk, lalu melakukan perjalanan menuju selatan Bali.
Harian Deli courant, tanggal 8 Aprili 1932 menceritakan, Chaplin bersama saudaranya menginap di Bali Hotel di Denpasar. Chaplin sangat menikmati tinggal di Bali. Dia memutuskan memperpanjang jadwalnya. Semula dia akan kembali 10 April, tapi ditundanya lebih lama.
Koran De koerier tanggal 18 April 1932 memberitakan Chaplin di Bali sempat mengunjungi pelukis Walter Spies yang tinggal di Ubud. Chaplin sempat membeli lukisan pelukis kenamaan tersebut. Spies menyempatkan menemani Chaplin menjelajahi Bali selatan. Dia menemaninya mengikuti pesat di pura, serta melihat pertunjukan tari-tarian di sana.
Chaplin kemudian kembali ke Surabaya. Lalu pada 18 April 1932 terbang menumpang pesawat KNILM ke Batavia. Dari sana mereka langsung menuju pelabuhan Tanjung Priok untuk menumpang kapal Van Lansberge menuju Singapura. Dia melewatkan resepsi yang sudah disiapkan pengusaha importir film yang telah menunggunya. Dari sana dia akan melanjutkan perjalanannya menuju Jepang menggunakan kapal pada tanggal 24 April 1932.
Charlie Chaplin meninggalkan kesan mendalam dalam lawatannya di Hindia Belanda. “Dia orang yang baik, orang yang istimewa. Seorang seniman film yang telah menghasilkan banyak kegilaan yang tidak berharga, tetapi juga memberikan seni yang berharga di The Kid, di Gold Rush, di The Circus, dan di City Lights. Seorang pria yang terkenal di dunia, yang kehadirannya di kota atau negara mana pun hampir tidak dapat diabaikan, dan dapat disebut sebagai orang yang istimewa,” tulis Deli Courant, tanggal 25 April 1932.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman