• Kolom
  • BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #9: Berkongsi Membeli Lot 4-7 di Kabupaten Cianjur

BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #9: Berkongsi Membeli Lot 4-7 di Kabupaten Cianjur

Setelah menguasai tanah Bandung, Andries de Wilde berkongsi dengan Raffles, Engelhard, dan McQuoid membeli tanah Cianjur. Diwarnai tudingan praktik korupsi.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Peta Lot 4-7 yang dibeli Andries de Wilde bersama tiga mitranya pada 25 Januari 1813. (Sumber foto: A map of Java, chiefly from surveys made during the British administration constructed in illustration of an account of Java by Thomas Stamford Raffles Esq, 1817, COLLBN Port 56 N 70)

7 Mei 2022


BandungBergerak.id - Setelah berhasil membeli Lot 3 di Bandung melalui penawaran pribadi pada 22 Januari 1813, Andries de Wilde kembali berkongsi dengan Thomas Stamford Raffles, Nicolaus Engelhard (1761-1831), dan Thomas McQuoid untuk memperoleh Lot 4 hingga Lot 7 di sekitar Kabupaten Cianjur. Tanah-tanah yang ditawar meliputi Cicurug (Distrik Pagadungan dan Pangasahan), Distrik Ciheulang, Distrik Cimahi, dan Distrik Gunungparang. Wilayah tersebut nantinya dinamai Sukabumi oleh Andries de Wilde.

Mereka berempat mendapatkannya melalui pelelangan umum di Batavia pada 25 Januari 1813 yang dihadiri oleh Gillespie, Raffles, Muntinghe, Cranssen, dan Hope. Banyak orang yang menawar, tetapi ukuran luasnya hanya memberi peluang kepada para kapitalis, membuat banyak yang urung menawarnya. Sebelum lelang dilakukan, Engelhard mendekati Muntinghe agar bisa berkongsi, tetapi Muntinghe menolaknya. Engelhard kemudian mendekati Raffles, yang konon terpaksa menerimanya agar pelelangan bisa dilangsungkan, dengan catatan keikutsertaannya dirahasikan (John Bastin, Raffles’ Ideas on the Land Rent System in Java and the Mackenzie Land Tenure Commission, 1951: 84).

Akhirnya, Raffles, Engelhard, De Wilde, dan McQuoid membeli Lot 4-7 seharga 58.000 dollar spanyol. Jumlah penduduk yang mendiami wilayah itu sekitar 14.000 orang, produksi tahunannya berupa kopi sebanyak 10.000 pikul, 50.000 pikul, dan 80.000 pikul. Raffles menguasai setengahnya, sementara McQuoid, Engelhard, dan De Wilde masing-masing 1/6. Untuk mendapatkan uang sebanyak 27.000 dollar spanyol, Raffles mendapatkan pinjaman dari sahabatnya, William Robinson (Bastin, 1951: 85).

Rincian Lot 4-7 juga disertakan oleh Bastin (1951: 81). Di situ diperikan keterangan di Distrik Pagadungan dan Pangasahan ada 152 kampung dengan 2.666 orang penduduk, 248 ekor kerbau, 54 ekor kuda, 30 ekor sapi, 498.310 batang pohon kopi, serta menghasilkan 1.591 caeng padi dan 1.012 pikul kopi. Di Distrik Ciheulang ada 64 kampung dengan 1.527 orang penduduk, 106 ekor kerbau, 26 ekor sapi, 388.880 batang pohon kopi, serta menghasilkan 653 caeng padi dan 1.653 pikul kopi.

Distrik Cimahi terdiri atas 64 kampung dengan 4.196 orang penduduk, 636 ekor sapi, 63 ekor kuda, 364.040 batang pohon kopi, serta menghasilkan 653 caeng padi dan 2.028 pikul kopi. Kemudian Distrik Gunungparang terdiri atas 144 kampung dengan 5.039 orang penduduk, 1.049 ekor kerbau, 120 ekor kuda, 934.510 batang pohon padi, serta menghasilkan 3.461 caeng padi dan 4.901 pikul kopi.

