• Kolom
  • BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #17: Van Eysinga ke Sukabumi dan Ujungberung Tahun 1820  

BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #17: Van Eysinga ke Sukabumi dan Ujungberung Tahun 1820  

Andries de Wilde mendapatkan keuntungan mencengangkan dari kopi. Warga lokal yang menjadi kuli planggul mendapatkan upah rendah.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Lukisan P.P. Roorda van Eysinga (1796-1856) karya Raden Saleh yang dikoleksi Universiteit van Amsterdam. (Collectie Multatuli, Hs. XLV E AK 337, 18.11. Sumber: upload.wikimedia.org)

16 Juli 2022


BandungBergerak.id - Ketika Andries de Wilde tidak ada di Sukabumi karena harus mudik ke Belanda pada awal tahun 1820, Sukabumi dikunjungi oleh Philippus Pieter Roorda van Eysinga (1796-1856), mantan serdadu dan sedang mempelajari bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya di Hindia. Van Eysinga saat itu menemani C.L. Blume (1796-1862), inspektur vaksinasi, yang sedang mengadakan perlawatan vaksinasi ke Priangan.

Catatan perjalanan Van Eysinga ke Sukabumi, termasuk ke Ujungberung, didedahkan dalam karyanya Verschillende Reizen en Lotgevallen, Vol. 3 (1832: 1-62). Bila membaca riwayat hidupnya dari Jaarboek van de Maatschappij der Nederlandse Letterkunde (1857) dan Biographisch Woordenboek der Nederlanden, Vol. 16 (1874) susunan A.J. van der Aa, saya jadi lebih terang ihwal konteks perjalanan P.P. Roorda van Eysinga menyambangi Sukabumi dan Ujungberung.

Van Eysinga lahir pada 1 Desember 1796 di Kuinre, Overijssel, sebagai anak pendeta Sytse Roorda van Eysinga (1773-1828). Sejak kecil dia diajari bahasa Latin dan Yunani oleh ayahnya dan semasa sekolah mempelajari bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman. Kemudian Van Eysinga mendaftar sebagai tentara dan tercatat turut bertempur dalam Perang Waterloo tanggal 18 Juni 1815. Namun, ia pindah untuk berdinas di Hindia Belanda. Kepergiannya tercatat pada 18 Juni 1819 dan tiba di Batavia pada 8 November 1819.

Setiba di koloni Belanda ini, Van Eysinga mempelajari bahasa Melayu. Mula-mula dari buku Werndley's Maleische Spraakkunst dan Injil berbahasa Melayu, lalu belajar kepada Abdoel Hakim. Oleh karena itu, pada Maret 1820 dia sudah terbilang lancar berbahasa Melayu. Atas dorongan ayahnya, Van Eysinga berhenti dari dinas militer dan beralih menjadi pegawai sipil, April 1820. Ia memilih menjadi ahli bahasa pribumi. Guru-guru bahasa lainnya untuk Van Eysinga adalah G. Kool, (penerjemah di Batavia), Bapa Mostathir. Kepada Sjeich Abdoer Rahman dia belajar bahasa Persia, Arab, dan Hindustan.

Van Eysinga juga ingin melihat tanah jajahan itu dan dapat menjalin komunikasi dengan kaum pribumi secara luas. Kesempatannya tiba saat ayahnya memperkenalkannya kepada ahli biologi C.L. Blume, yang bekerja sebagai inspektur vaksinasi. Saat itu Blume akan melakukan perlawatan ke seantero Jawa untuk memeriksa kemajuan vaksinasi cacar dan mengajak Van Eysinga untuk menemaninya, sekaligus menjadi penerjemah baginya. Tentu saja, kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Van Eysinga untuk menjelajahi Pulau Jawa sekaligus mempraktikkan kecakapan bahasa yang sudah dipelajarinya.  Pada September 1820, mereka berdua mulai berangkat dari Batavia untuk bertualang hingga Surakarta.

