BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #10: Menjadi Orang Sukabumi
Salah satu peninggalan Andries de Wilde adalah mengganti nama Cikole menjadi Sukabumi. Peninggalan ini berlanjut hingga sekarang.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
14 Mei 2022
BandungBergerak.id - “’Dari mulai sekarang dan seterusnya aku,’ jawab Andries de Wilde dalam nada bangga. ‘Harus berusaha keras secara tulus dan jujur agar wargaku kerasan. Aku tidak mengerti mengapa seseorang tidak bisa mengolonisasi dengan damai. Bila mau barter dengan para pribumi, dua pihaknya harus tidak apa-apa dengan hal tersebut. Bila kita mau mereka bekerja, kita harus mengurusnya dengan baik. Haruslah ada interaksi yang sehat dan adil antara orang Eropa dan pribumi. Dan kau bisa! Aku sangat yakin!’”
Kutipan itu saya petik dan terjemahkan dari Cora Westland (De Levensroman van Andries de Wilde, 1949: 38). Konteksnya adalah percakapan antara Andries de Wilde dengan adik tirinya, Johan, tentang bagaimana caranya mengelola lahan di Gunungparang, Cimahi, Ciheulang, dan Cicurug (Pagadungan dan Pangasahan).
Dalam bagian sebelumnya, Westland (1949: 37) menerangkan tentang hasrat Andries de Wilde untuk membebaskan masyarakat pribumi di tanah yang dimilikinya dari kekerasan para bupati dan pemuka pribumi lainnya. Oleh karena itu, kata Westland, Andries tampak seperti sosok demokrat yang progresif, yang terbilang jarang untuk ukuran abad ke-19.
Dalam kerangka membebaskan pribumi itulah, berbekal kemampuannya berbahasa Sunda, Andries melakukan berbagai lawatan ke berbagai daerah yang dikuasainya. Dengan bekal bahasa Sunda tersebut ia dengan mudah menangkap apa saja yang menjadi keinginan dan keluhan pribumi, tanpa perlu diperantarai oleh seorang juru bahasa. Dengan jalan demikian, konon, pribumi warganya menjadi terbuka, mau mengemukakan berbagai keluhan yang mereka alami.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan dengan para kokolot pada awal 1814, Andries antara lain mengemukakan bahwa setiap orang adalah kepunyaannya sendiri atau dengan kata lain setiap orang memiliki haknya masing-masing. Alhasil, baik kepala pribumi maupun tuan tanah tidak memiliki hak untuk meminta jasa atau memperkerjakan mereka, kecuali bila dibayar secara pantas. Keputusan Andries tersebut oleh para kokolot disebarkan kepada warga pribumi lainnya dari mulut ke mulut.
Kau seharusnya melihat keterkejutan di mata para kokolot. Mula-mula mereka tidak memahami apa yang aku maksudkan, tetapi setelah jelas bahwa aku berniat memperlakukan mereka sebagai manusia, mereka memperlihatkan kebaikan-kebaikan yang menyebabkan aku trenyuh,” (Westland, 1949: 38) demikian yang dikatakan Andries kepada Johan setelah pertemuan dengan para kokolot. Lalu apa jawab Johan? Begini katanya:
Kau orang hebat, Andries,” pikir Johan. “Kau tahu bahwa apa yang telah kau lakukan akan berakibat kepada hampir semua orang Eropa? Siapa yang akan menganggap pribumi sebagai pribadi manusia? Siapa yang peduli terhadap hak-hak para pribumi” (Westland, 1949: 38).
Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #7: Asisten Residen Bandung
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #8: Membeli Lot 3 Tanah Ujungberung
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #9: Berkongsi Membeli Lot 4-7 di Kabupaten Cianjur
Gairah Bumi
Pertemuan dengan para kokolot dan percakapan antara Andries de Wilde dengan adik tirinya yang dibayangkan oleh Cora Westland itu terjadi pada awal 1814. Sebelumnya Andries mulai pindah ke sekitar Cianjur, yaitu ke daerah Cikole, pada akhir 1813. Sebagai tempat tinggalnya, ia kemudian membangun rumah di sana (John Bastin [penyunting], 1973: 57, “The Java Journal of Dr. Joseph Arnold: 3 September-17 December 1815”, dalam Journal of the Malay Branch of the Royal Asiatic Society, Vol 46).
