• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Situ-Situ di Zaman Kolonial

NGULIK BANDUNG: Situ-Situ di Zaman Kolonial

Ada banyak situ atau danau di seputaran Bandung. Sebagian di antaranya buatan manusia. Keberadaan danau-danau ini menyimpan pesona sejak zaman Belanda.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Telaga Patengan di selatan Bandung. Koleksi KITLV 124151 (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

29 Juli 2022


BandungBergerak.id—Pada koran De locomotief tanggal 27 Desember 1935, J.M. Wesselink menuliskan panjang lebar atas segala kemajuan yang sudah dicapai Bandung kala itu. Wesselink, Wali Kota Bandung sesumbar, kota yang dipimpinnya adalah kota hunian yang paling menarik di Jawa.

Kota Bandung memiliki udara yang sejuk karena terletak di kaki pegunungan. Pemandangannya pun indah. Kota tersebut diberkahi beragam macam bentang alam yang mempesona. Warga setempat, tentu saja wisatawan yang datang bisa menikmati banyak hal dengan mudah.

Cukup dengan berkendara misalnya, dengan perjalanan yang tidak memakan waktu lama bisa menjangkau puncak gunung Tangkuban Parahu untuk menikmati keindahan kawah kembarnya. Dan masih punya cukup waktu untuk menyimpang menikmati keindahan danau kecil - Situ Lembang – dalam perjalanan pulang.

Kawasan Bandung pun ramai. Bangunan besar mendominasi jantung kota. Kantor pemerintah, perguruan tinggi, sekolah, institut penelitian, perguruan tinggi, kawasan pertokoan, hotel-hotel, fasilitas olahraga, dan banyak lagi. Pasokan makanan segar melimpah mulai dari sayuran hingga susu segar yang dipasok perkebunan dan pertanian di sekitar kota tersebut. Kota yang terhitung lengkap isinya di zaman kolonial.

Wesselink mengklaim, kondisi kesehatan warganya relatif lebih baik dibanding kota-kota besar lainnya di Hindia Belanda. Selain Kota Bandung diberkahi iklim yang sejuk, memiliki pasokan air melimpah, yang diimbangi sistem pembuangan limbah tertutup yang terhitung modern di zamannya.

Pasokan air yang melimpah ditandai dengan banyaknya danau atau situ yang mengelilingi Bandung. Danau yang dimanfaatkan menjadi sumber air, sekaligus tempat wisata yang mempesona. Berikut ini  ini di antaranya:

Situ Patengan. Foto koleksi KITLV 124147 (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Situ Patengan. Foto koleksi KITLV 124147 (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Situ Patengan

Situ Patengan adalah danau favorit Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis, geolog, petualang, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya menjelajahi Sumatera dan Jawa. Dalam bukunya, Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart (Jawa - Bentuknya, Permukaannya dan Susunan Dalamnya) yang terbit di Belanda tahun 1853, dia menyebutnya sebagai danau gunung tebesar di Jawa.

Junghun singgah untuk melakukan pengamatan di danau gunung tersebut pada Juli 1837. Dia mendirikan pondok kayu di tepiannya. Dalam buku tersebut, dia bercerita dengan rinci tentang telaga yang seperti mata di tengah hutan hijau yang luas dari puncak Gunung Patuha. Danau yang sepi.

Junghun yang membukakan telaga tersebut pada dunia luas saat mendapat tugas dari pemerintah Belanda untuk membudidayakan tanaman kina saat kembali di tanah Jawa pada tahun 1855. Dia memilih sejumlah hutan yang ada di gunung-gunung di Jawa. Hutan di lereng  Patuha, yang tak jauh dari Telaga Patengan salah satu yang dipilihnya untuk mencoba menanam kina. 

Memang kina yang disemai Junghun tidak mendapat hasil yang memuaskan. Tapi lewat pembukaan kebun kina, akses menuju danau yang berada di tengah hutan rimba tersebut mulai terbuka.

Koran Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie tanggal 18 dan 23 Februari 1887 menggambarkan sulitnya mengakses danau tersebut. Perjalanan panjang harus ditempuh dengan menyeberang sungai Citarum, serta menembus hutan lebat di kaki Gunung Patuha.

Pemerintah Hindia Belanda baru memberikan izin membuka jalan menuju Telaga Patengan pada tahun 1903 (Bataviaasch nieuwsblad, 9 Mei 1903). Jembatan besar untuk menyeberang Sungai Citarum yang lebar dan berarus deras membuat semakin mudah akses jalan menuju danau tersebut. Dua puluh tahun kemudian Situ Patengan bisa disambangi dengan berkendara mobil (Mooi Bandoeng Volume 1 Nomor 11, terbitan Mei 1934).