Keterangan lainnya, pada pelelangan itu Lot 2 di Bandung-Cianjur akhirnya tidak dijual, Lot 8 (Distrik Ciputri) dijual kepada A. Michiels seharga 13.700 dollar spanyol, sementara Lot 9 (Distrik Cikalong) diklaim oleh Bupati Cianjur Adipati Wira Tanoe Datar yang telah membelinya dari pemerintah Hindia Belanda seharga 2.000 Rix dollar, tetapi tidak ada aktanya. Menurut Raffles, biarkan bupati Cianjur mendapatkannya sebagai kompensasi atas sejumlah kehilangan besar sebagian wilayah Cianjur yang dilelang (Bastin, 1951: 83, 85).

Menurut F. De Haan (Priangan, Vol I, 1910: 289-290), harga tanah Distrik Gunungparang, Cimahi, Ciheulang, Cicurug (Pagadungan dan Pangasahan) itu masing-masing 30.500, 15.200, 6.100, 6.200 dollar spanyol, sehingga totalnya 58.000 dollar spanyol. Dengan catatan, wilayah itu terbentang dari Cikupa di timur dan Cimandiri di selatan hingga berbatasan dengan Keresidenan Batavia, Banten, dan Pelabuhanratu.

Karena pembayarannya berupa mata uang kertas Rijksdaalders atau Rix dollar, yang berarti dibagi 6,5 uang perak dollar spanyol, harga untuk Lot 4-7 itu terbilang agak rendah. Pada 10 Februari 1813, para pemilik baru masih membincangkan kontraknya, dengan catatan Raffles mendapatkan 3/6 bagian atau setengahnya, sementara ketiga pemilik lainnya mendapatkan 1/6 bagian. Setelah itu, pada 15 Maret 1813, terbitlah akta penjualannya.

Andries de Wilde diangkat sebagai administraturnya. Namun, karena masih menjabat sebagai pengawas kopi di Bandung, dia tidak dapat segera pindah ke Sukabumi. Oleh karena itu, Andries dan pemilik lain menyatakan tidak dapat menjadi administratur hingga akhir 1813, saat panen kopi dari daerah tersebut diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda.

Di kemudian hari, Andries bahkan mengakui kurang suka menjadi administratur Sukabumi. Dalam suratnya kepada Engelhard pada 27 Januari 1816, ia mengatakan sejujurnya tidak suka menjadi administratur karena tetap lebih menyukai tanahnya di Bandung (“Ik moet open har tigl ijk bekennen dat, was het niet om het groole belang ik in dit land heb, ik geheel niet met de administratie van hetzelve zoude willen zijn belast, wijl ik immer liever op mijn land te Bandong zoude willen zijn”) (De Haan, 1910: 290).

Mayor Jenderal Robert Rollo Gillespie (1766-1814) menuduh Raffles korupsi saat melelang tanah pamerintah. (Sumber foto: catalogue.nli.ie)
Mayor Jenderal Robert Rollo Gillespie (1766-1814) menuduh Raffles korupsi saat melelang tanah pamerintah. (Sumber foto: catalogue.nli.ie)

Tuntutan Gillespie

Rupanya keterlibatan Thomas Stamford Raffles dalam pembelian Lot 4-7 itu menyebabkan terjadinya skandal, selain dari kebijakan-kebijakan lainnya yang dibuatnya. Sejak 16 Februari 1814, Mayor Jenderal Robert Rollo Gillespie (1766-1814) melayangkan tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Gillespie Charges (De Haan, 1910: 290 dan Bastin, 1951: 185).