Konon, rumah yang dibangun oleh Andries terbuat dari batu bata, demi memenuhi kebutuhan akan ruang tamu yang dapat menampung para pemilik tanah Cikole lainnya. Pembangunannnya dilakukan oleh orang Tionghoa mumpuni. Ketika selesai, rumah itu bak istana, yang antara lain berisi ruang makan, perpustakaan, ruang biliar, dan musik. Di luarnya dihiasi kayu-kayu cedar, dan di kejauhan ada air terjun, yang guruhnya menarik perhatian penyimaknya, siang dan malam (Westland, 1949: 38).
Setelah rumah jadi, pada awal 1814 melakukan pemeriksaan kepada setiap distrik atau daerah yang dimilikinya, berikut pengunduran dirinya sebagai asisten residen Bandung pada Maret 1814, Andries antara lain berupaya mendatangkan berbagai hewan yang dapat digunakan untuk membantu mengolah tanah. Hingga 1814, ia mendatangkan bagal dan keledai dari Bombay (De Wilde, De Preanger-Regentschappen op Java Gelegen, 1830: 234; Bastin, 1973:57).
Selain itu, ia juga berusaha memperbaiki dan menyensus hasil-hasil pertanian yang dilakukan oleh para pribumi. Di antaranya pada tahun 1814, Andries mencatat bahwa produksi padi yang dihasilkan di sekitar Gunungparang, Cimahi, Ciheulang, Cikembar, dan Cicurug itu sebanyak 2.254 caeng (De Wilde, Berigten betreffende de landschappen genoemd de Preanger Regentschappen, op Java gelegen, 1829: 145; 1830: 211; Bastin, 1973:57).
Namun, salah satu yang terus berlanjut bahkan hingga sekarang adalah penggantian nama daerah yang dikuasainya dari Cikole menjadi Sukabumi. Peristiwa penggantian namanya terjadi pada awal tahun 1815. Dari hasil penelusuran F. De Haan (Priangan: De Preanger-regentschappen onder het Nederlandsch bestuur tot 1811, Vol I, 1910: 291), perubahan tersebut terjadi pada Januari 1815. Kata De Haan, dalam suratnya yang bertitimangsa 8 Januari 1815, Andries de Wilde masih menggunakan Cikole sebagai tempatnya membuat surat.
Selanjutnya dalam suratnya kepada Nicolaus Engelhard yang bertitimangsa 13 Januari 1815, Andries mulai mengungkapkan keinginanannya untuk mengganti nama Cikole menjadi Sukabumi, atas dasar permintaan para kepala pribumi (“Ik mag UE.G. Achtbare niet onkundig laaten dat ik op verzoek van de Inlandsche Hoofden den naam van Tjicolle in die van Soeka Boemie veranderd heb”).
Lalu, apa alasan sebenarnya di balik perubahan nama tersebut? Andries sendiri menerangkan lebih kemudian dalam karya tulisnya (1829: 135; 1830: 200). Katanya, sejauh yang diketahuinya dari distrik-distrik yang dikuasainya, ada manfaatnya untuk untuk menyatukan semua distrik dalam satu nama (“dat te zamenvoeging van al die districten, onder éénen naam”). Maksudnya, agar orang-orang di tempat yang dikuasainya merasa satu keluarga dan mengganggap Andries sebagai kepala keluarganya.
Dengan mempertimbangkan keadaan iklim, keindahan, dan kekayaan alam di sekitarnya, Andries de Wilde memilih nama Sukabumi, yang berarti gairah keduniaan atau gairah bumi (“en mijne keuze bepaalde zich tot die van Soeka-boemie, werelds lust, ook lust des aardrijks beteekenende”). Selanjutnya, kata Andries, untuk membedakan dengan orang Keresidenan Priangan lainnya, orang umum di sekitar Cikole akan disebut sebagai orang Sukabumi (“Orang Soeka-boemie”).
Dalam praktiknya, ada beberapa variasi penulisan yang dipakai sejak dirumuskan oleh Andries de Wilde paling tidak hingga 1830. Di antaranya ditulis Soeka Boemie (Wilde, 1815), Soca Boomee (dalam catatan kunjungan Dr. Joseph Arnold pada 1815, Bastin [ed.], 1973), atau Soeka-boemie (Wilde, 1829; 1830). Yang pasti, itulah salah satu kontribusi besar dari Andries de Wilde yang masih digunakan hingga saat ini.