Kala itu Situ Patengan sudah berubah menjadi tempat wisata. Winckel yang menulis di majalah Mooi Bandoeng edisi Juni 1934 menyebutkan, danau ini tidak direkomendasikan untuk berenang karena airnya yang dalam. Wisatawan bisa menikmati danau untuk memancing, dan juga menikmati pemandangannya tentu saja.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung #1
NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung #2
NGULIK BANDUNG: Kesenangan Berkendara Mobil di Bandoeng Zaman Kolonial

Situ Cileunca. Hotel Ttjileuntja di Sitoe Tjileuntja dekat Pengalengan dekat Bandoeng dengan beberapa sapi di latar depan. Foto koleksi KITLV 182149. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Situ Cileunca. Hotel Ttjileuntja di Sitoe Tjileuntja dekat Pengalengan dekat Bandoeng dengan beberapa sapi di latar depan. Foto koleksi KITLV 182149. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Situ Cileunca

Koran De Preanger Bode  tanggal 18 November 1912 menuliskan, “Di jalan utama menuju Perusahaan Pasir Malang, Pengalengan, adalah Sitoe Tjileuntja yang terkenal, sebuah danau dari beberapa bangunan di area dan memanjang di sepanjang jalan. Dulunya adalah jurang, tetapi sekitar 60 tahun yang lalu sebuah wedana dari wilayah itu membanjirinya. Pucuk-pucuk pohon masih menjulang di atas permukaan air, dari mana orang bisa menebak keberadaan mereka sebelumnya.”

Jika merujuk pada koran tersebut, pembuatan situ yang berada di Pangalengan terjadi sekitar tahun 1857. Situ Cileunca berada persis di pinggir jalan satu-satunya menuju perkebunan kina Pasir Malang. Situ tersebut mirip kolam besar dengan batang pohon yang terlihat  bermunculan dari permukaan airnya.

“Ratusan batang pohon menonjol setengah meter di atas air dan menunjukkan bahwa seseorang berhadapan dengan hutan yang tenggelam atau jurang yang dibendung,” tulis De Preanger Bode, November 1912.

Situ Cileunca pada awalnya tidak ada. Dia dibuat oleh manusia dengan membendung aliran sungai yang kemudian airnya mengenangi lembah. Koran Bataviaasch Nieuwsblad, tanggal 8 Januari 1918 mencatat luasnya 30 konstruksi, atau setara 21 hektare saja. Bandingkan dengan luasnya saat ini yang menembus 1.400 hektare.

Pemerintah Hindia Belanda sengaja memperluas danau tersebut dengan membangun bendungan yang sekaligus menjadi sumber air untuk pembangkit listrik kala itu. Koran De Preanger Bode, tanggal 7 Oktober 1919 menceritakan, pembangunan bendungan baru dimulai tahun 1919 berbarengan dengan persiapan membangun PLTA Tjisaroewa.

Pembangunan bendungan untuk memperbesar tampungan air di Situ Ciluenca sempat tersendat. Koran De Preanger-bode tanggal 1 Oktober 1923 menyebutkan sejumlah kendala yang membuat pembangunannya bendungan berjalan lambat. Di antaranya tingginya curah hujan, serta minimnya pekerja. Pembangunan bendungan pertama, yakni Bendung Poelo akhirnya rampung pada tahun 1924 (Indische Courant, 28 Januari 1924).

Tak butuh waktu lama bagi Situ Cileunca menjadi salah satu lokasi andalan wisata di Bandung kala itu. Koran De koerier tanggal 3 Mei 1935 menceritakan wisatawan bisa tetirah di sana dengan melakukan beragam aktivitas seperti berlayar, berenang, atau sekedar berkumpul makan bersama menikmati pemandangan indah di sana.

Situ Lembang. Pemandangan gunung Tangkuban Parahu terlihat danau yang diperkirakan Situ Lembang. Foto Koleksi KITLV 1405511. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Situ Lembang. Pemandangan gunung Tangkuban Parahu terlihat danau yang diperkirakan Situ Lembang. Foto Koleksi KITLV 1405511. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Situ Lembang  

Majalah Mooi Bandoeng nomor 7 Volume 11, pada terbitannya tahun November 1939 bercerita tentang Situ Lembang. Danau kecil yang berada di lembah di antara Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu yang tak kalah mempesonanya dibandingkan dengan Situ Cileunca. Mungkin menjadi saingan terberatnya untuk menarik wisatawan berkunjung.