Di Tatar Sunda, seperti Banten, Bogor, dan Keresidenan Priangan, Van Eysinga mempersiapkan daftar kata-kata berbahasa Sunda (“Woordregister van de Soenda-taal”). Sementara di berbagai daerah lainnya, di pesisir dan pedalaman Jawa, dia memupuk kemampuannya berbahasa Jawa, baik bahasa tinggi maupun rendah, bahasa sastra dan bahasa percakapan sehari-hari. Sehingga kemudian dia mampu memahami bahasa Jawa secara utuh. Itulah yang menjadi latar belakang baginya sehingga jadi punya kesempatan untuk pergi ke Sukabumi, dan ke Ujungberung yang sudah beralih kepemilikan kepada Christiaan Swalue (1771-1831) pada Agustus 1819.

Lukisan pasanggrahan, tempat beristirahat, di Priangan. (Sumber: Verschillende Reizen en Lotgevallen, Vol. 3 (1832))
Lukisan pasanggrahan, tempat beristirahat, di Priangan. (Sumber: Verschillende Reizen en Lotgevallen, Vol. 3 (1832))

Menyambangi Sukabumi

Dalam buku Verschillende Reizen en Lotgevallen, Vol. 3 (1832) yang diberi pengantar bertitimangsa Kampen, 8 Mei 1832, Philippus Pieter Roorda van Eysinga menyatakan sebelum pergi melalui Bogor, terlebih dulu dia dan Blume ke Cikopo untuk menemui orang tuanya. Setelah beberapa menginap di situ, mereka melakukan perjalanan ke ibu kota Bogor dan menemui residennya, Hogendorp. Darinya, dia memperoleh informasi untuk bekal perjalanan dan melanjutkan perjalanan serta bermalam di Ciomas. Esoknya Blume menyelenggarakan vaksinasi kepada anak-anak setempat dan Van Eysinga yang menerangkan kepada orang tua anak-anak itu. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan ke Parung dan bermalam di rumah Raden Soeria di Wangsa. Dari demang yang menguasai bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu tetapi tidak bisa berbahasa Arab itu, Van Eysinga mendapatkan tambahan kosa kata bahasa Sunda yang memperkaya khazanahnya.

Dari Parung mereka ke Jasinga. Di sini Van Eysinga mempraktikkan kemampuannya berbahasa gunung (“Op Djasinga oefende ik mij in de bergtaal”) atau bahasa Sunda dengan seorang juru tulis yang bisa berkomunikasi. Dia mengaku banyak mempelajari bahasa Sunda karena perlu untuk menerangkan manfaat vaksinasi dan berusaha keras membantu Blume (“Ik leerde spoedig zoo veel Sundaasch als noodig was, om de koepokinenting aan te bevelen, en trachtte den heer BLUME”).

Pada 2 September 1820, dia berkenalan dengan Monsieur Raoult yang baru tiba dari Isle de France atau Mauritius. Orang tersebut sangat cepat bicaranya, tetapi punya cara yang sangat apik sehingga bahan perbincangan tetap menarik. Van Eysinga juga menyatakan lagi bahwa di Jasinga-lah dia berusaha keras untuk mempelajari bahasa Jawa Gunung dan mengumpulkan kosa katanya sebanyak lebih dari seribu yang kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari (“Het was te Djasinga, dat ik mij alle mogelijke moeite gaf, om de taal der Bergjavanen te leeren, en ik verzamelde, door middel van het Maleisch, meer dan duizend woorden, die het meest in gebruik zijn”).

Ia juga berusaha menulis esai dalam bahasa gunung, yang kemudian dikoreksi oleh juru tulis demang, sebagaimana dia mengajari juru tulis itu memahami aksara Belanda (“Hierna begon ik eenige opstellen in het Bergsch te maken, die een djoeroetoelies [schrijver] van den demang gaarne corrigeerde, daar ik hem de Hollandsche letteren leerde verstaan”).

Setelah beberapa hari di Jasinga, mereka kembali ke Bogor dan singgah di Ciampea, ke lahan milik Riemsdijk. Karena Blume ada urusan lebih dulu, sebelum melanjutkan lagi perjalanan, Van Eysinga sempat pulang dulu ke Batavia untuk menemui orang tuanya. Perjalanan mereka kemudian dimulai lagi dari Cikopo menuju Cianjur, melalui Megamendung yang konon sangat menanjak. Blume dan Van Eysinga sempat beristirahat di Cipanas, yang katanya menyegarkan, dan melihat sayuran dan buah-buahan Eropa yang tumbuh di sana.