Menurut Bastin (Sir Stamford Raffles and Some of His Friends and Contemporaries: a memoir of the founder of Singapore, 2019: 161), berkas Gillespie diterbitkan oleh Government Press di Batavia pada 1814, dengan tajuk The Charges of Major General Gillespie, against The Honourable T.S. Raffles Lieutenant Governor of the Island of Java, with various papers and documents in refutation of them relating to the administration of The British Government in that Island and its Dependencies. Sebenarnya kata Bastin, berkas aslinya tidak berjudul, tetapi dalam koleksi Raffles di National Library of Singapore diberikan judul di atas.

Di antara tuntutan Gillespie terutama berkaitan dengan penjualan tanah, dan secara prinsip bertaut dengan tindak tidak pantas dalam pembelian tanah pemerintah dengan harga lebih rendah daripada yang dilelangkan kepada umum. Dengan kata lain, Raffles dituduh melakukan korupsi (Donald Maclaine Campbell, Java: Past-Present, Vol I, 1913: 400).  

Saat tuntutan dilayangkan, Raffles bermaksud hendak memperkenalkan budidaya bebas untuk tanaman kopi di Priangan pada Februari 1814. Setelah mempelajari tuntutan Gillespie pada akhir 1814, Raffles terjepit. Di satu sisi, ia ingin meluaskan prinsip perdagangan bebas di seantero Jawa, tetapi di sisi lain harus membela diri terhadap tuntutan bahwa penjualan perkebunan kopi di Keresidenan Batavia-Priangan sebenarnya merupakan komoditas eksor berharga bila berada di tangan swasta, sehingga kemungkinan menghancurkan monopoli pemerintah.

Terhadap tuntutan itu, Raffles menolaknya dengan menyatakan penjualan tanah di Batavia-Priangan kurang mempengaruhi monopoli kopi oleh pemerintah. Namun, karena merasa terdesak, akhirnya Raffles menangguhkan prinsip budidaya bebas di Priangan, dan bahkan berusaha merasionalisasinya dengan mengedepankan perbedaan antara orang Sunda dan Jawa, sehingga sistem tanam paksa di Priangan patut dipertahankan (Bastin, 1951: 185-186).

Dampak lain tuntutan Gillespie adalah Raffles terpaksa melepaskan kepemilikan Lot 4-7 kepada tiga mitranya. Pelepasannya dilakukan di hadapan notaris pada 25 Februari 1814 dan transfernya dilakukan pada 18 Mei 1814. Dengan keadaan ini, Andries de Wilde akhirnya menjadi pemilik dengan jumlah 5/12 bagian, Engelhard 5/12 bagian, dan McQuoid 1/6 bagian (De Haan, 1910: 290 dan Bastin, 1951: 85).

Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #8: Membeli Lot 3 Tanah Ujungberung
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #7: Asisten Residen Bandung
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #6: Mendaki Gunung Tangkuban Parahu

Lepaskan Jabatan dan Nasib Rakyat Jelata

Dari De Haan (1910: 293-294), saya jadi tahu sebelum lelang Lot 4-7, Andries de Wilde sempat melakukan penawaran pribadi kepada Raffles, terutama untuk dua distrik, yaitu Cicurug (Pagadungan dan Pangasahan) dan Ciheulang, seharga 150.000 Rix dollar pada 10 Januari 1813.

Namun, keputusannya ditarik kembali setelah diberi informasi mengenai syarat dan ketentuan pembeliannya yang cenderung tidak menguntungkan. Namun, setelah menghitung lagi keuntungan dari perkebunan kopi, ditambah usaha gula Jawa dan perbaikan pertanian di daerah itu, Andries berupaya melayangkan lagi penawaran. Dalam surat tidak bertitimangsa, ia secara pribadi menyampaikan penawaran sebesar 60.000 dollar spanyol untuk Lot 4-7 kepada Raffles. Dasarnya ditambah informasi dari Sekretaris C. Assey yang mengatakan tuan tanah dapat menuntut tenaga kerja pribumi.