Situ Lembang relatif lebih dekat dari Kota Bandung. Hanya saja tidak sembarang waktu bisa dikunjungi.

Majalah Mooi Bandoeng menuturkan akses jalan menuju Situ Lembang yang bisa ditempuh berkendara mobil dari di Waterleidingweg di Lembangweg, tepat di belakang Gedung Isola, hanya di izinkan dilewati pada Hari Minggu. Itu pun harus meminta izin dulu pada kepala Kehutanan Bandung Utara yang kantornya di Cibeunying. Dari sana hanya butuh berkendara 15 menit untuk mencapai Situ Lembang dengan pemandangan indah di sepanjang jalannya.

Situ Lembang dulu adalah danau alami. Pemerintah Hindia Belanda membangun waduk untuk memanfaatkan airnya untuk memasok kebutuhan air warga Kota Bandung. Bendungan tersebut membuat luas Situ Lembang membesar dan menelan sebagian hutan yang mengelilinginya.

Bermula dari kekhawatiran warga Kota Bandung atas berkurangnya pasokan air karena perkembangan kota yang semakin padat. Dewan Kota Bandung mengajukan permintaan pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu agar diperbolehkan memanfaatkan air yang berasal dari Situ Lembang (De koerier, 7 November 1930).

Beberapa bulan kemudian, pemerintah Hindia Belanda memberikan lampu hijau atas permintaan itu. Setahun waktu yang dibutuhkan untuk membangun waduk untuk mengatur aliran air dari Situ Lembang. Sebagian airnya dipergunakan untuk irigasi, dan selebihnya untuk pasokan air minum warga kota Bandung (De locomotief, 24 Desember 1931).

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 24 Maret 1932 menceritakan, pembangunan waduk telah rampung. Awal Desember 1931, waduk Situ Lembang beroperasi.

Situ Ciburuy. Foto suasana festival ikan tahunan diadakan di Situ Ciburuy dekat Padalarang yang terbit di koran De locomotief tangal 16 Oktober 1935. (Sumber: delpher.nl)
Situ Ciburuy. Foto suasana festival ikan tahunan diadakan di Situ Ciburuy dekat Padalarang yang terbit di koran De locomotief tangal 16 Oktober 1935. (Sumber: delpher.nl)

Situ Ciburuy

Koran De Preanger-bode tanggal 17 November 1909 bercerita tentang keindahan Situ Ciburuy  yang terletak di dekat Padalarang. Danau yang dulu digambarkan memiliki pemandangan indah dengan airnya  yang jernih, yang kala itu terancam tumbuhan air yang tumbuh lebat di permukaannya. Air danau tersebut hampir tidak terlihat. 

Hingga satu ketika titik balik terjadi pada saat K. H. Groeneveld, seorang Belanda nekat menyewa Situ Ciburuy (De Preanger-bode, 20 November 1921). Dia berniat mencoba membudidayakan ikan air tawar.

Groeneveld mempraktikkan pengetahuannya membudidayakan ikan air tawar yang dipelajarinya tinggal di Jerman. Dia memulai membersihkan danau dari vegetasi berlebihan yang menutupi hampir seluruh danau di Situ Ciburuy. Dia mengembangkan bibit ikan-ikan lokal, dan melepaskannya untuk hidup bebas di danau tersebut.

Setahun sekali dia membuka kolamnya bagi penyewa yang hendak memancing ikan. Dia juga menyewakan rakit untuk dipergunakan menangkap ikan di danau. Tentu pesertanya harus membayar sewa, tapi ikan yang diperoleh akan dibelinya dengan harga yang layak.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, tanggal 6 November 1929 menceritakan di setiap menjelang akhir tahun, pembeli dan nelayan berkumpul di Situ Ciburuy untuk mengikuti pesta memancing yang bisa berlangsung berhari-hari. Ada yang patungan menyewa rakit bambu untuk menjala ikan di tengah danau, ada yang memilih memancing ikan dari pinggiran.

“Harga yang baik dibayar untuk ikan, dan biaya segera ditutup. Pasti ada juga nelayan yang kurang beruntung, tapi itulah kenapa disebut lotere. Selain menang, kegembiraan mendapatkan ikan tetap menjadi daya tarik untuk dicoba lagi dan lagi,” tulis koran tersebut.

Setiap tahun, pesertanya makin banyak. Pesta memancing tersebut selalu dipenuhi warga. Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? tanggal 15 Oktober 1930 menceritakan, ribuan orang datang dari berbagai tempat, dari Garut, Sukabumi, Cianjur, Purwakarta, serta Karawang hanya untuk mengikuti pesta memancing yang diselenggarakan setahun sekali di Situ Ciburuy.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//