Menjelang malam barulah mereka tiba di Cianjur dan disambut oleh Residen Priangan Robert van der Capellen, adik Gubernur Jenderal Baron van der Capellen. Oleh residen, Van Eysinga diperkenalkan kepada para pemuka pribumi yang sangat penting untuk melatih kecakapan berbahasa Sunda. Saat itu, Blume diberitahu bahwa De Wilde sedang sakit di Sukabumi. Dengan demikian, dia mengajak Van Eysinga untuk menyambanginya keesokan harinya.

Dengan mengendarai kereta yang ditarik empat kuda ditambah empat kerbau, untuk mengarungi jalanan menanjak, mereka diiringi 16 orang pribumi yang mengawal dan membantu mendorong kereta bila terperosok atau menemui tanjakan.

Mereka tiba di lahan perkebunan milik De Wilde, yang sangat luas dan indah (“Spoedig kwamen wij op het landgoed van den heer DE WILDE, hetwelk zeer uitgestrekt en fraai is”). Mereka melalui jalanan rata, di kanan-kirinya perkebunan kopi, yang menghasilkan lima ribu pikul kopi tahun 1820, seraya sebenarnya kurang tiga ribu pikul dari yang disangka sebelumnya, karena panennya besar. Andries menjual kopinya kepada pemerintah seharga sembilan rupee, berdasarkan kontrak. Para pribuminya sendiri hanya mendapatkan enam rupee plus 16 stuiver untuk setiap pikulnya. Padahal kadang-kadang mereka harus menyerahkannya ke tempat yang sangat jauh. Di Belanda, satu pon kopi dihargai dari 12 stuiver hingga satu gulden. Alhasil, kata Van Eysinga, Andries de Wilde mendapatkan keuntungan yang sangat mencengangkan.

Namun, dia merasa heran sekali mendapati bahwa di Keresidenan Priangan, semua orang pribumi yang melihat mereka datang langsung terduduk atau bersembunyi di balik pagar tanaman. Bumiputra yang sedang makan di jembatan dengan memunggungi, tidak melihat mereka datang. Kemudian setelah melihatnya, si bumiputra langsung menceburkan dirinya ke dalam sungai hingga merasa Van Eysinga dan Blume sudah tidak terlihat.

Mereka berdua kemudian bertemu dengan Steitz de Wilde, yang tinggal di rumah yang lengkap perabotannya. Van Eysinga merasa terkejut mendapati pemandangan aneh di tengah negeri yang jauh dari jalan utama. Mereka menginap di rumah itu semalam dan Blume mengatur dan meyerahkan obat bagi Steitz de Wilde yang tengah sakit. Konon, obat tersebut ampuh khasiatnya. Selain itu, Van Eysinga mengatakan bahwa di belakang rumah De Wilde ada air terjun yang indah. Jalan menuju ke air terjun itu ada jalan membentang yang ditumbuhi pohon cedar, sehingga sangat memanjakan mata.

Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #14: Dalam Surat-Menyurat Profesor Reinwardt
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #15: Ujungberung Dijual Seharga 55 Ribu Dollar Spanyol Tahun 1819
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #16: Mengadu kepada Raja Willem I

 

C.L. Blume (1796-1862), inspektur vaksinasi, yang mengajak Van Eysinga untuk melawat ke Priangan sejak September 1820. (Sumber: Wikimedia)
C.L. Blume (1796-1862), inspektur vaksinasi, yang mengajak Van Eysinga untuk melawat ke Priangan sejak September 1820. (Sumber: Wikimedia)

Ke Ujungberung, Mendaki Tangkubanparahu

Esoknya, ditemani Asisten Residen Bogor Dikkelmans, mereka kembali ke Cianjur. Di ibu kota Priangan tersebut, Van Eysinga mendapati adanya 40 prajurit Ambon yang bergama Kristen, yang tetap menganut agamanya dengan cara menyimak pembacaan Injil oleh seorang Ambon yang tua. Dari residen, Van Eysinga mendengar bahwa ayahnya sempat mengirimkan Injil dalam bahasa Melayu untuk orang-orang Ambon yang ada di Cianjur.