Namun, sebagaimana yang sudah dinyatakan di atas, Andries de Wilde berkongsi dengan ketiga mitranya. Dan meski belakangan diakui kurang suka menjadi administratur Sukabumi, Andries tetap menerima posisi tersebut, setelah mengundurkan diri dari jabatan resminya sebagai asisten residen Bandung sekaligus pengawas budidaya kopi di Bandung pada Maret 1814. Perihal pengunduran dirinya mengemuka dalam surat Residen MacQuoid kepada pemerintah yang bertitimangsa 10 Maret 1814.

Dalam surat dikatakan Andries telah mengundurkan diri “as my Assistant and coffee overseer of Bandong” (sebagai asisten saya dan pengawas kopi di Bandung). MacQuoid kemudian mengulanginya lagi dalam surat bertitimangsa 12 Mei 1814, yang ditemukan dalam pengumuman tanggal 30 Mei 1814, dengan menyatakan “His late (i.e. recent) resignation of those situations” (Pengunduran dirinya baru-baru ini dari berbagai situasi tersebut) (De Haan, 1910: 286-287; Bastin, 2019: 189).

Tampaknya, memang pandangan dan sikap Andries de Wilde berbeda dengan pernyataan yang disampaikannya di kemudian hari. Karena ia ternyata sangat suka menjadi administratur tanah Sukabumi, apalagi mengingat Raffles melepaskan kepemilikannya, sehingga Andries menjadi salah seorang yang punya bagian besar atas tanah itu, di samping Engelhard. Ini semua barangkali atas pertimbangan keuntungan yang dapat diperolehnya dari Sukabumi.

Lalu, bagaimana yang dinyatakannya sendiri? Dalam bukunya, De Preanger-Regentschappen op Java Gelegen (1830), Andries memberi keterangan ihwal Sukabumi. Menurutnya, Kabupaten Cianjur terbagi ke dalam distrik-distrik Cikalong, Cibalagung, Maleber, Cikatuk, Cikondang, Peser, Cipaku, Cibeureum, Jampang Wetan, dan Jampang Kulon, ditambah Gunungparang, Cimahi, Ciheulang, Cikembar, dan Cicurug, yang sama-sama membentuk tanah perkebunan Sukabumi, serta Distrik Ciputri. Jumlah penduduk Sukabumi sebanyak 16.403 orang (Wilde, 1830: 31 dan 37).

Konon, perhatian pertama Andries saat menguasai Sukabumi adalah demi meningkatkan nasib rakyat jelata (“en het beheer van dat groote Landgoed, hetwelk van eene bijzonder groote uitgestrekheid was, had op mij genomen, was mijne zorg, mij het lot van den gemeen man aan te trekken”). Untuk keperluan tersebut ia berkeliling ke seluruh wilayah, dan di setiap dusun yang didatanginya kerap menanyakan keluhan para pribumi serta mendorong mereka untuk berani mengungkapnya. Ini ditunjang kemampuan berbahasa Sunda-nya, sehingga tidak lagi membutuhkan penerjemah (Wilde, 1830: 199-200).

Cara lain yang ditempuh Andries de Wilde saat menjadi pemilik sebagian besar Sukabumi adalah dengan mengadakan pertemuan umum. Katanya, “Pada awal 1814, saya mengadakan pertemuan umum dengan semua kepala dan dengan satu-dua kokolot, dari kelas lebih rendah, yang berasal dari setiap dusun, untuk berunding satu sama lain tentang cara yang paling menguntungkan dan paling sederhana di mana kepentingan pemilik tanah dan penduduk akan teratur dan saling mendukung satu sama lain” (1830: 201).

Demikianlah awal kepemilikan Andries de Wilde atas Sukabumi. Bagaimana rincian tindakannya selama mengelola Sukabumi? Saya akan berupaya menjawabnya pada tulisan mendatang.  

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//