Setelah mengirim balik dua dongdang (tandu) penuh barang ke Cikopo, Van Eysinga dan Blume melanjutkan perjalanannya ke Bandung, yang berjarak 40 pos yang sama dengan 100 hingga 105 pal dari Cianjur. Mereka mengunjungi Lunel dan dia memerintahkan agar jalan ke kawah Gunung Tangkubanparahu dibersihkan. Penyiangan tersebut membutuhkan waktu dua hari.

Di Bandung, mereka berdua menginap di lahan perkebunan milik Swalue, di Ujungberung. Di sini mereka juga terheran-heran karena melihat ada rumah batu yang sangat besar, sehingga dapat dijadikan sebagai gereja. Karena tentu saja, untuk mencapai ke daerah tersebut, ke tengah-tengah gunung, para pembangun dan bahan-bahannya tentu sangat besar dan sangat mahal. Oleh karena itu, Van Eysinga tidak berani menentukan apakah rumah tersebut menghabiskan lebih dari setengah ton emas atau tidak.

Sebelum mendaki gunung, mereka sempat ke Rajamandala, untuk berburu badak.  Blume menyuruh para pembantunya untuk mengumpulkan burung dan semua jenis satwa. Beberapa di antaranya ada yang meninggalkan Rajamandala disertai demang. Mereka berhasil mengumpulkan kerangka harimau, badak, banteng, kijang, burung-burung, dan satwa lainnya, yang sudah dipersiapkan dengan baik.

Sekembali ke Bandung, Van Eysinga dan Blume bersiap-siap mendaki Tangkubanparahu yang jarang didaki oleh orang Eropa. Karena lebatnya vegetasi, tidak ada jalan ke puncak gunung, sehingga pendakian tertunda selama beberapa hari, karena harus dibuat dulu jalan rintisan. Setelah ada jalan, mereka berangkat pada pukul empat subuh, dengan menunggang kuda. Orang-orang yang menemani mereka adalah tiga orang Eropa kelahiran Hindia Belanda, seorang pemuka agama, beberapa kepala pribumi dan bawahannya. Alhasil, rombongan itu berjumlah 40 atau 50 orang.

Ternyata C. Swalue telah mempersiapkan bekal perjalanan. Buktinya, rombongan bisa mendapatkan sarapan di tengah perjalanan. Sebelum mendaki ke puncak, pemuka agama membakar kemenyan untuk mengusir setan siluman, merapal doa-doa seraya memegang tasbih, lalu memimpin perjalanan. Dalam pandangan Van Eysinga, konon, cukup umum bagi bangsa kurang beradab yang menganggap bahwa puncak gunung adalah persemayaman makhluk halus.

Setelah minum di sebuah tempat di hutan, Van Eysinga menembakkan senapannya untuk menandai langkah maju dan meninggalkan kuda. Ketika mencapai puncak, Lunel dan Blume sangat ingin menuruni kawah, tetapi Peitsner dan De Haan lebih memilih tetap di bibir kawah. Namun, akhirnya De Haan berubah pikiran dan turut mengikuti turun ke kawah. Van Eysinga sendiri mengumpulkan batuan dan potongan belerang, tidak jauh dari danau kawah, sebagai cenderamata.

Karena kelelahan akibat pendakian, mereka tidur lelap pada malam tanggal 16 Oktober 1820. Keesokan harinya Blume mendapatkan anak banteng dan pada 19 Oktober mendapatkan banteng dewasa, yang ditembak oleh bumiputra. Satwa itu dikuliti dan diambil dagingnya, untuk mendapatkan kerangkanya. Van Eysinga merasa kepala-kepala satwa itu lebih menusuk hati dan geliginya lebih menonjol dibandingkan dengan sapi.

Dari catatan Philippus Pieter Roorda van Eysinga dapat disimpulkan bahwa perjalanan menemani C.L. Blume dari Bogor, Cianjur, Sukabumi, hingga Bandung itu dilakukan antara September hingga Oktober 1820. Adapun De Wilde yang disebut-sebut sedang sakit dan dijumpainya di Sukabumi adalah Johan Frederick Lodewijk Steitz (1793-1867) alias L. Steitz, adik tiri Andries de Wilde. Steitz diangkat oleh Andries de Wilde dan Christoffel Steitz de Wilde menjadi administratur lahan perkebunan Sukabumi sejak 5 Desember 1819 (Bataviaasch Courant, 11 Desember 1819).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//